Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Kabar

Berkunjung ke Kebun Bumi Langit

Kunjungan
  • 26 Mei 2016
  • Gatari Surya Kusuma

Perjalanan pagi itu dimulai pukul 08.00 berangkat dari daerah Minggiran, Yogyakarta menuju ke pinggiran, daerah Imogiri. Kami memulai perjalanan dengan menggunakan dua motor dengan masing-masing motor diisi oleh dua penumpang. Perjalanan berhasil kami tempuh selama kurang lebih empat puluh menit. Pemandangan sepanjang perjalanan sangat nyaman untuk dinikmati di pagi hari. Dengan udara yang sejuk, cukup berbeda ketika sedang berada di kota Yogyakarta. Pagi itu saya setuju kalau perjalanan ini seperti perjalanan dari kota ke desa dengan alasan suasana yang jauh berbeda di lokasi ketika berangkat dan lokasi saat tiba nanti. Kami membelokkan setir ketika melihat penunjuk arah di kiri jalan (kalau dari arah utara Yogyakarta) “Bumi Langit”. Jarak dari papan nama hingga ke lokasi utama yang dituju tidak terlalu jauh hanya kurang lebih 5 meter. Jalanannya bebatuan lengkap dengan rindangnya pepohonan. Bangunan pertama yang menyapa kami berbentuk pendapa[i]. Pendapa ini digunakan sebagai tempat menerima tamu dan berkumpul selayaknya fungsi pendapa pada umumnya.

Sebagai penggiat gerakan berkebun dengan metode permakultur, ada banyak aktivitas yang dilakukan oleh Bumi Langit. Diantaranya rumah makan yang menyediakan produk-produk alami olahannya dan tur kebun yang bisa dinikmati oleh siapa saja. Selain itu ada juga program live–in atau residensi dari penggiat permakultur dari dalam maupun luar negeri. Kami memutuskan untuk mengikuti tur dengan biaya Rp.15,000,-/orang untuk tur kebun selama kurang lebih 2 jam dengan tour guide bernama Mas Salas. Tema dari tur ini adalah untuk mengenalkan pertanian terpadu permakultur yang menjadi cara hidup oleh pelakunya, yaitu Bapak Iskandar sekeluarga beserta komunitasnya. Tur ini juga menjelaskan bagaimana sistem permakultur yang berbentuk radial diciptakan sesuai dengan kebutuhan penghuninya. Misal dalam lingkaran pertama terdapat rumah tinggal dan tanaman obat-obatan. Di lingkar kedua terdapat tumbuhan dan tanaman sayuran untuk konsumsi sehari-hari. Dilingkar ke tiga tempat kandang ungas, kelinci, kambing serta kolam aquaponik dijalankan. Berikunya di lingkar ke empat berupa tumbuhan buah-buahan seperti rambutan, nangka dan sebagainya. Sedang lingkar terluar berupa tumbuhan keras, misal pohon jati, bambu dan lainnya. Jika tur kebun ini dirasa tidak cukup untuk mendapatkan pengetahuan tentang permakultur, Bumi Langit juga menyediakan kursus untuk mempelajari permakultur. Pemilihan paket kursus juga beragam dari satu hari hingga tujuh hari.

Letak geografis dari Bumi Langit yang berdiri di atas 5 hektar tanah tandus bebatuan gunung kapur menjadi terlihat seolah-olah ajaib. Terlihat ajaib ketika daerah di sekitarnya mengeluh sulit untuk mendapatkan irigasi pertanian dan tidak seluruh spesies tanaman yang ditanam akan tumbuh subur, sedangkan Bumi Langit memiliki semuanya. Selain tanaman, juga ada hewan-hewan ternak yang dipelihara. Segala makhluk hidup yang hidup bersama di atas tanah 5 hektar ini memiliki hubungan simbiosis mutualisme. Seperti memelihara beberapa ekor sapi dan kambing yang memproduksi pupuk dari kotoran sapi. Tidak hanya kotoran sapi yang diolah di Bumi Langit, melainkan kotoran manusia dan segala limbah yang dihasilkan oleh manusia juga akan diolah untuk menghasilkan energi gas. Mereka memiliki prinsip, bagaimana sebisa mungkin ekosistem yang tercipta tidak ada yang sia-sia sedikitpun.

