Please Eat Wildly

Program Please Eat Wildly diawali oleh kegiatan residensi Bakudapan di Mendiro Jombang bersama Mantasa dan Holopis. Dalam kegiatan ini, kami tinggal beberapa hari, pulang pergi hingga beberapa kali ke dusun Mendiro yang terletak di dataran tinggi Jombang ini. Sebagai bentuk residensi yang biasanya para peserta menetap dalam hitunggan minggu bahkan bulanan, tentu saja bentuk ini jauh dari ideal. Tetapi dari keterbatasan intensitas pertemuan kami dengan tempat ini beserta para warganya menjadikan kami memiliki jarak dan waktu berfikir dan kontemplasi yang lebih.

Dusun mendiro merupakan dusun yang masih memiliki hutan komunitas untuk diolah bersama yang bersifat turun temurun. Disamping itu para ibu-ibu di dusun ini juga sedang bergiat memetakan kembali tumbuhan-tumbuhan yang dahulu dikonsumsi leluhur mereka, yang kemudian mulai hilang tergerus kebiasaan modern, mengkonsumsi apa yang disediakan pasar. Program memetakan dan membudidayakan tumbuhan-tumbuhan yang tidak umum ini juga dilakukan bersama Mantasa, lembaga yang sejak awal bergelut di bidang ini. Awal perkenalan Bakudapan dengan tumbuhan-tumbuhan ini yang kemudian di istilahkan dengan “Pangan Liar” memang melalui Mantasa.

Pangan liar. Istilah ini memang awalnya terdengar aneh, agak berlebihan dan juga problematis. Kata liar yang seolah-olah radikal kerap dipertanyakan orang-orang yang mendengarnya. Lebih-lebih bagian problematisnya adalah ketika tanaman liar ini dibudidaya dan dijual di pasar organik dengan harga yang cukup mahal dibanding sayuran umum di pasar tradisional, tentu saja meruntuhkan sifat ke-liar-annya. Itu adalah anggapan kami diawal perkenalan kami dengan pangan liar ini.

Disela-sela kami memikirkan perihal pangan liar ini, bertepatan juga dengan akan rilisnya album Dialita. Dialita adalah kelompok ibu-ibu paduan suara eks-tapol ‘65 yang sudah berusia diatas 50 tahun. Mereka menciptakan lagu dan menyanyi sebagai jalan untuk terus memberi semangat satu sama lain, kalau tidak dirinya sendiri untuk terus percaya pada harapan-harapan di situasi kelam dalam kamp tahanan di Plantungan. Menurut pengagas album ini, saat itu untuk bertahan dalam keadaan sulit pangan, para ibu-ibu ini juga mengolah tanaman-tanaman dan hewan-hewan liar untuk mereka konsumsi. Tertarik dengan cerita yang diungkapkan para ibu-ibu Dialita, kami kemudian melibatkan diri dalam eksperimen membuat makanan ringan dari tanaman liar, untuk konser peluncuran album Dialita.

Setelah beberapa persinggungan kami dengan tanaman-tanaman liar ini, kami mulai mempelajari lebih lanjut. Beberapa dari mereka memang dikategori sebagai tumbuhan gulma atau pengganggu yang tidak diinginkan, seperti sintrong (bunga dandelion) yang penyebarannya begitu mudah melalui serbuk bunga yang terbawa angin. Tanaman-tanaman ini sering sengaja dihilangkan, dibasmi dan dijauhkan dari tanaman budidaya lainnya, meskipun beberapa dari mereka tetap tumbuh. Sifat resisten, tidak patuh atau ngeyel dalam tanaman ini yang membantu kami memahami kenapa ia disebut liar. Mungkin juga ketidakmampuan manusia untuk mengontrol pertumbuhan dan persebarannya turut membantunya digolongkan sebagai tumbuhan liar.

Tanah merupakan medan pertempuran, baik antara tumbuhan dan organisme yang tumbuh di atasnya, juga dengan manusia-manusia yang menanamnya. Sejak jaman kolonial, para penguasa atau koloni-lah yang berhak menentukan apa yang harus ditanam dan apa yang tidak, baik untuk kepentingan pasar maupun ilmu pengetahuan. Mulai dari menanam rempah, kopi, dan gula yang dinilai memiliki kurs paling menguntungkan di pasar Eropa, hingga jenis-jenis tumbuhan yang dipajang di kebun raya sebagai representasi dari kehebatan ilmuwan-ilmuwan Eropa atas penelitiannya di tanah tropis. Bahkan hingga hari ini, masih banyak cerita sawah-sawah milih petani di Kalasan yang diam-diam sengaja dirusak oleh birokrat karena tidak berasal dari benih yang dibeli di koperasi pemerintah atau yang sudah dipatenkan. Dalam sejarah hingga sekarang tercatat bahwa perihal menanam dan membudidaya pangan tidak terlepas dari persoalan kekerasan, baik secara fisik maupun epistemik. Hal ini termasuk juga penggunaan-penggunaan pestisida untuk menyingkirkan hama, baik binatang maupun tumbuhan tak diinginkan lainnya.

