Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Kabar

Pekan Membaca Bakudapan #2: Bagaimana Membicarakan Isu Pangan dalam Berbagai Kelas Masyarakat?

Esai / Politik Pangan
  • 23 Juli 2016
  • Elia Nurvista
*
Gambar ilustrasi oleh Elia Nurvista

Sore itu kami mengadakan Pekan Membaca Bakudapan yang berangkat dari artikel berjudul “Is Sustainability only for the Privileged?” yang kami akses lewat laman www.resilience.org. Artikel ini ditulis oleh Lucie Bardos, seorang mahasiswa program master yang sedang meneliti mengenai Transition Town Movement. Transition Town Movement adalah komunitas akar rumput yang bertujuan meningkatkan swasembada dan kemandirian dalam rangka mengurangi efek peak oil[1], kerusakan iklim dan ketidakstabilan ekonomi. Inisiatif ini awalnya bermula di Inggris tahun 2006 dengan nama Transition Town Totnes, yang kemudian juga menjalar ke beberapa negara lain di Eropa, Amerika Utara dan Australia[2].

Kami, atau paling tidak saya pribadi, merasa bahwa artikel ini cukup relevan dan bisa dijadikan pemantik serta jalan masuk membicarakan kaitan gerakan yang fokus pada lingkungan dan pangan dengan kelas sosial. Dalam tulisan ini, Lucie berangkat atas kecurigaannya dengan kelompok tersebut karena anggotanya yang cenderung berasal dari kelas yang sama dan tidak memperlihatkan representasi ragam kelompok yang eksis dalam mayarakat. Dengan sebagian besar anggota transition movement yang merupakan warga kulit putih, kelas menengah, dan terpelajar, Lucie mencurigai apakah kelompok ini kemudian sengaja menghindari topik-topik yang tidak nyaman dalam membicarakan isu-isu yang menyentuh kaum imigran, marjinal, kulit berwarna, dan juga kaum kelas bawah.

Setelah melakukan wawancara dengan beberapa orang terkait yang pernah bekerja dengan transition movement, terutama para aktivis yang fokus pada bidang kedaulatan pangan, feminis anarkis, serta indigenous dan imigran dari kelompok marjinal, hampir semua mengekspresikan perasaan teralienasi. Salah satu penyebab perasaan teralienasi ini terjadi karena dorongan halus dari gerakan transition movement untuk mengubah penggunaan bahasa mereka untuk lebih “positif”. Hal ini membuat perasaan tidak nyaman dan tereksklusi yang menyebabkan banyak aktivis kaum marjinal ini berhenti menjadi anggota.

Di lain sisi, Lucie pun mewawancarai anggota transition movement yang mengemukakan perasaan sebaliknya. Beberapa dari mereka menyatakan merasa tidak nyaman dengan penggunaan bahasa oleh kelompok aktivis ini. Mereka merasa kelompok marjinal ini lebih menyerukan tentang “kemarahan dan protes” dibanding apa yang mereka sasar, yaitu “solusi positif” dan juga slogan “dunia yang lebih baik bagi semua orang”. Di sinilah Lucie mulai melihat perbedaan atau gap dalam cara mengekspresikan dan membicarakan isu sosial dalam kelas yang berbeda. Meskipun isu-isu yang mereka sasar kurang lebih sama, tetapi gerakan transition movement seolah terlihat basa-basi, menghindari membahas isu-isu yang mempertegas previlese kelas menengah, dan penggunaan bahasa yang semakin menunjukan jurang perbedaan antara gerakan tersebut dengan gerakan akar rumput lain.

Hal lain yang juga ditekankan oleh Lucie Bardos adalah permasalahan bahasa. Ia  menggunakan contoh pada penggunan kata “sustainability” atau keberlanjutan. Apakah isu tentang keberlanjutan ini hanya menyentuh orang-orang dengan previlese tertentu? Atau bahwasanya isu tentang keberlanjutan ini sebenarnya terjadi dalam semua lapisan kelas sosial, hanya saja dibahasakan dengan berbeda dan ditanggulangi dengan strategi yang berbeda pula? Jika isu keberlanjutan ini mengangkat persoalan yang sama, apakah juga memiliki kegentingan dan kedalaman yang sama di antara kelompok-kelompok masyarakat? Kelompok masyarakat mana yang paling rentan dengan isu-isu ini?

Berbicara mengenai isu keberlanjutan yang lebih luas dan sehubungan dengan hak istimewa kaum tertentu, Lucie juga mempertanyakan apakah keberlanjutan adalah tentang mempertahankan hak-hak semua manusia, termasuk hak untuk berbagai bentuk ekspresi, misalnya kemarahan?

