Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Kiriman

Lapak Kopi Bakudapan: ‘Sececap Asa dan Secangkir Kebebasan’

Esai
  • 11 Juli 2016
  • Bagoes Anggoro

Introduksi

Kopi, pastinya Anda semua sudah akrab dengan nama itu bukan? Apabila tidak, mohon maaf kalau Anda saya katakan ndeso. Ya, kopi. Tanaman yang biji buahnya menjadi salah satu bahan olahan minuman utama di seluruh penjuru dunia. Tanaman lokal yang memiliki berbagai macam jenis sesuai daerah tempat tumbuhnya masing-masing, melampaui berbagai masa dari kolonialisme hingga menjadi bagian konsumerisme hari ini. Sejarah panjang telah dilalui tanaman ini dengan berbagai komodifikasi dan nilai pemaknaan di tiap zamannya, hingga sekarang menjadi salah satu komoditas ekspor impor utama di berbagai bagian dunia. Proses perjalanan sebuah biji kopi pun juga panjang sebelum tersaji menjadi secangkir kopi tubruk, kopi saring, cappucino, caffe latte, ataupun olahan-olahan lainnya di meja sebuah rumah, warung kopi, hingga meja sebuah coffee shop.

Suatu petang di Kunci Cultural Studies Center tempat saya menghabiskan sebagian besar waktu saya, salah seorang kawan dari Bakudapan melontarkan pertanyaan kepada saya: “Gus, kamu kok suka ngopi kenapa?” Saya pun duduk dan terdiam sejenak lalu menjawab: “Ya karena enak. Aku suka, senang dan nyaman dengan apa yang ada di dalam dan sekitarnya.” Yang beberapa saat kemudian ditimpali lagi oleh kawan saya tersebut: “Kenapa kamu enggak ngulik tentang kopi aja untuk di Bakudapan kali ini? Toh kan juga sejalan dengan apa yang sedang kamu lakukan di Kunci kan?” Sejenak saya terdiam dan berpikir. Memang saat itu saya sedang melakukan riset bersama tim Kunci Cultural Studies Center dengan tema tentang model-model pembelajaran, dan kebetulan yang saya singgahi adalah salah satu komunitas para penggiat kopi di Yogyakarta. Dari pertanyaan tadi, saya hanya menjawab: “Lha, emangnya boleh dan nyambung? Bukannya kita itu acuannya ‘food’, dan kalau kopi ini kan itungannya masuk ke beverage?” Yang dijawab dengan jawaban yang nyeleneh tapi masuk akal menurut saya,“Iya memang. Tapi itu kan kuliner juga? Dan kali ini bukannya kita memang sedang membahas tentang sehat, organik, independen dan isu-isu yang ada di sekitarnya? Jadi menurutku sih sah-sah aja.” Hingga kemudian usulan dan wacana ini dibawa ke forum yang lebih besar dalam kelompok kami dan disetujui oleh semuanya, kemudian dari situlah saya mulai gas pol dan mencari strategi riset yang menarik.

Isu dan wacana tentang pangan sehat memang belakangan ini kian sering kita dengar dan lihat. Pertanian organik, pasar sehat organik, restoran-restoran sehat dari hasil kebun sendiri, hingga ke gaya hidup sehat sudah banyak bermunculan di berbagai obrolan dan media sosial. Menurut saya acuannya adalah satu, yaitu sebuah kemandirian dan kedaulatan pangan. Namun justru dari situlah kecurigaan kami muncul. Apakah benar gerakan ini punya sebuah landasan yang kuat ataukah hanya sebuah gaya hidup semata? Sejumlah tempat pun juga sudah kami kunjungi guna mengetahuinya. Berdialog santai dengan para pelaku serta membuat dokumentasi kecil sebagai langkah awal dalam penelitian ini, yang akan diperdalam dengan metode lain yang sedang kami pikirkan dan uji coba.

