Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Kiriman

Pengembaraan Rasa Seorang Pendekar Kopi

Edible Weed / Esai
  • 13 Januari 2017
  • Bagoes Anggoro

Pendekar. Apa yang terbayang dalam benak anda ketika mendengar kata tersebut? Sosok Bruce Lee kah? Ahli beladiri yang merajai layar kaca di era silam dengan penuh adegan heroik dan mampu melibas lawan-lawannya dengan kostum kuning ikonik miliknya. Atau malah justru terbayang sosok Barry Prima dalam film action lokal yang juga merajai bioskop indonesia di era 70-an? Jagoan yang sanggup memangku tugas dan sering berujung pada kencan dengan wanita cantik. Malah jangan-jangan anda membayangkan yang terdekat semacam pertarungan dalam olahraga Ultimate Fighting Championship, dimana dua petarung jagoan mengadu taji mereka dalam sebuah ring dan menjadi tontonan orang banyak? Ya, tidak ada yang salah dengan semua yang anda bayangkan tadi. Namun, dalam tulisan ini saya bukan ingin berbicara tentang mereka tapi pendekar yang lain, yaitu pendekar kopi.

Budaya dan wacana kopi yang sudah kaya dan semakin ramai dibicarakan belakangan ini memang akan membawa satu bentuk gaya hidup tersendiri dalam masyarakat. Salah satu anekdot yang muncul di dalamnya adalah kemunculan istilah ‘pendekar kopi’. Banyak orang yang disebut sebagai sebagai pendekar kopi oleh kawan-kawan se-perkopian-nya, ataupun dengan bangga melabeli dirinya sendiri dengan istilah pendekar kopi. Namun sebentar, apakah istilah pendekar kopi sudah banyak yang memahami? Mengerti? Atau bahkan mungkin dalam tataran yang paling sederhana, mendengarnya? Saya coba sedikit memaparkan apa yang disebut dengan istilah pendekar kopi dan mari coba sedikit kita lihat dan barangkali kita pahami.

Pendekar. Ya, kenapa pendekar? Kenapa tidak memilih kata ‘musafir’, ‘pengelana’ atau apa kata yang lain? Baiklah, mari kita lihat secara etimologi dan analoginya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata pendekar dijelaskan sebagai “orang yang pandai bersilat, bermain pedang dan sebagainya.” Terjemahan lain dalam KBBI pun mengatakan bahwa pendekar adalah “orang yang gagah berani, suka membela yang lemah dan sebagainya; pahlawan.” Apabila makna ini ditarik ke dalam konteks kopi, maka tentunya seorang pendekar adalah seorang yang dengan gagah berani membela kopi. Namun apa atau siapakah yang dibela? Kopinya, petaninya atau konsumennya? Apakah ia mewujud dalam seorang aktivis yang membela petani kopi dan mati-matian memperjuangkan harga minimal pada setiap kilogram kopi? Atau mewujud sebagai sosok ahli seduh dan yang canggih dalam menghidangkan kopi dan sering disebut barista atau brewer? Atau malah ia berupa konsumen kopi yang merasa tahu cara megapresiasi kopi dengan segala kosa kata canggih, mulai dari single origin hingga V60?

Mari kita lihat secara analogi. Dalam berbagai bentuk hiburan yang sering kita konsumsi; mulai dari film, majalah, sandiwara radio, ketoprak, hingga buku komik; kita setidaknya pernah menjumpai karakter seorang pendekar. Pendekar dalam wilayah ini selalu digambarkan sebagai seseorang yang melakukan perjalanan. Pengembaraan dalam mengasah ilmunya, baik fisik maupun batin. Melewati rentang waktu tertentu, berproses di dalamnya, mengalami banyak hal, dan mencoba mencari sesuatu yang sifatnya diagungkan. Tak jarang dalam proses itu pun seorang pendekar harus berkonfrontasi dengan banyak hal mulai dari pergolakan batin hingga ke duel fisik dengan seseorang. Seperti itu kurang lebih gambaran seorang pendekar yang sering saya jumpai dalam berbagai media.

Sejauh saya mengamati melalui dua pemaknaan yang telah dipaparkan sebelumnya, kemudian saya mencoba membawanya ke konteks keriuhan budaya dan tren kopi yang ada saat ini. Saya mencoba mengobrol dan mencari informasi kesana-kemari, maka pendekar kopi secara sederhana saya artikan sebagai berikut: “seseorang yang berkelana dan menempuh perjalanan dari satu kedai kopi ke kedai kopi lainnya guna mencari rasa terbaik dalam kopi dan kemudian menikmatinya.” Barangkali pemaknaan saya atas pendekar kopi ini masih sangat subyektif. Masih ada aspek lain yang mungkin belum terlihat oleh saya, ataupun malah ada yang menganggapnya salah sama sekali. Tak apa, karena ini memang pemaknaan yang muncul dari pengalaman personal saya. Namun setidaknya izinkan saya untuk sedikit memberikan gambaran tentang apa yang dimaknai sebagai pendekar kopi.

