Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Kabar

Percakapan santai dengan Slow Food Jogja

Edible Weed / Kunjungan
  • 24 Mei 2016

Setelah selesai dengan penelitian untuk isu pertama mengenai fast food yang dilakukan oleh kelompok belajar kami Bakudapan, kami sepakat untuk bergerak ke isu kedua; mencari tahu segala hal yang berkaitan dengan perilaku konsumsi dan produksi organik baik oleh individu maupun kelompok di Yogyakarta. Ketertarikan ini berasal dari rasa ingin tahu mengapa sekarang banyak kelas menengah yang tinggal di kota menjalani gaya hidup sehat dan mengonsumsi atau memproduksi produk-produk organik, apa yang menggerakkan mereka, apa sebenarnya yang ingin mereka tunjukkan, isu apa yang sesungguhnya mereka usung, apa yang menjadi tujuan mereka ke depannya, dan sebagainya.

Dalam rangka mencari tahu mengenai hal-hal tersebut, kami pun mencoba membuat daftar individu atau kelompok terkait di Jogja yang perlu kita datangi dan mengobrol seputar profil mereka, kegiatan mereka, visi misi, motivasi, imajinasi, dan lain-lain. Salah satu yang masuk dalam daftar kami adalah Slow Food Jogja.

Slow Food dan beberapa komunitas lainnya yang kami masukkan ke daftar memang bukanlah produsen atau aktivis gerakan organik, tapi kami menaruh semacam asumsi atau kecurigaan awal bahwa mereka yang tergabung dalam kelompok ini merupakan kelas menengah yang mengonsumsi makanan sehat, lokal, dan organik. Setidaknya tiga kata kunci inilah – sehat, lokal, organik- yang menjadi patokan kami kemudian dalam membuat daftar calon narasumber. Kami menemukan bahwa isu organik juga menggandeng beberapa isu lain seperti kelokalan dan kesehatan.

Singkat cerita, ini lah pertemuan kami dengan salah satu anggota Slow Food Jogja. Demi alasan kenyamanan dan menjaga identitas narasumber kami, sebut saja namanya Mbak Sari (nama samaran). Kami mengobrol soal Slow Food Jogja dan terutama kegelisahan-kegelisahan dia terhadap segala hal yang berkaitan dengan pangan lokal dan anak muda. Beberapa hal yang menarik dari ceritanya malam itu adalah sebagai berikut:

Slow Food dan Slow Food Jogja

Secara garis besar, Slow Food adalah sebuah organisasi global yang awalnya kahir di Italia, pada dasarnya hadir sebagai bentuk perlawanan terhadap industri fast food. Dalam gerakannya ini, Slow Food mengampanyekan pentingnya melestarikan makanan tradisional, lokal, dan mendorong orang-orang untuk bercocok tanam serta mengolah makanannya sendiri.

Akan tetapi, dari cerita narasumber kami, Slow Food Jogja hanya seperti ‘komunitas kuliner’ yang anggoatanya kelas menengah yang kegiatannya lebih mengarah pada wisata kuliner. Sementara untuk kegiatan yang bersifat sosial dan dilakukan secara bersama, menurutnya belum ada. Oleh karena itu, orang-orang di Slow Food Jogja jika ingin melakukan suatu proyek sosial, mereka bergerak secara individu dengan dukungan eksternal. Sepertinya, narasumber kami tidak terlalu peduli dengan Slow Food Jogja itu sendiri secara kegiatan komunitas, tapi lebih memanfaatkan koneksi di dalamnya yang menurutnya diisi oleh orang-orang dengan sumber daya sosial dan ekonomi yang mapan yang bisa membantunya mewujudkan cita-cita personalnya.