Wacana tentang kopi pun juga tak luput dari kecurigaan kami. Isu tentang kopi organik yang lebih sehat daripada kopi sachet, wacana fair trade yang digalakkan oleh banyak penggiat kopi, dilema dan satirisme dari franchise kopi berlogo putri duyung yang berbicara tentang kesejahteraan petani namun menjual secangkir kopi dengan harga yang amat sangat tinggi tanpa kita tahu kemana larinya keuntungan tersebut, hingga tren menjamurnya kedai kopi dan coffee shop independen dengan masing-masing cara penjualan dan kampanyenya yang seakan muncul menjadi tandingan dari kopi yang telah terindustrialisasi dan mencoba menciptakan sistem sendiri. Sangat kaya memang, namun apakah benar seperti itu adanya? Kalau selera lidah orang itu berbeda-beda, lantas bagaimana dengan kopi dan minum kopi? Bagaimanakah cara mengajari orang untuk minum kopi yang “benar”? Apakah iya minum kopi pun harus diatur dengan kita tahu secara presisi untuk masalah jumlah bubuk kopi tiap cangkir, suhu air, asal kopi dan tetek bengek lainnya? Stop, itu nanti dulu! Pertanyaan-pertanyaan itu saat ini menjadi jenis pertanyaan yang paling sering muncul dan kini saya sedang memikirkan bagaimana metode yang tepat guna untuk setidaknya memunculkan kelegaan dari hal-hal tersebut.

Kedai Kopi atau Coffee Shop?

Saya menikmati dan minum kopi sejak dari usia SMA. Saya sering menyeduh kopi sendiri ataupun pergi ke berbagai kedai kopi dan coffee shop untuk bekerja atau sekadar bertemu kolega. Saya memiliki banyak teman yang juga suka dengan kopi dan yang tidak bisa minum kopi sama sekali. Di awal saya datang ke Yogyakarta, saya sering menghabiskan waktu di sebuah kedai kopi yang berada di bagian timur Yogyakarta dan menikmati kopi di sana bersama siapapun. Sejauh yang saya ingat, mulai dari sekitar tahun 2010 tiba-tiba saja pertumbuhan kedai kopi di Yogyakarta menjadi begitu pesat. Hingga di waktu saya membuat tulisan ini, kota Yogyakarta sudah dijamuri berbagai kedai kopi di segala penjuru kota dengan kemasan dan pelanggannya masing-masing. Data tak resmi dari perkataan seorang teman menyebutkan bahwa menurut sebuah lembaga survei, ada sekitar 500 kedai kopi untuk wilayah D. I. Yogyakarta di awal tahun 2016. Terlepas dari benar atau tidaknya, yang jelas ini adalah sebuah pergerakan yang spektakuler menurut saya.

Kembali ke topik tentang kopi yang ingin saya bahas dalam independent food, tercetus dalam benak saya pemikiran semacam ini: sepertinya seru dan menyenangkan bereksperimen dengan metode membuka kedai kopi atau berjualan kopi, supaya tahu sendiri bagaimana pola bekerjanya dan hal-hal apa saja yang akan terjadi. Berhubung sekilas serta keterbatasan waktu dan energi, maka ide ini pun tidak pernah saya lontarkan kepada rekan-rekan Bakudapan. Tak lama berselang mendekati bulan Ramadhan, Bakudapan diajak untuk ikut meramaikan acara “Acemart” yang digagas oleh kawan-kawan dari Ace House Collective. Acemart merupakan sebuah spinoff dimana Ace House Collective yang merupakan sebuah kolektif seni membuat pameran seni rupa. Alih-alih membuat pameran dalam model galeri pada umumnya, mereka justru mengubah tempat mereka menjadi sebuah mini market dan memamerkan serta menjual karya seni yang disandingkan dengan berbagai macam kebutuhan sehari-hari layaknya sebuah mini market 24 jam yang sering kita temui. Singkatnya mereka memparodikan bentuk convenience store, di mana pada halaman muka mini market ini biasanya terdapat area berjualan kuliner dan tempat nongkrong, yang lalu diberi nama AcemartPoint. Bakudapan kemudian berpartisipasi berjualan kopi dengan saya sebagai penanggung jawabnya.

