Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Kabar

Pekan Membaca Bakudapan #1: “Like Your Labels?”

Esai
  • 15 Juli 2016
  • Khairunnisa
Sumber gambar: www.everydayhealth.com

Saat mengendarai sepeda motor di jalanan Kota Yogyakarta, sering saya temui baliho besar yang memaparkan fakta-fakta mengenai kulit manusia, baik itu kulit wajah maupun kepala. “Sinar biru ini dapat mempercepat mematikan jerawat dan membuat kulit mulus seperti semula”, itu adalah salah satu contoh baliho yang seringkali saya temukan di jalanan. Karena terlalu sering melihat iklan tersebut, saya sampai percaya bahwa kulit yang memang indah itu adalah yang bebas jerawat, selain karena kulit saya sendiri memang berjerawat. Berbagai cara saya coba untuk mendapatkan kulit indah itu, seperti bereksperimen dengan berbagai produk kecantikan, maupun pergi ke dokter kulit, dan petualangan saya dalam pencarian kulit indah pun masih berlangsung. Petualangan saya ini tidak murah, cukup dapat membuat uang saya menipis.

Pengalaman saya dengan kepercayaan akan kulit indah itu sebenarnya membawa saya pada kecurigaan akan narasi-narasi yang melekat pada makanan yang berlabel organik, natural, non-GMO, dan teman-temannya. Memang terlihat tidak saling berkaitan secara langsung, tapi saya akan coba menjelaskannya. “Sayuran kangkung yang segar dan ditanam secara alami ini diolah langsung oleh petani-petani bahagia di sebuah dataran tinggi kaki gunung Merbabu”. Kalau membaca kalimat tersebut saya sendiri langsung memiliki imajinasi bahwa kangkung ini memang segar dan alami, bahkan lebih segar dari kangkung yang baru turun dari mobil saat subuh di pasar tradisional. Jujur, saya juga membayangkan situasi para petani yang bahagia sambil bernyanyi di ladang sedang menanam kangkung. Bayangkan betapa lezatnya kangkung tersebut saat dimasak. Kemudian bayangkan berapa harga yang harus dibayarkan. Bagaimana kalau harga kangkung tersebut ternyata 30,000 rupiah.

Kalau untuk urusan kulit indah saya rela untuk membayar mahal walaupun itu berarti saya juga termakan oleh narasi yang dibangun oleh suatu merek perawatan wajah. Kemungkinan, kebutuhan pribadi saya sendiri lebih utama kepada perawatan wajah, bukan mengenai makanan yang ditanam secara organik. Perasaan tidak butuh akan makanan organik dan alami kemudian membuat saya bertanya-tanya. Mengapa kangkung yang ditanam bahagia dan alami berhak memiliki nilai yang lebih mahal dibandingan dengan kangkung yang dijual begitu saja tanpa ada cerita? Apakah ada perbedaannya kangkung yang dijual dengan narasi dan tidak? Seperti kangkung yang ada di pasar tradisional.

Kecurigaan yang juga menjadi ketertarikan saya ini lalu saya bicarakan melalui kegiatan Pekan Membaca Bakudapan. Untuk Pekan Membaca Bakudapan kali ini, saya memilih artikel dari jurnal Gastronomica[i] yang berjudul “Like your labels?” ditulis oleh Michele Field. Artikel ini menuliskan mengenai label-label yang biasa terdapat pada makanan, seperti fat contents, weight, organic, natural, local, sustainable, dan lainnya. Field memiliki asumsi bahwa terdapat dua jenis konsumen, mereka yang peduli akan label dan narasi yang dibangun, dengan mereka yang tidak tahu atau tidak peduli dengan semua itu. Mereka yang peduli akan label dan narasi yang terdapat pada sebuah produk dikarenakan mereka merasa membutuhkan suatu bentuk pembuktian atas barang yang akan mereka konsumsi. Melalui asumsi Field ini, dia kemudian memaparkan hasil refleksinya dari lapangan dari beberapa label.

