Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Proyek

7 Days of Fast Food

Diskusi / Fast & Foodrious
  • 22 Agustus 2015
  • Bagus Anggoro
Ilustrasi gambar: "The Fastfood Supper" oleh Jacob Thompson

Mendengar kata fast food, barangkali kita akan memiliki pemikiran masing-masing yang muncul secara personal. Salah satunya kami yakin bahwa yang muncul adalah asosiasi antara fast food dengan junk food. Kenapa junk food? Apa itu junk food? Berbahayakah junk food? Mengenai hal itu, barangkali kita sudah sering mengetahui, mendengar, melihat, membaca bahkan memahami dari berbagai sumber yang ada baik itu berupa literasi, visual hingga dalam layar kaca digital melalui teknologi internet.

Junk food selalu diasosiasikan sebagai sebuah bentuk yang dapat mengganggu kesehatan, menyebabkan malnutrisi, dan diakrabkan atau menjadi sinonim dari segala macam fast food yang ada di Indonesia. Nah, berkaitan dengan asumsi ini dan sesuai dengan tema “Fast and Foodrious” yang sedang dilakukan kelompok studi makanan Bakudapan, kami berdua sengaja melakukan keisengan dengan mencoba melanggar etika dari asumsi-asumsi sebuah junk food (baca: fast food) melalui program “7 Days of Fast Food”.

“7 Days of Fast Food” adalah sebuah program yang dilakukan dimana selama 7 hari, saya bersama seorang kawan saya Andri Febri Prasetyo dalam keseharian hanya memakan berbagai varian dari fast food yang ada di Yogyakarta. Apapun mulai dari ayam goreng, donat, pizza, hamburger, kebab dan juga dari label apapun mulai dari taraf internasional hingga lokal.

“Apakah iya, nantinya kesehatan kami berdua terganggu apabila fast food itu merupakan junk food?” Pertanyaan inilah yang kami tantang sekaligus coba kami jawab di akhir dari rangkaian selama 7 hari yang kami berdua lalui. Kami disini menampilkan catatan lapangan dari proses selama 7 hari yang kami lalui, dan akhirnya pada tanggal 16 Juni 2015 kami memutar film pendek dari rekaman kami selama di lapangan kemudian mendiskusikannya. Durasi video yang amat pendek serta keterbatasan alat-alat perekam membuat kami sedikit kesulitan dan harus sedikit memutar otak dalam menyajikan serakan data visual dalam wujud rekaman video.

“Apa sih sebetulnya fast food itu?” Sebuah pertanyaan cerdas nan tangkas terlontar dari salah seorang peserta diskusi di permulaan. Obrolan pun dimulai dalam rangka menanggapi pertanyaan tadi dari berbagai sudut pandang yang ada dalam tiap-tiap individu yang hadir sore itu. Adapun peserta diskusi sore itu juga berasal dari latar belakang yang berbeda-beda bahkan dari negara yang berbeda juga. Jawaban ataupun tanggapan yang muncul pun juga beragam. Pada dasarnya, konsep tentang fast food disini telah menjadi sangat personal dan juga bergantung pada tradisi dimana fast food itu berada. Seperti contoh yang muncul dalam diskusi; McDonalds di Indonesia menyajikan berbagai varian menu makanan dengan hamburger dan paket nasi ayam sebagai senjata utamanya, namun tidak dengan McDonalds yang ada di Jepang, yang sama sekali tidak menyediakan menu nasi dan ayam, namun hanya hamburger dengan berbagai variannya. Contoh ini membuat satu asumsi (yang akhirnya disepakati) muncul bahwa pengemasan dan pemaknaan dari sebuah fast food akan sangat bergantung pada tempatnya berada dan juga budaya serta kehidupan yang ada di sekitarnya.