Kopi dan Nongkrong

Nongkrong, barangkali kata itulah yang menjadi kunci bagi saya untuk memikirkan strategi selanjutnya. Awalnya kami menyepakati bahwa akan berjualan di sana mulai dari tanggal 28 Mei 2016 hingga 5 Juni 2016. Untuk awalan, varian jenis kopi yang kami hadirkan memang tidak banyak dan juga tak jauh dari sekitar. Kopi Papua Kiwirok Bintang yang memang sedang coba dipromosikan oleh kawan saya Gloria. Kopi Jawa Temanggung yang saya peroleh dari kawan saya yang memiliki sebuah kedai kopi. Kopi Mendira Jombang yang juga diperoleh Gloria saat dia menjalankan program residensi Holopis, yang masih terkait tema independent food kali ini. Ada ketakutan dari saya, bahwa eksperimen dengan berjualan kopi ini tidak berhasil dan tidak laku, namun satu hal yang membesarkan hati saya yaitu takaran berhasil dan tidaknya seperti apa? Apakah ukuran keberhasilan hanya laku semata? Akhirnya saya tetap mengambil kesempatan ini, dengan mencoba membuat lapak kopi ini dengan cita rasa kedai kopi atau coffee shop populer.

Beberapa hal yang saya praktikkan di sini adalah bagaimana ketika menu-menu dan metode menyeduh yang ada di kedai kopi atau coffee shop semacam Espresso, Americano, V60, Cappucino, Flat White, Coldbrew akan saya bawa ke dalam bentuk lapak seperti ini? Lalu persoalan harga dari menu-menu tersebut. Apakah harga sekelas kedai kopi dan coffee shop independen mampu diterima di sini? Terakhir adalah apakah pencitraan tentang ruang serta narasi sebuah kedai kopi atau coffee shop yang fancy itu perlu ketika ruang sebuah coffee shop itu sendiri dihilangkan dan hanya menempati sebuah lapak? Pertanyaan itulah yang muncul dan sekaligus coba saya uji lewat eksperimen kali ini.

Sepengalaman saya sebagai seorang penggemar kopi, tiap kedai kopi pasti memiliki cara sendiri dalam mengolah harga, menu serta promosi mereka. Banyak dari mereka yang memanfaatkan media sosial sebagai cara berpromosi dengan berbagai cerita dan membuat harga dari kesesuaian tempat dan pencitraan yang mereka bangun. Cerita yang diangkat pun tak jarang yang membicarakan tentang nongkrong, kebersamaan, berkumpul, guyub, persaudaraan dan keriaan lainnya. Dari situlah saya memiliki sebuah pemikiran semacam ini: orang nongkrong pasti membutuhkan teman nongkrong selain dalam wujud manusia. Camilan, obrolan, minuman, musik, nonton bareng, main kartu, merupakan beberapa contoh dari chemistry yang mendukung nongkrong. Kopi pun menjadi pilihan untuk saya hadirkan di sini guna mendukung konsep coffee shop dan nongkrong yang telah direncanakan.