Pada rumah makannya, Mas Salas menyebutkan produknya sengaja tidak menggunakan kata organik, tetapi alami dan lokal. Aktivitas para petani kebun yang sedang bercocok tanam mampu menambahkan nilai ke-lokal-annya. Tentunya semua pekerja yang bekerja di Bumi Langit adalah pekerja yang sebelumnya diberi pengenalan tentang apa itu permakultur. Tidak hanya mengandalkan kekayaan kebun saja, untuk memenuhi kebutuhan pangan di dalam lahan seluas kurang lebih 5 hektar ini mereka perlu bantuan dari pihak lain. Mereka memasok beberapa bahan pangan seperti tepung, gandum dari petani lokal lainnya. Mereka mencoba untuk tidak mendekat kepada pasar yang sistemnya sudah paten dan tidak bisa dikendalikan. Bumi Langit memposisikan dirinya sebagai salah satu pihak yang mendukung akan keberlangsungan hidup para petani kecil di sekitar rumah mereka.

Letaknya yang jauh dari mana-mana (selain tetangga atau para warga lokal yang tinggal di daerah tersebut) menjadikan Bumi Langit sebagai tempat yang membutuhkan usaha lebih untuk mencapainya. Dan sebaliknya, Bumi Langit juga perlu usaha lebih untuk mendekat ke manusia yang tinggal di kota. Namun, letak yang jauh dan cara hidup yang mereka pilih menjadi daya tarik dan eksotisme tersendiri bagi sebagian orang, terutama orang kota. Walaupun jika kita googling tentang sejarah permakultur, hal ini sudah ada sejak tahun 1929[ii] dan juga sudah banyak buku yang menulis tentang apa itu dan bagaiman permakultur dijalankan. Selain itu, menurut beberapa sumber, sesungguhnya praktik permakultur ini sudah ada dan eksis dalam rumah tangga dan dapur masyarakat Jawa yang mengintegrasi lahan pekarangan dan ternak. Tentu saja tidak dengan label permakultur atau pertanian organik. Lalu sebenarnya apa yang sedang terjadi? Mengapa kemudian kemunculan pertanian permakultur terasa tiba-tiba sedang banyak dipraktekan dan dipromosikan? Apakah bumi dan manusia benar-benar dalam keadaan darurat? Pertanyaan ini juga menjadi pertanyaan bagi diri saya. Apakah saya selama ini tidak menganggap bahwa kehidupan membutuhkan perubahan cara hidup? Atau apakah memang diri saya yang sedang tidak membutuhkan perubahan? Lalu siapa yang akan memberi titik tumpu tentang indikator butuh dan tidak butuh?

Saya juga tertarik dengan kata “Halalan Thoyyiban” yang menjadi tagline utama dari produk makanan di Bumi Langit. Menurutnya, mengetahui secara jelas dari mana hasil panen sayuran ataupun hewan yang kita makan berasal merupakan inti dari makanan ‘Halalan Thoyyiban’? Ucapan mas Salas yang masih menempel pada ingatan saya tentang istilah itu adalah “bagaimana menjadi halal itu mudah tetapi menjadi thoyyiban itu yang susah, karena kita tidak tahu darimana makanan kita berasal”. Terdengar cukup mengerikan jika kita membayangkannya secara berlebihan. Siapa yang tidak takut ketika susu yang kita konsumsi dari pasar sebenarnya adalah sesuatu yang kita tidak benar-benar tahu apakah itu susu (yang kita yakini sehat) ataukah hanya campuran bahan kimia rasa susu yang terus menerus kita konsumsi. Fenomena mencari tahu darimana makananmu berasal memang sedang menjadi topik beberapa aktivisme pangan saat ini. Tapi slogan tersebut tentu saja tidak mudah untuk diterapkan. Apakah artinya benar-benar mengetahui? Ada banyak kemungkinan bias disini. Bisa saja kita mengetahui dengan cara melihat langsung padi yang dipanen dari tetangga kita sendiri. Bagaimana jika kita mengetahui sayur organik hanya dari labelnya yang menjelaskan dengan detail, padahal tak pernah bertemu bahkan melihat petaninya? Sejatinya saat saya makan menu beras pecah di Bumi Langit pun saya tidak melihat langsung padi tersebut dipanen dan dimasak.