Dari lain sisi dengan sudut pandang seorang brewer atau pemilik kedai kopi, kadang pendekar kopi terkena cap negatif dengan dianggap sebagai seseorang yang menjengkelkan dengan banyaknya permintaan khusus atas secangkir kopi.

“Mas, saya mau kopi yang prosesnya semi wash dong. Diseduh tubruk saja tapinggak usah di pre infuse dulu yak. Airnya pakai suhu diatas 85 aja, trus nanti bla bla bla…” dan seterusnya.

Kalimat permintaan semacam itu tak jarang ditemui oleh seorang brewer yang berhadapan dengan seorang pendekar kopi. Apabila yang diinginkan seorang pendekar kopi tersebut luput, maka tak jarang keluhan muncul, kopi dianggap tidak enak atau bahkan hingga ke titik ekstrimnya kedai kopi tersebut dianggap tidak layak. Sangat masuk akal memang, dan apabila saya yang berada di posisi seorang brewer atau pemilik kedai kopi pun juga bisa saja merasa malas, jengkel, dan sebagainya.

Gambaran di atas menunjukkan beberapa pemaknaan tentang seorang pendekar kopi. Luasnya khazanah kopi di Indonesia pun juga membawa bentuk-bentuk pemaknaan yang sangat personal. Satu saat, saya berkesempatan untuk membicarakan hal ini dengan kawan ngopi dan bertukar cerita saya, yang memang sering disebut orang sebagai seorang pendekar kopi. Sebut saja namanya Soegawir. Dia senang disebut sebagai seorang pendekar kopi oleh orang di sekelilingnya. Alasan dia senang ternyata sangat sederhana ketika saya tanya.

“Ya karena memang di sinilah posisiku. Aku sadar dengan posisiku yang masih hanya bisa sekedar menikmati kopi dan berbagai rasa di dalamnya. Karena masih hanya bisa menikmati maka ya ini yang bisa kulakukan dalam mengapresiasi. Tidak ada tanggung jawab moral lain seperti ketika kita sudah menyandang status sebagai seorang brewer, roaster, cupper, atau yang lainnya. Ini caraku mengapresiasi kopi dan orang-orang di sekitarnya.”

Dalam menjalankan hal yang dia sebut sebagai tanggung jawab, Soegawir pun juga memiliki filosofi yang dalam penglihatan saya terasa mirip seperti seorang pendekar di film-film. Soegawir menjelaskan bahwa seorang pendekar kopi pun juga harus bisa bersikap seperti padi. Semakin merunduk ketika banyak ilmunya dan tidak jumawa.

“Seorang pendekar kopi itu pun juga harus tau karakter rasa dari varian kopi yang diinginkan itu seperti apa, baru boleh bereksperimen lewat permintaan. Jangan lantas enggak ada pemahaman yang baik, tapi mintanya aneh-aneh, trus kalo enggak cocok, menyerang barista. Ya itu sama aja aneh.”

Soegawir menganggap bahwa seorang pendekar kopi itu lebih ke sebuah kapasitas diri dalam mengapresiasi kopi. Sebuah kapasitas ilmu dan kesadaran diri serta bukan semata sebutan. Seorang pendekar kopi menurut Soegawir juga harus bisa bersifat seperti kopi itu sendiri; senantiasa bisa menyerap ilmu dari sekitar, serta bisa menghadirkan rasa nyaman untuk sekitarnya.

Pemaparan di atas dan sepenggal cerita tentang Soegawir saya harap sedikit banyak memberikan gambaran tentang apa itu yang dimaksud dengan seorang pendekar kopi. Seseorang yang mengembara mencari kenikmatan rasa dari hal yang dicintainya. Dalam amatan saya, tak hanya di kopi. Dalam benda apapun yang telah menjadi komoditas dan bagian dari kehidupan konsumsi masyarakat, pencarian kenikmatan dan rasa itu akan selalu ada. Sosok seperti Soegawir dan pendekar dalam tempat lain pun juga ada.

Artikel Terkait

Related Articles

Gambar diambil dari: <a href="https://geckoproject.id/" target="_blank" rel="noopener">The Gecko Project</a>
  • Inspirasi

Food Estate, untuk Siapa?

  • Esai
  • /Publikasi Ulang
1 Juli 2020
Pangan Adiluhung: Membaca Sidney Mintz dan Kemurnian Makanan
  • Kiriman

Pangan Adiluhung: Membaca Sidney Mintz dan Kemurnian Makanan

  • Esai
  • /Politik Pangan
10 Februari 2020
Makan Apa Ya?
  • Inspirasi

Makan Apa Ya?

  • Catatan
  • /Esai
27 Januari 2020
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.