Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Inspirasi

Makanan Sebagai Upah: Upaya Mengakses Makanan bagi Kelas Pekerja dan Masyarakat Menengah ke Bawah

Esai / Politik Pangan
  • 13 Januari 2020
  • Rr. Esty Wikasilva

Dalam fungsinya sehari-hari makanan memang kebutuhan yang mutlak bagi semua mahluk hidup. Namun, dalam proses pemenuhan kebutuhannya terkadang memiliki berbagai kendala, seperti tingginya harga bahan makanan mentah maupun siap saji di pasaran. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya karena jumlah permintaan pasar yang tak sebanding dengan ketersedian bahan pangan itu sendiri, sehingga sulit untuk dijangkau oleh kalangan dan kelas tertentu. Persoalan sulitnya akses terhadap pangan merupakan masalah umum yang tak hanya terjadi di suatu tempat tertentu, tetapi juga dialami hampir di seluruh dunia, seperti yang pernah dikatakan oleh Eric Holt-Gimenez dalam bukunya yang berjudul berjudul “A Foodie’s Guide to Capitalism: Understanding the Political Economy What We Eat”. Gimenez menulis bahwa seluruh sistem pangan di dunia saat ini dikuasai dan dimonopoli oleh rezim industri kapitalis, sehingga bukan tidak mungkin konteks ekonomi politik suatu wilayah mempengaruhi sistem dan rantai pangan, termasuk di dalamnya persoalan harga bahan pangan itu sendiri. Pada akhirnya siapa yang paling terdampak akibat dari permasalahan ini tetap saja mereka orang-orang dengan status ekonomi  yang rendah.(1)

Situasi ekonomi politik secara global turut mempengaruhi sistem pangan dunia. Hal ini secara tidak langsung membuat pemenuhan kebutuhan akan makanan menjadi cukup problematik bagi orang-orang yang berekonomi rendah. Mulai dari monopoli perusahaan bibit, penguasaan lahan-lahan baik oleh korporat maupun negara, dan banyak lagi daftar panjang rantai kapitalisme pangan. Di lain sisi, masyarakat kelas pekerja yang umumnya bergaji rendah dan tidak punya akses ke sumber pangan langsung mengalami kerentanan, bukan hanya akan kebutuhan pangan dan nutrisi, tapi juga kesejahteraan hidup. Seperti yang kita tahu, sebagian besar pengahasilan mereka digunakan hanya untuk kebutuhan konsumsi dan harus menekan pengeluaran untuk kebutuhan yang lainnya seperti kebutuhan sandang, papan dan rekreasi. Sebagai kebutuhan paling dasar, makan menyedot pengeluaran terbesar kaum miskin, karena harus dipenuhi secara harian. Oleh karenanya dibutuhkan upaya-upaya lain untuk memenuhi kebutuhan nutrisi selain hanya mengandalkan pemasukan setiap bulannya. Misalnya dengan ‘mendapatkan makanan’ sebagai upah tambahan atau tunjangan di samping dari upah pokok yang diterima. 

Pan-toting

Kondisi sulit mengakses bahan pangan serta bagaimana cara mengakalinya pernah dilakukan oleh pekerja domestik Afrika-Amerika pada masa perbudakan orang kulit hitam. Pada masa itu, timbul istilah ‘pan-toting’ – sebuah praktik mengambil makanan sisa makan malam dari majikan mereka seperti yang ditulis oleh Tera W. Hunter tahun 1997 dalam  bukunya yang berjudul “To ‘Joy My Freedom: Shouthern Black Women’s Lives and Labors After The Civil War”. Di dalam buku tersebut, Hunter mengatakan bahwa upaya yang dilakukan oleh pekerja domestik kulit hitam untuk mendapatkan makanan dengan cara pan-toting terbukti menjadi suplemen penting untuk makanan keluarga dan komunitas pekerja domestik (2). Rebecca Sharpless dalam bukunya “Cooking in Others women’s Kitchen – Domestic workers in the South, 1865-1960”; juga mengatakan bahwa pan-toting tersebut selain digunakan sebagai strategi untuk mengakali pemasukan bagi kelas pekerja saat itu, juga digunakan untuk memperluas variasi dan kualitas gizi makanan mereka (3). Secara tidak langsung, menurut saya, hal tersebut menunjukkan bahwa makanan layak dan sehat hanya bisa diakses oleh orang kulit putih atau orang kaya pada saat itu. Dengan kata lain, akses untuk mendapatkan variasi makanan yang layak, dan bergizi tidak merata karena adanya kesenjangan ekonomi, serta  dipengaruhi oleh relasi kuasa antar kelas dan ras.