Junk food. Bagaimana dengan pelabelan yang satu ini? Obrolan pun mengarah ke permasalahan kesehatan dan kelayakan sebuah fast food. Berbagai pemikiran dari masing-masing peserta diskusi pun bermunculan, dan hampir sebagian besar cenderung tidak memiliki masalah dalam mengkonsumsi fast food; terlepas dari kapan dan bagaimana situasinya. Kali ini ada satu pernyataan menarik dalam menengahi hal ini. “Kita sebagai orang (yang hidup) di Indonesia, menjadi tidak bermasalah dengan fast food karena kita pada dasarnya sehari-hari memang dekat dengan jenis makanan yang digoreng.” Ada benarnya pernyataan ini, mengingat bagaimana sebagian besar menu harian makanan Indonesia memang banyak yang disajikan dengan cara digoreng. Tempe, tahu, ikan, ayam, hingga sayuran yang digoreng pun pasti akan sering kita temukan dalam keseharian kita. Hal inilah yang membuat kita menjadi “sedikit susah” dalam menjauhi fast food walaupun dihadapkan pada pelabelannya dengan istilah junk food.

Hal lain yang menarik menjadi pembahasan dalam diskusi ini adalah satu fenomena menarik yang kami temui selama 7 hari di lapangan. Restoran fast food di Yogyakarta pada akhirnya bertransformasi menjadi tempat nongkrong selain menjadi restoran sebagai fungsi utamanya. Berbagai fasilitas dan gimmick yang disediakan ternyata mampu mengembangkan fungsi restoran fast food menjadi satu ruang publik baru. Jam buka non-stop (24 jam), paket dengan menu spesial, tempat yang nyaman, hingga fasilitas free wi-Fi pun juga disediakan di restoran fast food. Tak seperti restoran ayam atau donat yang biasa kita tonton dalam film Hollywood, dimana hanya menjadi satu perhentian sementara dengan adegan polisi yang menggoda pelayannya ataupun adegan perencanaan pembunuhan. Pemaknaan baru akan ruang sebuah restoran fast food ternyata juga telah muncul di dalam masyarakat saat ini. Tak lagi hanya menjadi sekedar tempat makan, namun juga telah lazim digunakan sebagai tempat nongkrong.

Sedikit cerita tentang keadaan di lapangan selama 7 hari yang saya lewati; di awal memang antusiasme yang muncul ketika memulai ide “aneh nan gila” ini cukup meluap-luap. Penelitian tapi dengan makan. Siapa yang tidak suka, mengingat makanan itu kebutuhan utama manusia. Seiring hari per hari yang dilalui, dan semakin mendekati hari ke-7, bukan jijik, tidak sehat, atau jorok yang saya rasakan. Saya justru dilanda rasa bosan yang luar biasa terhadap menu makanan yang itu-itu saja. Keseharian saya yang terbiasa “seenaknya” dalam menentukan makanan semenjak dari berangkat menjalani hari hingga pulang, dalam “7 Days of Fast Food” terpaksa didekontruksi dengan harus senantiasa taat dengan kata “harus makan fast food hari ini”. Coba bayangkan apabila dalam seminggu dimana polanya adalah warteg – angkringan – masak sendiri – angkringan – sesekali makan enak – angkringan lagi – warteg lagi – kembali warteg (amat sangat acak dan rasa bisa berbeda tergantung lokasi), dipaksakan oleh saya sendiri untuk menjadi KFC – Olive – McDonalds – Mister Burger – Popeye – Kebab Turki – Jco – KFC – Olive – Donat kentang – Brutus Chicken – Ayam Juara – Mister Burger – Mister Burger – Olive lagi – KFC lagi – dst. Seberapapun mencoba untuk acak dan berpindah-pindah tempat, ternyata kejenuhan itu tetap muncul. Asumsi yang kemudian muncul dalam benak saya adalah “apakah citra junk food ini menjadi muncul karena rasa bosan akibat mengkonsumsi rasa yang sama secara terus menerus, sehingga fast food tidak cocok untuk menjadi menu sehari-hari?” Benar atau salahnya saya juga belum tahu pasti, dan anda yang membaca juga boleh setuju boleh tidak. Masih perlu langkah lebih jauh untuk membuktikannya.

