Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Proyek

Please Eat Wildly

Edible Weed
  • 19 November 2016
  • Bakudapan
Design image oleh Natasha Gabriel Tontey

Program Please Eat Wildly diawali oleh kegiatan residensi Bakudapan di Mendiro Jombang bersama Mantasa dan Holopis. Dalam kegiatan ini, kami tinggal beberapa hari, pulang pergi hingga beberapa kali ke dusun Mendiro yang terletak di dataran tinggi Jombang ini. Sebagai bentuk residensi yang biasanya para peserta menetap dalam hitunggan minggu bahkan bulanan, tentu saja bentuk ini jauh dari ideal. Tetapi dari keterbatasan intensitas pertemuan kami dengan tempat ini beserta para warganya menjadikan kami memiliki jarak dan waktu berfikir dan kontemplasi yang lebih.

Dusun mendiro merupakan dusun yang masih memiliki hutan komunitas untuk diolah bersama yang bersifat turun temurun. Disamping itu para ibu-ibu di dusun ini juga sedang bergiat memetakan kembali tumbuhan-tumbuhan yang dahulu dikonsumsi leluhur mereka, yang kemudian mulai hilang tergerus kebiasaan modern, mengkonsumsi apa yang disediakan pasar. Program memetakan dan membudidayakan tumbuhan-tumbuhan yang tidak umum ini juga dilakukan bersama Mantasa, lembaga yang sejak awal bergelut di bidang ini. Awal perkenalan Bakudapan dengan tumbuhan-tumbuhan ini yang kemudian di istilahkan dengan “Pangan Liar” memang melalui Mantasa.

Pangan liar. Istilah ini memang awalnya terdengar aneh, agak berlebihan dan juga problematis. Kata liar yang seolah-olah radikal kerap dipertanyakan orang-orang yang mendengarnya. Lebih-lebih bagian problematisnya adalah ketika tanaman liar ini dibudidaya dan dijual di pasar organik dengan harga yang cukup mahal dibanding sayuran umum di pasar tradisional, tentu saja meruntuhkan sifat ke-liar-annya. Itu adalah anggapan kami diawal perkenalan kami dengan pangan liar ini.

Disela-sela kami memikirkan perihal pangan liar ini, bertepatan juga dengan akan rilisnya album Dialita. Dialita adalah kelompok ibu-ibu paduan suara eks-tapol ‘65 yang sudah berusia diatas 50 tahun. Mereka menciptakan lagu dan menyanyi sebagai jalan untuk terus memberi semangat satu sama lain, kalau tidak dirinya sendiri untuk terus percaya pada harapan-harapan di situasi kelam dalam kamp tahanan di Plantungan. Menurut pengagas album ini, saat itu untuk bertahan dalam keadaan sulit pangan, para ibu-ibu ini juga mengolah tanaman-tanaman dan hewan-hewan liar untuk mereka konsumsi. Tertarik dengan cerita yang diungkapkan para ibu-ibu Dialita, kami kemudian melibatkan diri dalam eksperimen membuat makanan ringan dari tanaman liar, untuk konser peluncuran album Dialita.

Setelah beberapa persinggungan kami dengan tanaman-tanaman liar ini, kami mulai mempelajari lebih lanjut. Beberapa dari mereka memang dikategori sebagai tumbuhan gulma atau pengganggu yang tidak diinginkan, seperti sintrong (bunga dandelion) yang penyebarannya begitu mudah melalui serbuk bunga yang terbawa angin. Tanaman-tanaman ini sering sengaja dihilangkan, dibasmi dan dijauhkan dari tanaman budidaya lainnya, meskipun beberapa dari mereka tetap tumbuh. Sifat resisten, tidak patuh atau ngeyel dalam tanaman ini yang membantu kami memahami kenapa ia disebut liar. Mungkin juga ketidakmampuan manusia untuk mengontrol pertumbuhan dan persebarannya turut membantunya digolongkan sebagai tumbuhan liar.

Tanah merupakan medan pertempuran, baik antara tumbuhan dan organisme yang tumbuh di atasnya, juga dengan manusia-manusia yang menanamnya. Sejak jaman kolonial, para penguasa atau koloni-lah yang berhak menentukan apa yang harus ditanam dan apa yang tidak, baik untuk kepentingan pasar maupun ilmu pengetahuan. Mulai dari menanam rempah, kopi, dan gula yang dinilai memiliki kurs paling menguntungkan di pasar Eropa, hingga jenis-jenis tumbuhan yang dipajang di kebun raya sebagai representasi dari kehebatan ilmuwan-ilmuwan Eropa atas penelitiannya di tanah tropis. Bahkan hingga hari ini, masih banyak cerita sawah-sawah milih petani di Kalasan yang diam-diam sengaja dirusak oleh birokrat karena tidak berasal dari benih yang dibeli di koperasi pemerintah atau yang sudah dipatenkan. Dalam sejarah hingga sekarang tercatat bahwa perihal menanam dan membudidaya pangan tidak terlepas dari persoalan kekerasan, baik secara fisik maupun epistemik. Hal ini termasuk juga penggunaan-penggunaan pestisida untuk menyingkirkan hama, baik binatang maupun tumbuhan tak diinginkan lainnya.

