Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Proyek

Mencari Keorisinalitasan Ayam Goreng Tepung

Fast & Foodrious / Lokakarya
  • 15 Agustus 2015
  • Elia Nurvista

Dalam workshop kedua dari serangkaian kegiatan Bakudapan dalam project Fast and Food-rious di LIMINAL, kami mengadakan workshop tentang mencari keorisinalitas-an ayam goreng tepung, bersama narasumber Gintani Swastika.

Kegiatan ini diadakan berawal dari ketertarikan saya mengenai perilaku orang-orang yang senang mengkonsumsi ayam goreng tepung dan sebagian besar dari mereka berkomentar bahwa ayam goreng tepung yang paling enak dan orisinal adalah ayam goreng produk dari waralaba KFC ( Kentucky Fried Chicken). Tentu saja istilah enak bersifat sangat relatif dan mungkin saja bukan hanya sekadar menggambarkan cita rasa yang hanya mampu diartikulasi oleh lidah. “Enak” bisa jadi berkaitan erat dengan masalah personal, seperti memori, budaya maupun ekonomi. Begitu juga dengan istilah orisinal, yang menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) berarti; asli atau tulen.

Apakah berarti ayam goreng yang lain kurang asli dan tulen jika dibandingan dengan ayam goreng KFC?

Saya penasaran bagaimana kita hampir secara kolektif bisa membentuk preferensi akan “enak dan orisinal” terhadap sebuah produk makanan dari merk tertentu. Walaupun rasa bersifat sangat personal dan subyektif, tetapi rasa juga bisa sangat universal. Lalu kira-kira bagaimana cara lidah bekerja dalam mentransformasi rasa dan mengirim sinyal ke otak untuk menyatakan ini enak atau ora enak ?

Saya juga penasaran apakah komentar enak dan orisinil ini benar-benar muncul, murni karena rasanya, atau hal lain seperti ada kaitannya dengan merk tertentu yang telah mampu mensugesti otak kita.

Berangkat dari rasa penasaran ini, kami kemudian mengadakan workshop mencari keaslian ayam goreng. Narasumbernya sendiri adalah Gintani Swastika, yang merupakan teman dekat saya, sebab saya tau dia sangat senang makan ayam goreng. Tentu saja selain senang, Gintani juga memiliki kemampuan menganalisa rasa ayam goreng, dari mulai bumbunya, cara menggorengnya, tingkat kerenyahannya dan penampilannya. Selain itu, karena jam terbangnya mencoba berbagai ayam goreng sudah tinggi, Gintani mampu mengenali sepotong ayam goreng dari merk-merk perusahaan yang beroperasi di Yogyakarta ini, hanya dengan sekali gigitan. Tentu ini skill yang sangat berguna dan patut diapresiasi.

Dalam workshop ini, kami juga mengundang beberapa partisipan serta menyediakan ayam goreng tepung dari 7 merk berbeda. Mulai dari McDonald’s, KFC, Olive Chicken, Popeye Chicken, Jogja Chicken, Rocket Chicken dan ayam goreng tepung kaki lima tanpa merk. Workshop dimulai dengan Gintani membagi-bagikan secuil ayam kepada peserta dan memandu mereka untuk menganalisa rasanya, rasa yang mampu dicecap oleh lidah, sembari membayangkan bumbu apa saja yang dipakai, minyak yang digunakan untuk menggoreng, dll.

Hampir semua peserta sepakat akan beberapa hal dalam rasa, misalnya jika ada ayam goreng yang terlalu asin, digoreng terlalu kering, kurang bumbu, dsb. Singkat kata ada beberapa merk yang menjadi top 3 favorit peserta tanpa mereka tahu berasal dari merk apa, yaitu KFC, Olive Chicken dan McDonald’s.

Saat seorang partisipan dari Australia dengan lantang bilang ayam yang baru ia coba adalah ayam terenak yang pernah ia makan dan menegaskan bahwa itu ayam favoritnya, kemudian kami membuka rahasia merk dibalik ayam itu. Ternyata ayam itu berasal dari merk McDonald’s dan seketika ia merasa malu dan ingin menarik ucapannya. Mungkin karena ia memahami betul bagaimana waralaba McDonald’s bekerja, baik dalam segi kualitas makanannya maupun dalam etika perusahaan ini dibangun. Hal ini menunjukan bahwa preferensi rasa dan selera sesorang sungguh rumit, bukan hanya ditentukan oleh lidah semata, tapi juga hal-hal lain dibaliknya, sehingga ia bisa dengan percaya diri dan lantang bilang makanan ini enak. Walaupun ada istilah “lidah tidak bisa bohong” paling tidak, kita bisa sedikit membohongi diri sendiri dengan mendidik lidah kita untuk melatih dan menyukai makanan dengan latar belakang dan alasan tertentu.