Berawal dari hal-hal tersebut, kami lebih memikirkan kembali apa yang sedang dilakukan oleh ibu-ibu di Mendira; menanam pangan liar sebagai bentuk resistensi terhadap produk pasar, yang tidak menutup kemungkinan karena didasari faktor ekonomi. Selain itu kami juga melihatnya sebagai usaha untuk mempelajari kembali pengetahuan akan pangan yang dulu dipraktekan oleh generasi sebelumnya di desa mereka, yang mulai hilang seiring anggapan bahwa berbelanja di pasar lebih praktis. Hal ini kemudian membuat kami tertantang untuk membuat sesuatu dengan pangan liar, yang akhirnya menjadikan program “Please Eat Wildly” kami rasa perlu untuk di uji coba di tempat kami biasa beraktivitas, di tengah kota Yogyakarta. Perbedaan konteks geografis antara kota dan rural juga merupakan hal yang kami tekankan dalam proses uji coba ini.

Kami sengaja menaruh proyek ini dalam kerangka percobaan, karena dalam pemetaan tentang beberapa gerakan pangan yang sebelumnya kami lakukan di program Independent Food, kami merasa bahwa berkebun dengan segala atributnya hari ini lebih mengarah pada trend. Terlebih yang dilakukan oleh gerakan-gerakan pangan organik, permakultur, dan lainnya, walaupun tidak semua gerakan tersebut homogen. Sebelum lebih jauh mengeneralisir inisiatif-inisiatif tersebut tanpa pernah mencoba melakukannya, kami kemudian memutuskan untuk memaksa diri melaksanakan sendiri proses berkebun itu, demi mengalami bagaimana lelahnya pekerjaan mencangkul tanah dan panasnya sengatan matahari. Mungkin dengan pengalaman ketubuhan ini, kami jadi lebih bisa menghargai para petani-petani baik yang petani konvensional maupun petani organik di kota. Lebih dari itu, kami ingin tahu dan mengalami proses bagaimana tanaman pangan bisa tumbuh. Sejalan dengan hal tersebut, kami mulai merancang kegiatan menanam ini dengan fokus pada pangan liar dalam proyek “Please Eat Wildly

Tujuan utama dari program “Please Eat Wildly” saat kami rancang di awal, selain sebagai uji coba komitmen kami terhadap kegiatan menanam, kami juga ingin menjadikannya sebagai kebun komunitas yang terletak di kampung di tengah kota untuk sarana berinteraksi dan berbagi pengetahuan tentang pangan liar. Bukan hanya dengan kami yang fokus pada wacana pangan, tetapi juga para warga kampung sekitar. Dengan menggunakan dan memanfaatkan lahan belakang kantor Kunci Cultural Studies Center di daerah Ngadinegaran kami mulai merencanakan kegiatan berkebun pangan liar ini. Disamping itu, kami juga tertantang untuk bereksperimen dengan metode kerja komunitas, dimana waktu, usaha, tenaga, saling percaya dan solidaritas merupakan nilai tukar dan negosiasi yang kami tekankan. Bentuk-bentuk pertukaran, saling belajar, serta rentan kegagalan dan konflik merupakan sesuatu yang kami yakin akan kami hadapi. Tidak ada dari anggota Bakudapan yang mahir dalam berkebun atau bercocok tanam, dan tidak ada dari kami yang rela meluangkan seluruh waktunya untuk kerja fisik di kebun.

Kami juga mencoba mengajukan aplikasi pendanaan pada lembaga The Pollination Project melalui Mantasa untuk proyek ini. Dalam aplikasi tersebut, kami menyebutkan ingin membuat pop-up restaurant dari hasil panen pangan liar sebagai salah satu bentuk presentasi akhir proyek. Alasan ini dipilih sebagai salah satu target penanda yang berhubungan dengan kurun waktu program, yaitu waktu panen yang diperkirakan terjadi dalam rentang selama 6 bulan. Tetapi hal itu bukan satu-satunya penanda waktu akan berakhirnya proyek ini. Kami masih berharap kebun ini akan lebih berkelanjutan diluar jadwal program terkait dengan lembaga donor.

Dalam menjalankan proyek ini kami akan mencoba tetap kritis dan berhati-hati agar tidak menjadikan pangan liar sebagai trend terbaru yang biasanya dikonsumsi kelas menengah, layaknya sayur-sayur berlabel organik di supermarket. Kami juga akan berhati-hati supaya tidak hanya terjebak pada romantisme bertani dan bertanam yang selalu dinilai sebagai kegiatan yang mulia, sehingga kita lupa melihat lebih dalam mengenai permasalahan pertanian yang paling mendasar. Selain itu, yang lebih utama, kami ingin terus kritis terhadap eksperimen-eksperimen yang kami lakukan, termasuk dalam bekerja bersama dan dengan istilah pangan liar itu sendiri.

Apakah pangan liar yang sengaja kami tanam untuk memenuhi keinginan kami bereksperimen dengan pop-up restoran masih layak disebut liar?

 

Design image oleh Natasha Gabriel Tontey