Masalah kesehatan juga tidak pernah muncul selama 7 hari yang saya lalui kemarin. Hari-hari awal sempat khawatir karena siklus buang air besar yang biasanya lancar sehari sekali, tiba-tiba sempat macet selama sehari. Terjadi di hari kedua dalam 7 hari yang ada, namun di hari ketiga sudah kembali lancar. Saya hanya berpikir satu hal, yaitu bahwa memang ini karena tidak terbiasa dan terjadi tiba-tiba. Tetap membutuhkan satu masa adaptasi. Hal lain juga yang menurut saya ajaib dan mematahkan asumsi junk food adalah bahwa dalam masa 7 hari dengan menu dan porsi fast food yang amburadul itu, berat badan saya hanya bertambah satu kilogram saja; dari 68 kilogram menjadi 69 kilogram. Hal ini coba saya korelasikan dengan aktivitas saya sehari-hari yang memang sangat aktif bergerak (mobile). Saya memang tidak rajin berolahraga, namun saya dalam sehari bisa bergerak dalam rerata 1 kilometer apabila ditarik dalam sebuah garis lurus. Hal ini membuat saya berani membuat pernyataan bahwa “makan fast food tidak apa-apa asalkan diimbangi dengan gerak tubuh yang cukup aktif.”

Di akhir diskusi, kami mencoba merangkum berbagai pemikiran yang ada. Sementara bisa diasumsikan bahwa pemaknaan sebuah fast food memang akan sangat bergantung pada tempat dimana fast food itu berada, dengan budaya yang mengelilinginya. Pelokalan rasa juga akan sangat lazim terjadi dalam rangka media promosi serta menjaring konsumen lebih banyak. Lokasi dan kondisi restoran fast food juga akan menentukan bagaimana keberlangsungan hidup restoran tersebut serta tingkat kepopulerannya. KFC di Amerika bisa saja berbeda dengan Jepang atau Indonesia; baik menu ataupun modifikasi tempat dan penyajiannya. Berlaku juga untuk McDonalds, Dunkin Donuts, ataupun brand yang lainnya. Masyarakat juga masih merasa dekat dengan fast food akibat memiliki bentuk makanan keseharian yang sama yaitu digoreng. Momen-momen spesial juga menjadi pendukung minat masyarakat untuk senantiasa mendatangi fast food. Tak luput juga pencitraan kelas sosial serta perasaan menjadi “bukan orang lokal” juga turut mendukung minat masyarakat dalam mengkonsumsi fast food. Tulisan dan penelitian (atau mungkin pengamatan) singkat ini memang masih sangat jauh dari kata benar. Kata sementara juga saya sebutkan di awal paragraf ini dalam rangka membangun pertanyaan-pertanyaan komprehensif yang memang memungkinkan untuk pengembangan tulisan ini. Apa yang saya tulis bisa saja memunculkan pertanyaan lebih lanjut akibat kecenderungan subyektivitas saya, ataupun bagian-bagian lain yang belum tersingkap dengan jelas. Atau barangkali saja ini berlebihan? Hal ini selanjutnya yang mungkin bisa kita saksikan dalam perkembangannya, dan selalu memberikan peluang-peluang untuk suatu praktik produksi-reproduksi pengetahuan bersama baru tentang fast food dan seluk beluk yang melingkupinya.

Bagaimana menurut anda dengan hasil yang ada? Menarik atau tidak? Setuju atau tidak? Silahkan, dan jujurlah dengan kata hati dan pemikiran anda. Sangat terbuka untuk senantiasa dikomentari. Yah selebihnya, selamat menikmati saja. Because it’s fast, it’s food and it’s serious!!! Cheers 😉

Artikel Terkait

Related Articles

Catatan Makan Siang Sisa #3
  • Proyek

Catatan Makan Siang Sisa #3

  • Catatan
  • /Diskusi
  • /Living Leftover
7 Agustus 2017
Catatan Makan Siang Sisa #2
  • Proyek

Catatan Makan Siang Sisa #2

  • Catatan
  • /Diskusi
  • /Living Leftover
3 Agustus 2017
Catatan Makan Siang Sisa #1
  • Proyek

Catatan Makan Siang Sisa #1

  • Catatan
  • /Diskusi
  • /Living Leftover
3 Juli 2017
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.