Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Kiriman

Jangan Ada Fasis di Antara Kopi Kita

Esai
  • 28 Oktober 2016
  • Bagoes Anggoro
photo by Fajar Riyanto, 2016.

Even Bad Coffee Is Better Than No Coffee At All

Tulisan diatas terpampang di layar utama laptop milik saya lengkap dengan gambar wajah orang yang mengucapkannya. Ya, quote tersebut diucapkan oleh David Lynch. Seorang pembuat film dan sutradara asal Amerika. Kecintaannya dalam menikmati kopi telah menjelma menjadi sebuah pernyataan yang cukup ikonik mewakili dirinya.

Berbicara tentang kopi memang pada akhirnya akan membicarakan sebuah kompleksitas yang cukup panjang. Melampaui catatan sejarah dari masa ke masa dan berbagai isu di seputar tanaman serta minuman yang telah menjadi salah satu komoditas terbesar di berbagai penjuru dunia. Dalam konteks Indonesia, kopi pun juga sudah menjadi suatu budaya tersendiri. Terma ngopi yang muncul sebagai bentuk aktivitas minum kopi pun juga sudah lazim kita dengar sehari-hari dan seakan menjadi sebuah aktivitas yang begitu saja berlalu. Banyak cara yang telah menjadi bagian dari budaya minum kopi yang ada di masyarakat kita, mulai dari yang tradisional sesuai ciri khas wilayah masing-masing, kopi bubuk dari merek-merek lokal hingga global, kopi dari kedai-kedai franchise yang kerap berada di mall, hingga minum di kedai kopi dengan konsep bar terbuka dimana ada interaksi langsung antara konsumen dan penyeduh yang marak belakangan ini.

Isu-isu yang berkembang tentang kopi pun cukup banyak. Mulai dari kopi organik yang lebih sehat daripada kopi sachet, wacana direct trade yang digalakkan oleh banyak penggiat kopi, dilema dan satirisme dari franchise kopi berlogo putri duyung yang berbicara tentang kesejahteraan petani namun menjual secangkir kopi dengan harga yang amat sangat tinggi dan tidak jelas kemana keuntungan tersebut larinya, hingga tren menjamurnya kedai kopi – kedai kopi dengan masing-masing gaya penjualan dan kampanyenya yang seakan muncul menjadi tandingan dari kopi yang telah terindustrialisasi dan mencoba menciptakan sistem bisnis sendiri yang tidak mengikuti cara bisnis industri besar. Sangat variatif memang, namun apakah benar seperti itu adanya? Kalau selera lidah orang itu berbeda-beda, lantas bagaimana dengan kopi dan minum kopi? Bagaimanakah cara meminum kopi yang baik dan benar? Apakah memang ada aturannya? Namun, apakah itu penting untuk diatur?

Keragaman dan kompleksitas dalam kopi yang sedikit saya paparkan di atas pada akhirnya semua tertuju di bagian paling hilir dari keseluruhan rantai yang ada, yaitu peminum dan penikmat kopi. Kelas dalam peminum kopi pun tercipta. Tren kopi yang muncul belakangan ini seakan membuat semua orang berlomba-lomba untuk menjadi seorang coffee enthusiast dan berusaha mencari ilmu terbaik dalam menikmati kopi. Berkeliling dari satu kedai ke kedai lain dalam rangka mencari rasa terbaik dalam secangkir kopi. Ada pula anekdot ‘pendekar kopi’ yang muncul sebagai respon atas adanya fenomena ini, dimana seorang konsumen akan sangat mendetail dalam menyebutkan pesanannya. Katakanlah Si A yang datang ke sebuah kedai kopi lalu memesan pada tukang seduhnya dengan “Mas, saya mau kopi yang prosesnya honey dong. Diseduh pakai V60, di pre infuse dulu yak. Airnya suhunya antara 80-85 aja, trus nanti bla bla bla…” dan seterusnya.

Mohon maaf apabila ada yang tidak paham dengan istilah-istilahnya. Beberapa kawan saya yang menjadi tukang seduh memang pernah menjumpai konsumen semacam ini. Beberapa pula ada yang berani menanggapi atau malah memberi kebebasan pada konsumen semacam tadi untuk menyeduh sendiri. Ternyata, banyak konsumen semacam tadi yang ternyata pada dasarnya kurang tahu tentang kopi namun berpura-pura tahu karena malu bertanya. Ini pengakuan yang saya dapatkan dari kawan-kawan saya yang menjadi tukang seduh atau mengelola kedai kopi.