Selama workshop berlangsung, kami membicarakan berbagai hal yang menjadi alasan para peserta memilih ayam mana yang paling enak dan orisinal. Untuk kategori enak, selain karena rasa, yang pada umumnya lebih gurih, di mana menurut Gintani kemungkinan besar tepungnya dicampur dengan lemak hewani yang menjadikannya lebih mahal, juga ada faktor-faktor lain yang menentukan. Seperti misalnya, faktor kebiasaan, di mana lidah sudah merasa nyaman dengan rasa yang tidak asing lagi. Contohnya saat 2 orang peserta yang juga siswi SMU berpendapat, ayam KFC memang enak, tetapi ia lebih suka ayam Olive karena sejak pertama kenal dengan jenis makanan ayam goreng tepung, ayam Olive-lah yang selalu menjadi langganannya. Hal ini mengingatkannya dengan ritual sepulang sekolah yang dilakukan bersama teman-teman se-geng-nya sejak SMP untuk makan ayam Olive bersama. Ada juga peserta yang beranggapan rasa yang paling enak adalah ayam Olive karena mirip dengan yang dimasak ibunya di rumah. Sedang saya masih berpendapat rasa yang paling enak tetap ayam goreng KFC, yang saya juga tidak bisa menjelaskannya dengan masuk akal mengapa ini enak.

Berbicara tentang kategori orisinal, lain lagi ceritanya. Menurut beberapa peserta, ada yang menganggap KFC yang paling orisinal, karena ia merupakan produk pertama ayam goreng yang masuk ke Indonesia lewat sistem waralaba. Rasanya punya standar yang terjaga dan tidak pernah berubah dari waktu ke waktu. Bumbunya sudah ada formulanya yang tepat, yang kita percaya diciptakan oleh seseorang yang penuh dedikasi bernama Pak Sanders. Tapi menurut beberapa peserta, ayam Olive lebih orisinal dari pada KFC, karena dengan standar harga KFC yang kemungkinan rata-rata sama dengan harganya gerainya di seluruh belahan dunia, ia tidak sesuai dengan latar belakang ekonomi secara lokal dimana gerai itu berada. Harga KFC mungkin relatif murah jika kita konsumsi di Eropa atau Amerika, tapi beda halnya dengan konteks di Asia, khususnya Asia Tenggara kecuali Singapura mungkin. Jika kita tahu harga ayam 1 kg di pasar di Indonesia berkisar 30 ribu rupiah, maka harga 1 potong ayam KFC-pun jadi tidak masuk akal karena sangat mahal. Ayam Olive merupakan pilihan yang lebih orisinal dan autentik untuk orang yang rata-rata penghasilannya sebagian besar sedikit diatas upah minimum regional, apalagi untuk mahasiswa. Selain itu gerai ayam Olive yang terlihat ala kadarnya ini, jika dibandingkan dengan gerai KFC atau MCDonald yang terlihat mentereng, dengan music stereo dari speaker yang bagus juga hembusan AC yang membuat kulit kita tidak berkeringat dan berminyak, membuat kita tidak betah berlama-lama nongkrong. Kedai ayam Olive tersebut, dengan dekorasi yang janggal, tanpa AC, dan hanya memutarkan music dari radio lokal serta furniture yang tidak nyaman, sangat tepat dengan term fast food, yang diciptakan untuk makan cepat kemudian cabut.

Melalui semua komentar yang menjadikannya temuan bagi saya, kemudian saya mempertanyakan kembali apa yang mempengaruhi orisinalitas dalam makanan? Apakah hanya sebatas peran di indera perasa saja? Atau memang pengaruh eksternal juga mempengaruhi, seperti ekonomi, sosial, penampilan visual, dan lainnya?

Artikel Terkait

Related Articles

Catatan Tiga Workshop Bakudapan Sebagai Imajinasi Siasat Hidup Masyarakarta Urban; Unpacking Embodied Knowledge, Living Leftover  dan Please Eat Wildly
  • Proyek

Catatan Tiga Workshop Bakudapan Sebagai Imajinasi Siasat Hidup Masyarakarta Urban; Unpacking Embodied Knowledge, Living Leftover dan Please Eat Wildly

  • Catatan
  • /Edible Weed
  • /Living Leftover
  • /Lokakarya
  • /Unpacking Embodied Knowledge
9 April 2019
Bakudapan Berpartisipasi dalam Istanbul Design Biennale
  • Kabar

Bakudapan Berpartisipasi dalam Istanbul Design Biennale

  • Lokakarya
18 September 2018
Mencari yang Orisinal dalam Sepotong Ayam
  • Proyek

Mencari yang Orisinal dalam Sepotong Ayam

  • Fast & Foodrious
29 Juni 2017
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.