Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Proyek

Diskusi Sejarah Organik Bersama Pak Baning

Diskusi / Kunjungan
  • 25 Mei 2016
  • Elia Nurvista
Gambar ilustrasi oleh Elia Nurvista

Dalam membahas tema “Independent Food” ini, kami sepakat untuk menemui salah seorang petani sekaligus aktivis dari Nawakamal, lembaga swadaya yang aktif dalam pendampingan petani bernama Pak Baning. Awalnya kami bertemu dengan Pak Baning di PSL (Pusat Studi Lingkungan) yang merupakan laboratorium lingkungan milik kampus Sanata Dharma, Yogyakarta, yang juga memiliki agenda pasar produk lokal. Pertemuan kami sore itu diawal dengan melihat-lihat rumah dan kebunnya di daerah Kronggahan, Sleman. Rumahnya jauh dari kesan mewah, tertata maupun bersih. Banyak barang-barang dari buku hingga hasil panennya yang tergeletak begitu saja di seluruh penjuru rumahnya. Kami memilih tempat diseputaran meja makan dan dapur untuk ngobrol dan berdiskusi.

Kami mulai memancing obrolan dengan pertanyaan, bagaimana sejarah produk organik muncul di Indonesia. Menurut pak Baning, di Indonesia sendiri keresahan itu muncul karena program pemerintahan orde baru yang dimulai tahun 1968. Dengan proyek bernama “Revolusi Hijau” pemerintah mulai berambisi untuk meningkatkan produktifitas beras. Hal yang terdengar sederhana dan mulia sebagai cita-cita ini ternyata membawa dampak yang cukup besar dibaliknya. Salah satu yang paling ditekankan oleh Pak Baning adalah permasalahan termajinalisasinya sebagian besar kaum tani yang tidak memiliki lahan atau buruh tani. Pak Baning menggambarkan situasi pertanian dan struktur sosial di desa-desa di Jawa pada masa sebelum orde baru. Pada waktu itu sistem tanam dilakukan dengan penuh ikatan solidaritas antar tetangga. Para pemilik lahan pertanian yang cukup besar akan membuka lahannya untuk ditanami secara kolektif dengan para tetangganya dengan sistem bagi hasil. Disini semua tetangga, yang saling kenal tentunya, boleh berpatisipasi mulai dari membuat benih, menanam, merawat selama masa tanam hingga memanen. Sistem ini mengingatkan kita akan sistem ekonomi alternatif dimana bentuk pengelolaan dan pendistribusian yang dikelola secara kolektif dan swadaya untuk kepentingan bersama. Inilah mengapa dahulu di desa-desa di Jawa banyak terdapat lumbung padi bersama. Sedangkan tentang mekanisme surplus produksi yang masuk ke pasar, tidak sempat dibahas oleh Pak Baning.

Sistem pertanian kolektif ini mulai berubah sejalan dengan adanya revolusi hijau. Menurut pak Baning, revolusi hijau yang dimulai akhir tahun 60-an ini adalah program pertanian yang insentif dan menyeluruh dan bukan hanya melibatkan produsen beras atau petani saja. Mulai dari perangkat desa terendah, institusi pendidikan hingga militer ikut dan wajib dalam menjalankan program ini. Lewat berbagai nama program seperti BIMAS (bimbingan masal), INMAS (intensifikasi masal), INMUM (intensifikasi umum) dan INSUS (intensifikasi khusus) hingga SUPRA INSUS (intensifikasi khusus dengan rekayasa teknologi, sosial dan ekonomi) negara mulai mengatur sistem tanam hingga ke unit terkecil. Selain pemberian kredit untuk usaha pertanian, dan pengetahuan cara bertanam modern secara intensif, negara juga mengatur dan menciptakan atau mempertegas hierarki sosial diantara petani. Melalui para perangkat desa yang terjun langsung, mereka mengatur siapa yang boleh menanam dan siapa yang tidak dari para buruh tani yang tidak memiliki lahan ini, dengan alasan efisiensi tenaga. Banyak petani tersingkir, terutama kaum wanita karena dipandang kurang produktif dari segi tenaga. Dengan sistem kehidupan Jawa yang penuh dengan kekerabatan, tentu saja hal ini mengubah semangat dan cara hidup mereka.