Saya kemudian mengaitkannya dengan situasi yang terjadi disini. Saat ini kami sedang melakukan observasi terhadap gerakan-gerakan pangan yang mengangkat isu tentang kedaulatan dan kemandirian pangan, pertanian selaras dan berkelanjutan, makanan organik dan lokal, fair trade, dan berbagai istilah lainnya. Sejatinya apa yang menjadi permasalahan dan kepedulian kelompok-kelompok ini menyasar pada isu yang sama atau minimal saling beririsan, yaitu tentang keadilan dan akses pangan pada setiap orang. Tetapi saya juga menduga bahwa bagaimana isu ini dibicarakan dan disebarluaskan ke tengah masyarakat juga memiliki problem serupa dengan transition movement yang diulas Lucie Bardos.

Contoh yang bisa saya rasakan sejauh ini adalah mengenai isu swasembada dan kedaulatan pangan. Tentu saja lebih globalnya isu ini dapat berbicara tentang sustainability atau keberlanjutan. Isu tersebut dalam sebagian kelompok masyarakat saat ini coba dijawab dengan berbagai cara dan medium. Mulai dari permakultur atau menanam makanan dalam halaman belakang rumah kita sendiri, dengan metode yang selaras dengan alam, tanpa pestisida dan menerima apa yang alam beri sesuai musim. Walaupun dalam praktiknya, gerakan ini dirasa lebih menyasar pada kelas masyarakat yang memiliki lahan dan waktu cukup untuk kegiatan menanam ini.

Saya kira, banyak warga yang berpenghasilan pas-pasan dan tidak punya banyak waktu luang sebagai pekerja, merasa lebih mudah memenuhi kebutuhan pangan dari pasar tradisional yang ada. Apalagi mengingat bagaimana metode permakultur ini disebarluaskan lewat kelompok-kelompok elit dan beberapa berakhir dengan membuka restoran yang menunya berasal dari produk permakultur dan harganya lebih mahal daripada warung biasa, membuat gerakan ini semakin eksklusif.

Saya membayangkan jika saya berbicara metode permakultur kepada tetangga-tetangga nenek saya di Cebongan sana yang masih berprofesi sebagai petani, mungkin mereka semua merasa asing dengan istilah ini, walaupun bisa jadi mereka sudah mempraktikannya. Apalagi jika disuruh memelihara ikan dengan sistem aquaphonik.

Sementara itu, kembali membahas mengenai usaha-usaha swasembada pangan ini, kemudian terbentur permasalahan keterbatasan lahan terutama bagi penduduk di kota besar yang tidak punya tempat dan kemudian melahirkan metode urban farming. Banyak gerakan atau kelompok yang mendorong agar penduduk di kota-kota besar menanam tanaman, seperti sayuran dan tanaman bumbu sebagai bentuk aksi bahwa mereka mampu memproduksi sendiri untuk kebutuhan konsumsi mereka. Keterbatasan lahan disiasati dengan menanam secara vertikal dalam pot-pot kecil yang trendy dan mungkin saja lebih berfungsi sebagai dekorasi. Istilah urban farming ini kemudian sering diterjemahkan secara sederhana seperti menanam selada, cabai atau sayuran lain di rooftop bangunan mewah di kota. Padahal secara definisi menurut FAO :

“Urban farming atau pertanian urban adalah sebuah industri yang memproduksi, memproses, dan memasarkan produk dan bahan bakar nabati, terutama dalam menanggapi permintaan harian konsumen di dalam perkotaan, yang menerapkan metode produksi intensif, memanfaatkan dan mendaur ulang sumber daya dan limbah perkotaan untuk menghasilkan beragam tanaman dan hewan ternak.”[3]

Urban farming ini kemudian juga melahirkan gerakan-gerakan lain seperti “foodies”, “locavores”, “organic growers” yang tumbuh dan berjejaring di berbagai kota-kota di dunia, terkadang tanpa melihat kembali konteks lokal yang ada. Misalnya seperti istilah permakultur atau sistem pertanian terintegrasi antara tanaman dan ternak serta berdasarkan ekosistem alam yang sebenarnya sudah dikembangkan sejak dahulu oleh leluhur kita dengan nama wanatani, atau para penjual pisang di pasar tradisional yang menjual hasil panennya tanpa tahu kalau produknya dijual di Kemang Jakarta tentunya akan diserbu para “locavores”. Kemudian bagaimana istilah-istilah ini dijadikan slogan gaya hidup terbaru sebagai usaha untuk menunjukan kita sebagai kelompok masyarakat yang tanggap akan masalah-masalah pangan terkini, justru terkadang mempertajam disparitas antar kelas.