Beberapa kawan yang memiliki kedai kopi atau coffee shop saya hubungi guna meminjam alat-alat dan perlengkapan seduh mereka untuk membuka lapak ini. Sempat khawatir tidak mendapat pinjaman, namun di luar dugaan semua yang saya hubungi ternyata bersedia meminjamkan alat-alat milik mereka dan bahkan menawarkan bantuan lain apabila dibutuhkan. Baru pertama kali ini saya meminjam peralatan untuk menyeduh kopi dan semuanya mengabulkan. Sangat menyenangkan tentunya, dan saya berpikir bahwa ini merupakan manfaat yang saya rasakan secara langsung dari seringnya saya berkeliling dari satu kedai kopi ke kedai kopi lain lalu berkenalan dengan orang-orang yang ada di dalamnya. Urusan menentukan harga menu pada awalnya saya bingung, dan mencoba mengajak berdiskusi Gloria perihal urusan ini. Kami awalnya menyepakati harga menu yang variatif sesuai dengan tingkat kerumitan masing-masing menu, hingga akhirnya Faris Samhan atau sering dipanggil Sam; seorang yang memang berprofesi sebagai barista mengusulkan untuk memasang harga flat atau pukul rata untuk semua menu dengan alasan kepraktisan dan keyakinan pasti laku. Saya pun berpikir kalau untuk makanan yang sehat dan enak bisa dijual dengan harga yang agak tinggi, kenapa kopi tidak? Toh ini juga diolah dengan cara “sehat dan benar” seperti di kedai kopi atau coffee shop. Akhirnya kami pun sepakat dengan model harga flat sebagai tes pasar. Terima kasih juga untuk Sam yang bersedia meluangkan waktu mengajari dan menjadi tukang seduh Lapak Kopi Bakudapan, di mana kami bereksperimen berjualan kopi namun hanya dengan kemampuan menyeduh yang ala kadarnya.

Lapak Kopi Bakudapan

28 Mei 2016 pun tiba dan kami mulai berjualan. Sesuai dengan kesepakatan dengan pihak Acemart, kami buka dari jam 6 sore hingga 12 malam. Sepertiga teras rumah yang dipakai Ace House Collective yang telah menjelma menjadi Acemart adalah ruang yang diberikan kepada kami untuk berjualan kopi. Kurang lebih berukuran 2 x 1,5 meter. Meja yang kami pakai pun seadanya, sesuai yang tersedia di sana dan kami tata sedemikian rupa sehingga menciptakan ruang kerja yang efisien. Menu hanya kami hadirkan melalui tulisan dalam sebuah papan tulis. Di situlah, yang akhirnya menjadi tempat berjualan sekaligus tempat menyeduh kopi yang kami namai Lapak Kopi Bakudapan. Sama sekali jauh dari kesan fancy dan mewah.

Di luar dugaan, ternyata antusiasme para pengunjung Acemart terhadap kopi cukup luar biasa. Walaupun tampilan kami seadanya, namun banyak pengunjung yang masih merasa baru dengan menu yang kami sajikan serta peralatan yang kami turunkan dan pajang di meja saji kami. Salah satu keuntungan memakai model bar yang bisa disaksikan langsung oleh pembeli adalah apabila ada pembeli yang bertanya, kami pun bisa langsung menjelaskannya. Saya memiliki asumsi bahwa kebanyakan para pengunjung di sini terbiasa minum kopi sachet atau merek-merek populer yang mudah diperoleh di pasar swalayan sehingga kehadiran kami di sana tampak menjadi sesuatu yang baru. Kami tidak menyalahkan itu juga, karena kopi sekali lagi masalah selera.

Sebut saja coldbrew yang menjadi menu favorit para pembeli. Coldbrew adalah kopi yang diseduh dengan air dingin dan disajikan dengan es batu. Karena memiliki cita rasa yang segar, tak jarang pembeli yang meminta dicampur dengan susu kental manis. Banyak yang mengira coldbrew adalah es kopi pada awalnya. Pendapat dan komentar-komentar yang muncul kemudian memberi ruang bagi kami yang berada di balik meja bar untuk menjelaskannya bagi siapapun yang penasaran, seperti yang terjadi saat seorang pembeli bertanya, “Lho, ini bukan es kopi to? Jenenge opo, coldbrew? Iki carane nggawe piye?”(1). Akhirnya dari situlah tercipta obrolan dan candaan. Kebebasan dalam menikmati kopi juga kami berikan seutuhnya kepada para pembeli, hingga sampai satu saat ada pembeli yang memberikan pujian karena menurutnya lapak kopi kami tidak seperti di coffee shop ini dan itu yang mengharuskan pembeli meminum kopi yang dipesannya tanpa gula. Seorang pembeli lain misalnya, yang mengatakan, “Eh, ini kopinya boleh pakai gula kan minumnya? Gak kaya yang di Jakal itu kan, kudu nggak pakai gula?” Atau yang lain yang berkata, “Lha, kopi ki yo ngene iki. Bebas le ngombe piye. Mosok gak oleh nganggo gula. Dikremus wae sesuk kopine.”(2)