Namun dilema pan-toting bukan hanya persoalan akses dan ketimpangan terhadap pangan, yang merupakan hak asasi manusia. Beberapa orang menganggap praktik ini sebagai bentuk mencuri. Lebih jelasnya lagi, Hunter juga menambahkan perspektif dari beberapa pekerja domestik lain seperti koki restoran dan pelayan yang menganggap bahwa mengambil sisa makanan rumahan atau barang dapur itu dianggap sebagai hak adat. Namun, praktik ini kemudian memunculkan pro dan kontra antara pekerja dengan majikan, maupun antar sesama majikan mereka. Seperti yang dikatakan oleh seorang  narasumber – pekerja domestik kulit hitam dalam buku Hunter; ia menolak pan-toting disebut sebagai praktik mencuri makanan, ia mengatakan “kami hanya mengambil sesuatu, dan itu adalah bagian dari kontrak lisan maupun tersirat”. Tak disebutkan secara detail oleh Hunter mengapa praktik tersebut dianggap sebagai ‘mencuri’ tetapi mungkin saja hal ini dikarenakan sebagian pekerja domestik  mengambil makanan sisa tersebut tanpa sepengetahuan majikan mereka. Seperti yang dikatakan salah seorang majikan, merespon apa yang dilakukan pekerja mereka “kami tahu apa yang mereka sembunyikan di balik apron mereka seusai makan malam”. Sebagian majikan yang memang tidak menyetujui praktik tersebut kemudian  mengajukan agar pan-toting dihilangkan saja untuk mengurangi kompensasi yang mereka berikan kepada pekerja mereka. Akibatnya, timbul kebiijakan dari pemerintah setempat guna memantau dan mengontrol praktik pan-toting.

Kemunculan kebijakan untuk mengontrol praktik tersebut kemudian membuat pekerja domestik dikriminalisasi. Hal itu tentu saja membuat mereka terancam karena praktik pan-toting sendiri sudah menjadi kebiasaan yang mapan dan umum dilakukan oleh pekerja domestik untuk menyokong kebutuhan mereka akan pangan serta dapat memangkas pengeluaran mereka untuk membeli makanan. Namun, beberapa majikan mereka yang setuju dengan praktik tersebut berpendapat lain. Mereka malah menganggap bahwa pan-toting adalah bagian dari upah pekerja atau bagian dari amal, dan membenarkan bahwa upah yang diterima pekerja mereka memang sangat rendah sehingga mereka merasa tak masalah jika pekerjanya mengambil makanan sisa dari rumah mereka. Sebagian majikan yang setuju itu juga beranggapan bahwa mengkriminalisasi pekerja yang kedapatan melakukan praktik tersebut di rumah mereka adalah sebuah tindakan penghinaan kepada pekerja rumah tangga. Sharpless juga membagi pandangan yang lain menyoal praktik pan-toting, ia mengatakan praktik tersebut adalah simbol dari penindasan kulit hitam.

Budaya Rewang

Berangkat dari hal itu saya tertarik untuk melihat lebih jauh praktik pan-toting lewat kacamata budaya yang berbeda. Praktik serupa juga dapat ditemukan di masyarakat kita, di Indonesia, yang secara informal menggunakan makanan sebagai ‘upahnya’. Misalnya praktik ngerewangi yang dilakukan masyarakat dalam lingkup yang lebih kecil (membantu hajatan  tetangga). Praktik tersebut mungkin dianggap remeh dan jarang dilihat potensinya sebagai upaya yang bisa dilakukan untuk mengakses makanan serta mengakali pengeluaran kebutuhan pangan, karena lebih dilihat sebagai bentuk solidaritas membantu sesama tetangga. Bukan lagi menjadi hal asing ketika kita melihat Ibu, keluarga, atau bahkan kita sendiri ikut menjadi bagian yang bekerja di dapur tetangga ketika mereka sedang melakukan hajatan besar. 

Selain di pulau Jawa, praktik ngerewangi atau ngegeger juga dilakukan di kampung saya di Kalimantan Barat. Istilah yang digunakan untuk menyebut praktik tersebutpun masih sama yaitu ‘ngerewangi’, adaptasi dari bahasa Jawa. Hal ini dikarenakan lingkungan tempat kami tinggal juga di dominasi oleh orang Jawa yang mengikuti program transmigrasi ke Kalimantan(4). Dalam praktik ngerewangi ini, biasanya kita hanya sekedar ingin membantu saja tanpa ada keinginan untuk  mendapatkan upah. Keterlibatan kita disitu hanya sebagai bentuk dari rasa empati ataupun solidaritas kita kepada yang punya hajatan. Sebagai balas jasanya, biasanya si empunya hajatan akan memberikan atau membebaskan kita membawa pulang makanan dari hajatan tersebut. 