Selain itu hal ini terkadang malah menunjukan kegagapan kita terhadap isu-isu pangan yang sebenarnya terjadi dan mengancam kita. Tentu saja isu dan permasalahan pangan akan sangat berbeda dan beragam kasusnya berdasar kondisi sosial dan geografis masyarakatnya. Kita lalu merasa cukup bangga dan seolah memiliki sumbangsih terhadap masalah kedaulatan pangan dengan cara membeli sayuran dengan label lokal dan organik di supermarket, atau meminum kopi di kedai kopi yang mengusung istilah fair trade terhadap petani kopinya, atau kita merasa sudah menjalankan praktik anti kapitalisme pangan hanya karena memakan salad yang sayurannya dipetik dari kebun sendiri.

Saya teringat akan sebuah berita yang sempat saya baca beberapa waktu lalu tentang warga di pesisir Kulon Progo yang melakukan aksi membagi hasil bumi mereka berupa sayur-sayuran kepada orang-orang yang melintasi Jalan Daendels[4]. Aksi ini dilakukan dalam rangka menolak pembangunan bandara di Kulon Progo yang merupakan lahan tempat mereka tinggal dan bekerja sebagai petani. Sangat jelas bahwa yang sedang mereka perjuangkan menyangkut tentang ketahanan pangan dan sustainability, meskipun tanpa menyebut istilah tersebut dalam pergerakan mereka. Mereka berjuang setiap hari dengan cara berdemo, aksi solidaritas, membangun posko untuk mengorganisasi gerakan dan sebagainya sebagai ekspresi dari kemarahan atas pengurangan hak mereka terhadap lahannya. Beberapa pilihan cara mengekspresikan kemarahan mereka memang terasa lebih agresif dibanding gerakan menanam sayur di kebun belakang.

Isu keberlanjutan yang jelas-jelas berhadapan dengan isu pembangunan yang tidak manusiawi ini tentu lebih rentan dan mendesak untuk ditanggulangi bersama. Tetapi saya merasa bahwa isu ini tidak sepopuler dalam wacana keadilan dan akses pangan seperti halnya isu tentang pertanian organik maupun kesejahteraan petani lewat istilah “fair trade”. Apakah mungkin karena isu-isu tentang akses pangan saat ini banyak didominasi kelas menengah dan strategi mereka meluaskannya dengan membentuk jaringan antar kota di dunia, membuatnya cukup mudah dijadikan keresahan bersama? Sedang isu pembangunan bandara atau pembukaan lahan tambang yang terasa sangat local ini hanya menyerang sebagian kecil kelompok?

Saya kemudian jadi bertanya lagi, apakah saat ini gerakan dan aktivisme tentang pangan memang bergerak secara parsial dan terkotak-kotakkan antar kelompok dan kepentingan? Mungkin sekat yang terjadi bukan lagi mengenai batas geografis atau etnis tapi lebih kepada perbedaan sosial dan ekonomi antar kelas.


Catatan Kaki

[1]Peak oil adalah istilah untuk menggambarkan situasi ketika ekstraksi minyak bumi mencapai titik maksimum pada suatu ladang pengeboran minyak bumi. Setelah mencapai peak oil, ekstraksi pengeboran minyak bumi tersebut akan menurun yang menggambarkan penipisan cadangan minyak bumi di ladang tersebut. Sumber https://en.wikipedia.org/wiki/Peak_oil. Diakses 21 Juni 2016.

[2]https://en.wikipedia.org/wiki/Transition_town, Diakses 21 JUNI 2016.

[3] https://en.wikipedia.org/wiki/Urban_agriculture

[4] Berita selengkapnya dapat diakses melalui http://selamatkanbumi.com/tolak-pembangunan-bandara-warga-pesisir-kulon-progo-aksi-bagi-hasil-bumi

Artikel Terkait

Related Articles

Gambar diambil dari: <a href="https://geckoproject.id/" target="_blank" rel="noopener">The Gecko Project</a>
  • Inspirasi

Food Estate, untuk Siapa?

  • Esai
  • /Publikasi Ulang
1 Juli 2020
Pangan Adiluhung: Membaca Sidney Mintz dan Kemurnian Makanan
  • Kiriman

Pangan Adiluhung: Membaca Sidney Mintz dan Kemurnian Makanan

  • Esai
  • /Politik Pangan
10 Februari 2020
Makan Apa Ya?
  • Inspirasi

Makan Apa Ya?

  • Catatan
  • /Esai
27 Januari 2020
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.