Kembali ke lapak kopi kami, banyak dari pembeli di Lapak Kopi Bakudapan yang masih sangat minim informasi tentang model dan metode yang kami pakai itu seperti apa. Mereka masih awam dengan istilah seperti varietas biji kopi, metode pengolahan, metode seduh, hingga jenis-jenis rasa yang muncul. Melihat keadaan ini pun kami juga tidak ingin menjadi kaku dan malah mempersulit keadaan yang akhirnya malah bisa jadi seperti para fasis kopi lainnya. Akhirnya pertanyaan yang sering muncul dari kami kepada pembeli yang kebingungan pun semacam: kopinya mau yang ada ampasnya atau disaring?, kopinya mau yang ringan, sedang atau kuat?, panas atau dingin?, “mau pakai susu atau enggak?, dan semacamnya. Dengan mempermudah pertanyaan kami, ternyata pembeli pun juga bisa lebih cepat memutuskan, dan justru kami yang harus bekerja menerjemahkan keinginan pembeli. Beberapa kali pun terjadi “salah membuat kopi” dan “salah pesan kopi”. Tak apa, itu pun juga menjadi bagian dari proses ini yang saya rasa cukup menyenangkan dan mengejutkan. Mengejutkan di sini artiannya adalah tidak pernah ada yang marah dengan kesalahan yang ada, namun justru malah jadi bahan obrolan hingga bercanda. Mungkin hal ini tidak akan terjadi di coffee shop profesional di mana antara barista dan pembeli sama-sama tahu akan hal per-kopi-an secara detail. Lapak kami memang lebih bernuansa amatir yang pembelinya tenyata juga amatir.

Banyak juga diantara pembeli di Lapak Kopi Bakudapan pada dasarnya ‘tidak bisa’ minum kopi, akibat pencitraan tentang kopi yang sudah terlanjur melekat dalam masyarakat, namun mereka memiliki keinginan untuk mencicipi kopi kami. Alhasil adalah pertanyaan-pertanyaan semacam,”Mas, aku kepengen ngopi tapi takut deg-degan, yang enggak bikin kaya gitu ada mas?”, atau, “Enaknya pesen kopi apa ya mas yang enggak bikin begadang?”. Sekali lagi ujian muncul di situ, namun kami berhasil meyakinkan pembeli dan bahkan ada yang kembali lagi dan memesan kopi lagi sambil berkata,“Mas, kopimu kok aneh ya? Enggak bikin melek sama deg-degan.” Hal-hal semacam ini yang menjadi satu kepuasan tersendiri bagi kami dan barangkali sebuah langkah kecil sederhana dalam menemukan jawaban.

Budaya Lisan dalam Ngopi

Sepengamatan saya selama berjualan, ada hal yang menurut saya menarik. Kenapa kopi dan nongkrong sepertinya sangat erat dan dekat hubungannya? Ketika merenungkan pertanyaan itu, saya menjadi ingat dengan pernyataan seorang kawan saya yang mengatakan,“Bangsa kita itu awalnya tidak dibangun dengan budaya baca tulis. Yang ada dan hidup di bangsa kita itu ya budaya lisan. Makanya orang itu akan selalu betah menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk sekadar duduk. Bercerita, berdiskusi, ataupun hanya sekadar mendengarkan.” Dari sini pun saya merasakan bahwa ada benarnya pernyataan dari kawan saya. Asumsi (atau lebih tepatnya kecurigaan) yang muncul selanjutnya dalam benak saya adalah apakah budaya lisan yang hidup dalam bangsa kita memang dekat hubungannya dengan budaya minum kopi yang ada? Jangan-jangan malah ternyata keduanya saling melengkapi? Apabila memang benar begitu, siapa yang menolak untuk dibuatkan tempat nongkrong dengan kopi sebagai suguhannya?