Sebenarnya dalam konteks ucapan Mas Salas, saya merasa definisi konsep sehat dan baik yang ditekankan adalah dari segi keyakinan dan spiritual. Spiritual yang dimaksud adalah dengan beralaskan nilai agama, dalam konteks ini adalah Islam. Dengan berlandaskan tata cara Islam dan menjadikannya sebagai nilai lebih dibanding produk-produk industri yang ada dipasaran, merupakan salah satu strategi Bumi Langit yang saya rasakan. Disini saya tidak sedang berusaha mengklaim salah satu pihak menjadi yang paling benar atau salah. Toh juga kalau memang kita mengonsumsi atas dasar sehat, setiap orang memiliki definisi apa itu sehat, menurut keyakinan diri sendiri.

Kesimpulan pertanyaan yang bisa saya ambil dari obrolan seputar halalan thoyyiban ini menurut saya adalah bagaimana saya bisa menemukan keyakinan atas apa yang saya makan. Bahwa makanan yang saya konsumsi adalah makanan yang memberi manfaat untuk tubuh dan jiwa saya. Karena jika saya dituntut untuk mengetahui dari mana makanan yang saya makan berasal, ditengah banyaknya hal lain yang harus saya pikirkan, cukup menyulitkan. Untuk menemukan makna dari halalan thoyyiban sambil menjalani kenyataan hidup dengan status sosial dan ekonomi saya sekarang ini, serta tuntutan untuk terus bekerja dan menghasilkan uang demi memenuhi kebutuhan sehari-hari, tentu saja cukup menyita waktu. Atau mungkin bisa saja obrolan dengan mas Salas saya jadikan refleksi berfikir tentang bagaimana saya memahami makna ‘yakin’ tentang apa yang selama ini saya yakini benar. Semoga suatu saat saya bisa menemukan kehidupan ideal tentang hidup dan makan secara baik, benar, sehat serta halallan thayyiban.


[i] Bentuk bangunan ini adalah arsitektur jawa kuno, biasanya bangunan ini berada di bagian awal rumah untuk menerima tamu atau berkumpul. Digunakan sebagai tempat berkumpul karena bentuk bangunannya yang tanpa sekat sehingga luas dan tanpa pintu dan jendela sehingga sejuk.

[ii] Pada tahun 1929, Joseph Russell Smith mengambil istilah yang ia sebut sebagai pertanian permanen dalam bukunya Tree Crops: A Permanent Agriculture yang berisi hasil penelitiannya mengenai pohon buah dan kacang sebagai tanaman pertanian untuk bahan pangan manusia dan pakan ternak. Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Permakultur

Artikel Terkait

Related Articles

Image : karya Diego Rivera berjudul "The Exploiters" diambil dari internet.
  • Proyek

Interview Bersama Gunawan Wiradi #bagian 2

  • Edible Weed
  • /Kunjungan
17 Juli 2018
Image karya dari Vicente Alvarez Dizon (seniman Filipina) berjudul : "After the Day's Toil"
  • Proyek

Interview Bersama Gunawan Wiradi #bagian 1

  • Edible Weed
  • /Kunjungan
17 Juli 2018
Catatan Atas Kegiatan Observasi Pangan Liar di Lahan Terlantar
  • Proyek

Catatan Atas Kegiatan Observasi Pangan Liar di Lahan Terlantar

  • Catatan
  • /Edible Weed
  • /Kunjungan
22 Mei 2017
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.