Berawal dari hal-hal tersebut, kami lebih memikirkan kembali apa yang sedang dilakukan oleh ibu-ibu di Mendira; menanam pangan liar sebagai bentuk resistensi terhadap produk pasar, yang tidak menutup kemungkinan karena didasari faktor ekonomi. Selain itu kami juga melihatnya sebagai usaha untuk mempelajari kembali pengetahuan akan pangan yang dulu dipraktekan oleh generasi sebelumnya di desa mereka, yang mulai hilang seiring anggapan bahwa berbelanja di pasar lebih praktis. Hal ini kemudian membuat kami tertantang untuk membuat sesuatu dengan pangan liar, yang akhirnya menjadikan program “Please Eat Wildly” kami rasa perlu untuk di uji coba di tempat kami biasa beraktivitas, di tengah kota Yogyakarta. Perbedaan konteks geografis antara kota dan rural juga merupakan hal yang kami tekankan dalam proses uji coba ini.

Kami sengaja menaruh proyek ini dalam kerangka percobaan, karena dalam pemetaan tentang beberapa gerakan pangan yang sebelumnya kami lakukan di program Independent Food, kami merasa bahwa berkebun dengan segala atributnya hari ini lebih mengarah pada trend. Terlebih yang dilakukan oleh gerakan-gerakan pangan organik, permakultur, dan lainnya, walaupun tidak semua gerakan tersebut homogen. Sebelum lebih jauh mengeneralisir inisiatif-inisiatif tersebut tanpa pernah mencoba melakukannya, kami kemudian memutuskan untuk memaksa diri melaksanakan sendiri proses berkebun itu, demi mengalami bagaimana lelahnya pekerjaan mencangkul tanah dan panasnya sengatan matahari. Mungkin dengan pengalaman ketubuhan ini, kami jadi lebih bisa menghargai para petani-petani baik yang petani konvensional maupun petani organik di kota. Lebih dari itu, kami ingin tahu dan mengalami proses bagaimana tanaman pangan bisa tumbuh. Sejalan dengan hal tersebut, kami mulai merancang kegiatan menanam ini dengan fokus pada pangan liar dalam proyek “Please Eat Wildly”

Tujuan utama dari program “Please Eat Wildly” saat kami rancang di awal, selain sebagai uji coba komitmen kami terhadap kegiatan menanam, kami juga ingin menjadikannya sebagai kebun komunitas yang terletak di kampung di tengah kota untuk sarana berinteraksi dan berbagi pengetahuan tentang pangan liar. Bukan hanya dengan kami yang fokus pada wacana pangan, tetapi juga para warga kampung sekitar. Dengan menggunakan dan memanfaatkan lahan belakang kantor Kunci Cultural Studies Center di daerah Ngadinegaran kami mulai merencanakan kegiatan berkebun pangan liar ini. Disamping itu, kami juga tertantang untuk bereksperimen dengan metode kerja komunitas, dimana waktu, usaha, tenaga, saling percaya dan solidaritas merupakan nilai tukar dan negosiasi yang kami tekankan. Bentuk-bentuk pertukaran, saling belajar, serta rentan kegagalan dan konflik merupakan sesuatu yang kami yakin akan kami hadapi. Tidak ada dari anggota Bakudapan yang mahir dalam berkebun atau bercocok tanam, dan tidak ada dari kami yang rela meluangkan seluruh waktunya untuk kerja fisik di kebun.

Kami juga mencoba mengajukan aplikasi pendanaan pada lembaga The Pollination Project melalui Mantasa untuk proyek ini. Dalam aplikasi tersebut, kami menyebutkan ingin membuat pop-up restaurant dari hasil panen pangan liar sebagai salah satu bentuk presentasi akhir proyek. Alasan ini dipilih sebagai salah satu target penanda yang berhubungan dengan kurun waktu program, yaitu waktu panen yang diperkirakan terjadi dalam rentang selama 6 bulan. Tetapi hal itu bukan satu-satunya penanda waktu akan berakhirnya proyek ini. Kami masih berharap kebun ini akan lebih berkelanjutan diluar jadwal program terkait dengan lembaga donor.

Dalam menjalankan proyek ini kami akan mencoba tetap kritis dan berhati-hati agar tidak menjadikan pangan liar sebagai trend terbaru yang biasanya dikonsumsi kelas menengah, layaknya sayur-sayur berlabel organik di supermarket. Kami juga akan berhati-hati supaya tidak hanya terjebak pada romantisme bertani dan bertanam yang selalu dinilai sebagai kegiatan yang mulia, sehingga kita lupa melihat lebih dalam mengenai permasalahan pertanian yang paling mendasar. Selain itu, yang lebih utama, kami ingin terus kritis terhadap eksperimen-eksperimen yang kami lakukan, termasuk dalam bekerja bersama dan dengan istilah pangan liar itu sendiri.

Apakah pangan liar yang sengaja kami tanam untuk memenuhi keinginan kami bereksperimen dengan pop-up restoran masih layak disebut liar?

Artikel Terkait

Related Articles

Catatan Tiga Workshop Bakudapan Sebagai Imajinasi Siasat Hidup Masyarakarta Urban; Unpacking Embodied Knowledge, Living Leftover  dan Please Eat Wildly
  • Proyek

Catatan Tiga Workshop Bakudapan Sebagai Imajinasi Siasat Hidup Masyarakarta Urban; Unpacking Embodied Knowledge, Living Leftover dan Please Eat Wildly

  • Catatan
  • /Edible Weed
  • /Living Leftover
  • /Lokakarya
  • /Unpacking Embodied Knowledge
9 April 2019
Image : karya Diego Rivera berjudul "The Exploiters" diambil dari internet.
  • Proyek

Interview Bersama Gunawan Wiradi #bagian 2

  • Edible Weed
  • /Kunjungan
17 Juli 2018
Image karya dari Vicente Alvarez Dizon (seniman Filipina) berjudul : "After the Day's Toil"
  • Proyek

Interview Bersama Gunawan Wiradi #bagian 1

  • Edible Weed
  • /Kunjungan
17 Juli 2018
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.