“In the world of food, perhaps the counterpart is the person who buys based on the prestige of a brand rather than according to the words that appear on a label; “label eater” has a nice acid to it. “Label-eating” makes the purchaser feel better about herself in the same way that buying the “best” brand once did. Labels can reassure the buyer that her choice was astute, both nutritionally and environmentally.” (Field, 2010)

Kutipan di atas bisa dikatakan adalah salah satu bagian yang saya anggap menarik dan membuat saya memilih bacaan ini sebagai pengantar dari diskusi atas kecurigaan saya di awal. Jika kembali ke pambahasan mengenai kulit indah, saat saya memilih merek tertentu untuk perawatan kulit saya, saya merasa menjadi pribadi yang lebih baik, karena merek yang saya pilih memiliki narasi yang paling mewakili keinginan dan perasaan saya. Namun, saat itu berkaitan dengan makanan saya akan lebih cenderung curiga, merasa tertipu, dan mungkin sinis dalam mempertanyakan kepentingan dan kebenaran dari setiap narasi yang ada.

Saya tidak merasakan saya menjadi pribadi atau anggota masyarakat yang baik saat membayar 10.000 rupiah lebih mahal untuk seikat kangkung, demi produk dengan label organik dan akan menyejahterakan petani. Justru yang timbul berbagai pertanyaan seperti, petani yang mana?, menyejahterakan dalam bentuk seperti apa?. Dengan penghasilan saya yang sekarang ini, akan sulit rasanya berkomitmen untuk mengonsumsi makanan dengan narasi yang seolah membuat citra saya menjadi pribadi yang lebih baik. Oleh sebab itu, saya merasa narasi yang dilekatkan setiap barang, khususnya dalam hal ini produk makanan organik dan alami, hanya membuat mereka menjadi lebih mahal.

Saat bacaan ini kemudian dilemparkan pada sesi Pekan Membaca Bakudapan, muncul komentar-komentar menarik terkait dengan bahasan ini. Saya kemudian merangkum dari isu-isu yang muncul selama diskusi berlangsung ke dalam tiga poin bahasan, yaitu keamanan, pengetahuan, dan pasar. Berbicara mengenai keamanan, berarti terkait juga mengenai ketakutan. Ketakutan ini dicurigai berasal dari pertanyaan “darimana asal makananmu?” Ketika pertanyaan tersebut timbul, akan ada keraguan apakah sayuran yang dimakan ini benar-benar sehat? Bagaimana kalau sayuran ini ditanam dengan pestisida? Penyakit apa yang akan muncul nantinya? Ketidaktahuan akan asal dari bahan-bahan makanan inilah yang kemudian turut serta berkontribusi dalam terbangunnya sebuah narasi. Maka, saat kalian membeli produk organik, mereka akan memaparkan asal dari setiap barang yang dijual, seperti daerah, suhu, ketinggian, dan kondisi tanah di mana mereka ditanam.

Namun semua tidak berhenti di sana, tidak hanya informasi akan asal bahan makanan, tetapi kemudian berujung kepada informasi akan “kebahagiaan” dari petani yang menanam. Apakah sayuran yang saya makan ini menyejahterakan petani? Narasi yang dibangun tidak hanya berkaitan dengan alam, tetapi juga pribadi yang menanamnya, dan harga yang disematkan pada produk tersebut pun dirasa pantas untuk menjadi lebih mahal.