Neo Marco Polo

Mbak Sari bergabung di Slow Food Jogja karena dia punya kepentingan politis sendiri. Beliau memilih Slow Food Jogja sebagai media saluran motivasi-motivasi personalnya ini karena menurutnya orang-orang Slow Food Jogja lah yang secara karakter banyak memiliki kesamaan dengan karakternya dan mungkin juga kesamaan latar belakang sosial ekonominya. Kedua, dia ingin sekali bekerja sama dengan mendorong koleganya yang memiliki sumber daya untuk memiliki posisi startegis dalam organisasi slow food, karena melihat peluang besar untuk mewujudkan cita-citanya tentang pelestarian pangan lokal dan pendidikan pangan lokal terhadap generasi muda.

Salah satu program yang sedang mereka rancang adalah tentang cara memasarkan produk lokal dan sehat dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi. Program tersebut ingin membuat suatu aplikasi on-line di ponsel pintar bagi orang-orang Indonesia yang ingin membeli pangan sehat dan lokal. Jadi dengan aplikasi tersebut dia ingin bagaimana pangan sehat dan lokal ini bisa terjangkau untuk masyarakat luas dengan cara memutus rantai distribusi dan transportasi yang panjang antara produsen (petani) dan konsumen menjadi lebih pendek. Program ini akan menitik beratkan pada moda distribusi, dimana produk-produk akan dikumpulkan pada suatu titik tertentu yang terdekat dengan pembeli dan didistribusikan melalui jalur-jalur yang paling efektif. Mirip seperti layanan GoFood dalam aplikasi GoJek atau bahkan mungkin Happy Fresh, korporasi global yang berpusat di Jakarta dan sudah ada di beberapa negara misalnya, Thailand, Malaysia, dan Taiwan yang menyediakan aplikasi layanan pesan antar bahan-bahan pangan segar.

Dalam program ini tentunya akan mengajak produsen-produsen organik lokal untuk terlibat sebagai pemasok dan keuntungan diambil lewat akumulasi margin harga dari produsen ke konsumen. Mbak Sari menyebut ide ini sebagai “neo-Marco Polo”. Maksudnya bagaimana proses penyeleksian dan pelibatan para produsen ini seperti halnya saat Marco Polo datang dan menginvasi benua-benua lain untuk memilih dan memperjual belikan sumber dayanya. Walaupun terdengar sebagai bentuk win win solution antara pemasok dan pemborong, tetap saja ada relasi kuasa dan bentuk eksploitasi dalam bentuk yang paling halus.

Motivasi dan Cita-cita Personal Untuk Pangan Lokal

Salah satu kegelisahan Mbak Sari dalam isu pangan lokal saat ia melihat bagaimana garam Kusamba dari Bali dieksploitasi oleh pengusaha Jepang dan diperjualbelikan sejara internasional dengan harga yang cukup mahal. Tetapi secara kesejahteraan tidak cukup mengangangkat taraf hidup para petani garam tersebut. Menurutnya, warisan budaya pangan Indonesia secara tidak langsung dijadikan komoditas oleh pihak asing dengan menjual nilai budaya dan eksotisme.

Selain itu pengalamannya saat mengikuti Ubud Food Festival dan melihat bagaimana seorang asing dari Australia memberi workshop pembuatan jamu kepada tamu-tamu asing dengan biaya lokakarya yang cukup mahal. Mbak Sari gerah melihat ini dan menganggapnya sebagai kolonialisme gaya baru. Katanya,”Halah, enakan jamunya si mbok-mbok gandeng”. Keinginan dan cita-citanya adalah orang-orang lokal lah yang harusnya memegang kendali dan membuat acara semacam itu.

Melihat hal itu, beliau membangun beberapa proyek yang bertujuan ingin melestarikan pangan lokal seperti lokakarya pembuatan tempe tapi yang digerakkan oleh anak-anak muda terutama perempuan. Pemilihan anak muda dan perempuan memiliki alasan tersendiri sebab menurutnya nanti ibu-ibu muda inilah yang akan mengatur atau menentukan apa yang akan dikonsumsi seluruh keluarga. Selain itu, anak muda merupakan garda terdepan penyerap tren sehingga menjadi sangat potensial jika justru anak-anak muda inilah yang dididik supaya menciptakan tren yang bisa diikuti oleh teman-teman sebayanya dan seluruh lapisan masyarakat.