Atau mungkin kita tarik lagi ke titik lebih ekstrim dari tren kopi yang ada, banyak yang pada akhirnya tidak mau lagi meminum kopi-kopi kemasan yang banyak ditemukan di swalayan dan seakan memungkiri keberadaannya. Memilih untuk pergi ke kedai kopi dan berusaha meminum kopi dengan benar dengan cara ini dan itu, atau mungkin menciptakan aliran sendiri. Sebentar, yang benar itu seperti apa? Sepengamatan saya, di kedai kopi itu orang ngopi biasanya sambil nongkrong. Berlama-lama mendiskusikan sesuatu dan bukannya kopi habis langsung pergi. Nikmatkah minum kopi sambil nongkrong? Apabila iya, lantas bagaimana dengan kopinya? Sebetulnya yang dicari itu nongkrongnya atau kopinya?

Kopi, sudah tumbuh dan dikembangkan selama kurang lebih 3 abad di Indonesia. Dalam kurun waktu tersebut hingga masa sekarang, masyarakat kita pun juga sudah mengalami berbagai konstruksi budaya termasuk bagaimana cara menikmati kopi. Keragaman suku yang ada dalam bangsa kita pun juga telah menciptakan cara-cara lokal dalam menikmati kopi. Sebut saja kopi saring di Aceh, kopi tarik di Kalimantan, kopi arang di Yogyakarta, atau kopi walik yang dinikmati di pesisir utara Jawa. Dalam masyarakat pun, akses ke kedai kopi juga tak dimiliki semua orang. Tukang becak yang selalu ngopi di angkringan langganan, mahasiswa rantau yang hanya bisa menikmati kopi sachet di kos, hingga ibu-ibu yang biasa menyeduh kopi di rumah dengan merek kopi bubuk lokal seadanya tentu akan memiliki akses yang kurang atau mungkin tidak ada sama sekali untuk ke kedai kopi.

Kelas dalam masyarakat itu ada. Kelas peminum kopi dalam masyarakat pun juga ada. Jarak-jarak antar masyarakat ada, namun kopi senantiasa juga hadir dalam setiap ruang masyarakat tersebut. Seandainya di antara dari kita mampu mengakses dan menikmati kopi ‘enak’, apakah iya, kita lantas akan memaksakan hal yang enak tersebut dengan menjadi nyinyir? Kopi dan ngopi telah menjadi satu konstruksi budaya dalam masyarakat yang menjelma menjadi keragaman selera untuk tiap-tiap individu. Kalau sudah menjadi selera, apakah kita akan memaksakan pengalaman personal kita satu sama lain?

Keragaman budaya kopi yang ada di Indonesia merupakan sebuah anugerah yang belum tentu dimiliki bangsa lain. Tren kedai kopi modern yang ada saat ini dalam hemat saya juga merupakan bagian dari keragaman tersebut. Berbahagialah anda yang masih bisa memiliki akses untuk menikmati kopi nikmat dan mengapresiasinya, apapun jenisnya. Nyaman mungkin menjadi salah satu kunci dalam menikmati keragaman ini. Ketika rasa kopi membuat anda nyaman meminumnya, menikmati dari saat cangkir masih penuh hingga akhir, saya rasa itu sudah cukup tanpa perlu kita menjadi ribut ini dan itu. Apabila kita menganalogikan kopi sebagai sebuah manusia, apakah iya kita mau melihat kopi tersebut selamanya hanya dari satu sisi saja, yaitu rasa? Tanpa mau melihat dan memahami dari sisi yang lainnya dan melihatnya secara keseluruhan dan utuh? Bukankah kopi sudah ada dalam kurun waktu yang lama dalam bangsa ini, yang dalam asumsi saya pasti telah mengalami sebuah wacana yang sangat luas dan kompleks? Layaknya bangsa indonesia yang beragam aneka budayanya, sama halnya dengan kopi dan keragaman penikmatnya. Saya rasa keragaman itu merupakan sebuah pengalaman personal yang patut kita apresiasi dan kita hormati satu sama lain tanpa perlu menghilangkan keragaman yang ada. Bukankah penyeragaman dan penghilangan keragaman itu sama saja seperti tidakan fasis? Tentunya kita tidak mau menjadi ‘fasis kopi’ bukan?

Oh ya, sudah ngopi belum hari ini? Salam.

Artikel Terkait

Related Articles

Gambar diambil dari: <a href="https://geckoproject.id/" target="_blank" rel="noopener">The Gecko Project</a>
  • Inspirasi

Food Estate, untuk Siapa?

  • Esai
  • /Publikasi Ulang
1 Juli 2020
Pangan Adiluhung: Membaca Sidney Mintz dan Kemurnian Makanan
  • Kiriman

Pangan Adiluhung: Membaca Sidney Mintz dan Kemurnian Makanan

  • Esai
  • /Politik Pangan
10 Februari 2020
Makan Apa Ya?
  • Inspirasi

Makan Apa Ya?

  • Catatan
  • /Esai
27 Januari 2020
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.