Jika suatu produk organik ini memiliki harga yang mahal, maka siapa konsumen mereka? Dalam diskusi Bakudapan, saya menduga bahwa kelas dengan tingkat ekonomi menengah ke atas adalah konsumen yang mampu mengakses produk dengan narasi yang sangat detail ini. Saat hanya kelas tertentu saja yang dapat mengonsumsinya, saya curigai ini terjadi karena adanya gap pengetahuan. Saya merasa kelas ekonomi menengah ke atas merasa perlu mengonsumsi produk yang jelas asal usulnya karena mereka memiliki akses untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan mengenai isu-isu makanan. Saat akses mereka miliki, maka kepentingan untuk mengonsumsi produk tersebut menjadi hal yang utama dan permasalahan harga tidak menjadi pertimbangan utama. Sedangkan bagi mereka yang memiliki tingkat ekonomi rendah, hargalah yang menjadi pertimbangan utama bagi mereka, tidak peduli seberapa panjang dan baik narasi yang ada pada suatu produk.

Saya menjadi semakin curiga dan terkadang merasa terganggu saat suatu produk bisa menjadi lebih mahal hanya dikarenakan sebuah narasi yang dimilikinya. Produk-produk yang memiliki label organik misalnya, hanya dengan tulisan ‘organik’ dan kemudian ditambah dengan narasi mengenai latar belakang produk tersebut, sebuah kangkung akan dihargai menjadi 20.000 Rupiah. Menariknya, korporasi pun mencontoh metode pemasaran produk mereka dengan menyematkan narasi atau bahkan mereka juga memproduksi produk-produk organik. Harganya? Tetap lebih mahal dibandingkan dengan harga produk serupa tanpa narasi dan label apapun. Namun, bukan berarti saya tidak menaruh rasa curiga terhadap pasar alternatif[ii] yang menjual produk-produk langsung dari petaninya dengan narasi-narasi dan label organik serta alaminya yang juga tak lupa disematkan. Di pasar alternatif ini terkadang sering pula ditemui produk yang harganya cukup mahal jika dibandingkan dengan yang ada di pasar tradisional. Lalu, apa perbedaanantara produk organik yang dijual oleh korporasi dengan pasar alternatif saat harga, narasi, label yang dimiliki serupa?

Akhirnya saya menjadi bingung dan curiga kepada diri saya sendiri. Sebagai konsumen saya merasa curiga dan sinis terhadap produk yang hanya dengan modal narasi dan label ‘organik’ berhak dihargai lebih mahal. Rasa curiga dan sinis ini juga mengarah kepada kelas menengah ke atas yang menjadi sasaran, di mana mereka dengan mudah membeli dengan alasan karena mereka memang membutuhkan produk tersebut atau produk tersebut penting. Lalu apa bedanya kelas menengah ke atas itu dengan saya? Saya merasa tidak masalah saat membeli produk perawatan wajah yang diproduksi oleh baik korporasi maupun pasar alternatif. Asumsi saya, saya merasa tidak masalah saat itu berkaitan dengan kepentingan individu dan sah saja karena itu kebutuhan pribadi. Mungkinkah ini juga motif yang dimiliki oleh kelas menengah ke atas saat mengonsumsi produk dengan label organik dan narasi yang dibangun? Sampai saat ini kebingungan itu masih ada dalam kepala saya dan bisa dikatakan menjadi ketertarikan saya untuk proyek Independent Food oleh Bakudapan ini.


Catatan kaki:

[i]http://www.jstor.org/stable/10.1525/gfc.2010.10.1.91?seq=1#page_scan_tab_contents

[ii]telah dibahas sebelumnya pada tulisan mengenai Pasar Kamisan

Artikel Terkait

Related Articles

Gambar diambil dari: <a href="https://geckoproject.id/" target="_blank" rel="noopener">The Gecko Project</a>
  • Inspirasi

Food Estate, untuk Siapa?

  • Esai
  • /Publikasi Ulang
1 Juli 2020
Pangan Adiluhung: Membaca Sidney Mintz dan Kemurnian Makanan
  • Kiriman

Pangan Adiluhung: Membaca Sidney Mintz dan Kemurnian Makanan

  • Esai
  • /Politik Pangan
10 Februari 2020
Makan Apa Ya?
  • Inspirasi

Makan Apa Ya?

  • Catatan
  • /Esai
27 Januari 2020
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.