Selain itu, saat itu pula mulai diperkenalkan sistem pertanian yang berbasis kuantitas produksi dengan menggunakan pupuk dan pestisida demi mengejar hasil produksi yang banyak. Lahan-lahan diakselerasi untuk dapat panen setahun 3 kali yang sebelumnya hanya 2 kali. Secara ilmu biologi tanah, banyak penelitian menunjukan bahwa hal ini merusak unsur hara dalam tanah, sehingga tanah menjadi tidak subur, yang efeknya tentu saja dirasakan belasan tahun kemudian. Selain berdampak ekonomi secara langsung terutama pada kaum buruh tani (petani yang tidak punya lahan) juga pada petani yang memiliki lahan kecil. Mereka dengan terpaksa menjual lahannya kepada petani besar, karena semua bentuk pertanian ini kemudian berorientasi pada produksi dan pasar. Pertanian kecil tidak lagi memberi keuntungan. Para mantan petani ini kemudian pindah ke kota untuk mencari kehidupan dengan bekerja sebagai buruh industri.

Selain permasalahan sosial ekonomi diatas, hal ini juga berdampak pada permasalahan kultural lainnya, misal tentang pengetahuan bertanam. Ilmu bertani seperti memuliakan bibit, mengawinkan jenis varietas, mengolah tanah dan hama secara alami, sistem waktu tanam dan sebagainya milik petani yang diperoleh dari kehidupan membaca alam dan diturunkan ke generasi berikutnya menjadi hilang digantikan dengan ilmu pertanian modern. Mungkin sebenarnya tidak ada yang salah dengan ilmu pertanian modern, jika saja tidak hanya selalu berorientasi mengejar produksi melimpah yang memforsir kerja tanah, tetapi juga dibarengi dengan kearifan dan kehidupan selaras dengan alam. Banyak hal yang hilang dari sistem pertanian ini, salah satu yang juga ditekankan adalah kemandirian petani. Petani menjadi sangat tergantung dengan negara dan menjauhkan kedaulatan dalam usaha taninya. Tentu saja hal-hal berikut hanya sebagian masalah yang paling tampak dari program revolusi hijau. Masih banyak perihal lainnya yang terjadi dan sangat kompleks untuk dibicarakan dalam satu tulisan ini.

Atas dasar permasalahan diatas, beberapa aktivis LSM, intelektual, budayawan, petani dan orang-orang yang perduli dalam bidang ini kemudian mulai mengambil langkah kongkrit atas kondisi ini. Salah satu langkah yang diambil adalah dengan lahirnya Deklarasi Ganjuran pada tahun 1990. Sistem pertanian organik dipilih sebagai salah satu strategi dalam pemulihan lingkungan dan pengembalian kemandirian petani. Sebenarnya, pada saat yang bersamaan di belahan dunia lain juga telah lahir gerakan-gerakan serupa seperti : La Via Campesina yang lahir di Mons Belgia di tahun 1993, LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) di Afrika pada tahun 1980-an yang di Indonesia dikembangkan sebagai Pertanian Terpadu, Organic Farming atau Ecological Farming yang tersebar di mana-mana di tahun 1980-an, SRI atau System Rice Intensification yang dilahirkan di Madagaskar di tahun 1960-an namun baru berkembang luas ke seluruh dunia di tahun 1990-an, dll. Gerakan-gerakan ini merupakan respons kreatif dan rasional dari masyarakat dan lembaga-lembaga pemerhati bidang pertanian terhadap kelemahan-kelemahan yang ditemukan pada teknologi Revolusi Hijau yang diperkenalkan lewat bibit gandum unggul di tahun 1950 di Mexico dan lewat bibit padi unggul di tahun 1960 di Filipinna oleh Ford & Rockefeller Foundation.[1]

Pada intinya, kegelisahan akan pertanian dan dampak revolusi hijau ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia. Lewat berbagai gerakan dan inisiatif yang ada di kota-kota lain di dunia, muncul berbagai startegi, salah satunya pertanian organik. Yang dimaksud dengan pertanian organik disini adalah sistem pertanian berselaras dengan alam. Misalnya tidak adanya penggunaan pestisida, dan menggunakan cara alami dalam membasmi hama, misalnya menggunakan predator alami dalam rantai makanan, juga penggunaan pupuk dari kotoran hewan. Selain itu membuat benih sendiri dari padi yang dihasilkan pada panen sebelumnya, serta mengembalikan kekayaan pengetahuan akan varietas lewat jaringan kelompok tani. Disamping itu, pertanian organik juga harus didasarkan pada siklus dan sistem ekologi kehidupan dan memperhatikan keadilan baik antarmanusia maupun dengan makhluk hidup lain di lingkungan.