Dari sinilah berkali-kali beliau menekankan pentingnya pendidikan mengenai biodiversitas pangan lokal dan pentingnya mengolah pangan lokal menjadi produk ekonomis yang kalau dijual ke warga Indonesia sendiri murah, tapi kalau ke warga negara asing harus mahal. “Oh, iya nggak apa-apa dong. Kalau jual ke orang kita murah, tapi kalau jual ke orang asing harus mahal”.

Pertanyaan Selanjutnya

Berdasarkan apa yang diceritakan Mbak Sari, kami merasa bahwa ide-idenya tersebut sesungguhnya sangatlah mulia dan cemerlang sebab ingin mengedukasi generasi muda terutama perempuan mengenai kakayaan ragam pangan lokal Indonesia, ingin membuat pangan lokal kita dikenal oleh dunia lewat tangan-tangan orang kita sendiri terutama generasi muda, dan ingin merebut kembali kendali pangan lokal dari kontrol atau monopoli asing. Selain itu, ide-ide Mbak Sari ini tentu saja berpotensi memajukan ekonomi masyarakat lokal.

Akan tetapi menurut kami, bentuk ini juga rentan terjebak kembali dalam bentuk-bentuk komodifikasi dan eksploitasi gaya baru. Meskipun bukan lagi masyarakat asing, namun bukankah justru akan lebih ironis jika orang-orang kita sendirilah yang saling memonopoli dan mengekspliotasi satu sama lain atas nama bisnis? Ungkapan seperti, “Pokoknya yang penting kita jadi bos di tanah kita sendiri!” yang diungkapkan mbak Sari bisa memunculkan pertanyaan yang lebih besar, sebab ada relasi hierarkis yang rawan dan tersurat juga tersirat di dalamnya. Jika ada bos, tentu ada anak buah, lalu bagaimanakah relasi bos dan anak buah dalam skema kerja industri atau korporasi pada umumnya? Siapakah yang (sebenaranya) selalu diuntungkan?

Apakah tidak ada jalan lain untuk melestarikan kekayaan pangan atau kuliner lokal selain jalur dagang? Apa tidak ada cara lain untuk keluar dari masalah eksploitasi pangan lokal ini selain lewat bentuk komodifikasi? Apa benar sudah tidak ada jalur lain untuk merebut kembali kendali terhadap pangan lokal kita dari intervensi asing selain mengikuti cara kapitalisme bekerja dalam dunia pangan dengan menambahakan nilai-nilai kearifan lokal sebagai bahan jualan?

(Fikri)

Artikel Terkait

Related Articles

Catatan Tiga Workshop Bakudapan Sebagai Imajinasi Siasat Hidup Masyarakarta Urban; Unpacking Embodied Knowledge, Living Leftover  dan Please Eat Wildly
  • Proyek

Catatan Tiga Workshop Bakudapan Sebagai Imajinasi Siasat Hidup Masyarakarta Urban; Unpacking Embodied Knowledge, Living Leftover dan Please Eat Wildly

  • Catatan
  • /Edible Weed
  • /Living Leftover
  • /Lokakarya
  • /Unpacking Embodied Knowledge
9 April 2019
Image : karya Diego Rivera berjudul "The Exploiters" diambil dari internet.
  • Proyek

Interview Bersama Gunawan Wiradi #bagian 2

  • Edible Weed
  • /Kunjungan
17 Juli 2018
Image karya dari Vicente Alvarez Dizon (seniman Filipina) berjudul : "After the Day's Toil"
  • Proyek

Interview Bersama Gunawan Wiradi #bagian 1

  • Edible Weed
  • /Kunjungan
17 Juli 2018
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.