Wacana dan khazanah kebudayaan tentang kopi memang diwarnai oleh banyak hal dan isu. Dari masa lalu hingga sekarang, kopi memang telah mengalami banyak perubahan nilai hingga akhirnya menjadi sebuah komoditas yang selalu diolah. Tren kopi yang bermunculan belakangan ini pun juga tidak terlepas dari hal itu, terkomodifikasi hingga pada akhirnya juga menjadi komoditas yang diolah bersama kopi. Cara menikmati kopi yang benar, teknik pembuatan yang baik, wacana fair trade dan kopi organik pun juga bermunculan seiring dengan tren tersebut dan seakan menjadi sebuah agama dengan umatnya masing-masing. Saya jadi ingat obrolan dengan Mas Ipung sebagai salah satu pengelola kedai kope Red Seeds kala memperpanjang peminjaman alat, yang berkata kepada saya,“Kamu nggak usah tergesa. Kalau memang ini eksperimen bagimu ya dilakukan saja. Toh dari situ kan pasti akan ada kemungkinan-kemungkinan lain sama yang bisa diolah dan strategi baru yang ditempuh. Yang jelas ketika kamu berjualan dan kamu punya massa sendiri, justru massa ini yang sebetulnya perlu diperhatikan.” Pernyataan itu memang saya amini. Butuh waktu dan ruang lain ketika kita akan membicarakan hal-hal lain seputar kopi semacam sejarah kopi, teknik seduh, hingga ke politik fair trade yang masih simpang siur pemaknaannya. Menjadi langkah dan kemungkinan selanjutnya seusai eksperimen saya bersama tim Bakudapan melalui lapak kopi. Saya hanya meminta izin dalam kesempatan kali ini bercerita tentang apa yang saya alami ketika kami membuka Lapak Kopi Bakudapan.

Saya memang tidak menganut aliran tertentu dalam menjalankan Lapak Kopi Bakudapan. Semuanya coba saya bebaskan dan justru banyak hal-hal dan dialog-dialog menarik yang muncul tanpa mengaburkan esensi dari kopi itu sendiri. Kembali saya teringat perkataan kawan lama saya bernama Feri yang saat ini mengelola Magistra Coffee dan juga dari tangan dinginnya telah lahir nama-nama besar dalam dunia kopi. Saat saya panik dan meminta sarannya akibat Lapak Kopi Bakudapan diperpanjang masa hadirnya, dia hanya tertawa sambil berkata kepada saya,“Ya itu jadi risiko kamu ketika bereksperimen dengan penelitian kamu melalui jualan. Apalagi ketika kamu tahu bahwa barang jualanmu itu memang bagus kualitasnya. Kamu sebetulnya nggak perlu khawatir dan tenang saja. Setiap kopi pasti akan menemukan peminumnya sendiri, apapun itu bentuknya.” Salam.


Catatan kaki:

(1) Namanya apa, coldbrew? Ini cara membuatnya bagaimana? (Bahasa Jawa)

(2) Loh kopi itu ya begini. Bebas minumnya mau bagaimana. Kok nggak boleh pakai gula. Dikunyah saja besok kopinya. (Bahasa Jawa)

Artikel Terkait

Related Articles

Gambar diambil dari: <a href="https://geckoproject.id/" target="_blank" rel="noopener">The Gecko Project</a>
  • Inspirasi

Food Estate, untuk Siapa?

  • Esai
  • /Publikasi Ulang
1 Juli 2020
Pangan Adiluhung: Membaca Sidney Mintz dan Kemurnian Makanan
  • Kiriman

Pangan Adiluhung: Membaca Sidney Mintz dan Kemurnian Makanan

  • Esai
  • /Politik Pangan
10 Februari 2020
Makan Apa Ya?
  • Inspirasi

Makan Apa Ya?

  • Catatan
  • /Esai
27 Januari 2020
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.