Selang dua setengah dekade berselang, produk organik kini muncul dan mulai marak di supermarket-supermarket kota besar. Harga dari produk organik ini dijual lebih mahal dengan alasan produk yang sehat. Dari produsennya sendiri, untuk mendapat label organik, harus melalui sertifikasi oleh badan yang menentukan. Komite Akreditasi Nasional (KAN) menyerahkan sertifikat akreditasi produk organik ini kepada 7 (tujuh) Lembaga Sertifikasi Pangan Organik (LSPO)[2]. Ketujuh LSPO itu terdiri dari LSPO Sucofindo, LSPO Mutu Agung Lestari yang berlokasi di Jakarta; LSPO INOFICE, LSPO BIOCert Indonesia yang berlokasi di Bogor; LSPO Sumatera Barat; LSPO LeSOS yang berlokasi di Mojokerto; LSPO Persada yang berlokasi di Yogyakarta. Konon katanya untuk mendapatkan sertifikasi organik pada produk-produk pangan ini juga tidak murah, sehingga label organik kemudian dijadikan komoditas baru yang dipasarkan untuk kaum kelas menengah. Tentunya dengan menjual isu kesehatan. Semakin terlihat bahwa isu kesehatan hanyalah milik kaum kelas menengah yang punya pilihan dalam mengonsumsi, yang paranoia atas penyakit kanker hingga down syndrome yang konon disebabkan dari produk makanan berpestisida. Lalu isu ini dimutakhirkan kembali dengan permasalahan kesejahteraan petani, fair trade, sustainable farming dan semacamnya, seiring pengetahuan tentang etika konsumen berkembang di Indonesia.

Pemerintah kemudian juga menyokong hal ini dalam bentuk pengadaan festival makanan organik, atau kegiatan seperti eco-tourism yang dilakukan kantor-kantor pemerintahan ke daerah-daerah pertanian organik. Tentu saja hal ini secara tidak langsung menargetkan kaum kelas menengah kota sebagai konsumen utama. Ditekankan oleh Pak Baning, hal ini menjadikan konsumsi organik sebagai ritus dan bukan habitus. Artinya, mengonsumsi organik ini seperti kegiatan pelesir yang mungkin hanya dilakukan selama seminggu setelah kunjungan ke pertanian, dimana biasanya orang akan melihat pangan organik dan petaninya dengan cara yang eksotis.

Menurut saya, praktek pertanian organik ini memiliki paradoksnya sendiri, dilihat dari awal kelahirannya hingga kini. Pertanian organik yang awalanya sebagai strategi menghadapi pertanian yang produksinya berorientasi pada banyaknya hasil dan menjadikannya sebagai komoditas semata, tetapi saat ini menjadi komoditas lain yang dibungkus dengan nilai-nilai baru. Jika dulu gerakan petani organik untuk menjawab perlakuan tidak adil pada petani miskin dan sistem kapitaslis yang dibangun negara, disisi lain ia juga menjadi bentuk model kapitalisme baru yang dipasarkan untuk kelas tertentu.


[1] Diambil dari https://www.usd.ac.id/lipsus.php?noid=385, diakses pada 28 April 2016

[2] Dari http://www.kan.or.id/?page_id=1748&lang=id, diakses pada 28 April 2016.

Artikel Terkait

Related Articles

Image : karya Diego Rivera berjudul "The Exploiters" diambil dari internet.
  • Proyek

Interview Bersama Gunawan Wiradi #bagian 2

  • Edible Weed
  • /Kunjungan
17 Juli 2018
Image karya dari Vicente Alvarez Dizon (seniman Filipina) berjudul : "After the Day's Toil"
  • Proyek

Interview Bersama Gunawan Wiradi #bagian 1

  • Edible Weed
  • /Kunjungan
17 Juli 2018
Catatan Makan Siang Sisa #3
  • Proyek

Catatan Makan Siang Sisa #3

  • Catatan
  • /Diskusi
  • /Living Leftover
7 Agustus 2017
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.