Konsep ngerewangi sekilas hampir sama dengan pan-toting karena menggunakan makanan sebagai upahnya. Hanya saja dalam praktek ngerewangi, relasi kuasa yang terjadi tidak secara hirarkis antara pekerja dan pemberi kerja. Selain itu kegiatan ini tidak bersifat mengikat antara kita dengan orang yang kita bantu. Kerja-kerja dalam praktek ini lebih bersifat kolektif dan sukarela, serta pemaknaan atas praktik tersebut juga memiliki konotasi yang baik di mata masyarakat umum, sehingga kemudian  pemberian makanan sebagai ‘upah’ atau balas jasa dirasa tepat sebagai bentuk penghargaan atas waktu dan tenaga yang diluangkan. Walaupun begitu, tidak sulit juga untuk menemukan orang yang menjadikan pratek ngerewangi ini menjadi mata pencahariannya – selain  mendapatkan makanan mereka juga mendapatkan upah berupa uang. Biasanya hal ini terjadi ketika orang tersebut memang dikenal aktif membantu hajatan orang lain serta memiliki kemampuan yang dibutuhkan. Seperti yang dilakukan oleh Ibu saya dan teman-temannya, mereka mengaku selain memang senang berkumpul dan saling membantu kalau ada hajatan, hal tersebut juga diakui membantu menambah sumber pemasukan mereka. Sebetulnya, secara sadar maupun tidak sadar masih sangat relevan dalam membantu yang berpenghasilan rendah, untuk mengakses makanan. Meskipun pada kasus ngerewangi tidak bisa diandalkan sebagai jalan keluar atas kebutuhan pangan sehari-hari, dikarenakan frekuensi dari acara hajatan yang tidak terjadi setiap hari. 

Konsep menggunakan makanan sebagai bentuk ‘upah’ atau penghargaan terhadap waktu dan tenaga yang diluangkan, telah menjadi tradisi oleh masyarakat kita. Makanan kerap dilihat sebagai alat perekat sosial. Menurut Cohen dalam tulisannya berjudul “Food and its Vicissitudes: A Cross-cultural Study of Sharing and Non-sharing” makanan adalah sarana untuk mengekspresikan persahabatan, memperlancar hubungan sosial, dan menunjukkan kepedulian, ia juga menambahkan bahwa; pertukaran dan berbagi makanan adalah fitur masyarakat dimana solidaritas komunitas dimaksimalkan (5). Sehingga kemudian bagaimana akhirnya makanan dapat hadir menjadi bentuk balas jasa di dalam praktik ngerewangi ini bisa jadi karena pemaknaan terhadap makanan tak hanya sebatas ‘benda’ untuk balas jasa, tetapi juga sebagai  simbol dari rasa solidaritas mereka itu sendiri. Selain itu, dalam kegiatan ngerewangi, makanan memang sudah tersedia di depan mata dan biasanya jumlahnya selalu berlebih, si empunya hajatan juga tentu tak ingin makanan itu terbuang sia-sia. Ditambah lagi biasanya yang melakukan kegiatan ngerewangi adalah ibu-ibu dimana mereka juga memiliki tugas pokok penyedia makan bagi suami dan anak-anak. Sementara ketika mereka ngerewangi tidak sempat untuk memasak bagi kebutuhan keluarga mereka.

Kelas Pekerja dan Akses Pangan

Pekerja rumah tangga di masyarakat kita hampir sama posisinya dengan pekerja rumah tangga kulit hitam, tetapi perbedaannya terletak pada relasi kuasa yang bersifat lebih cair – bukan bentuk perbudakan; biasanya selain menerima uang gaji, mereka juga mendapatkan fasilitas makan siang atau makan malam untuk mereka sendiri atau bahkan untuk anggota keluarganya (suami dan anak) di rumah sebagai tambahan. Atau tukang bangunan dimana jumlah gaji hariannya akan dihitung tergantung apakah termasuk penyediaan makan siang atau tidak oleh si pemberi kerja. Hal  ini setelah ditilik, juga hampir serupa dengan konsep pemberian komplemen makanan di kantor-kantor tempat kita bekerja. Hasil bincang-bincang dengan beberapa teman yang bekerja di sebuah perusahaan pun mengaku bahwa hadirnya makanan seperti catering harian, selain memudahkan secara akses, juga cukup membantu memotong pengeluaran mereka akan makanan. Namun, perlu digaris bawahi, hal ini tidak sepenuhnya dapat dikatakan cukup untuk mengatasi kesulitan ekonomi akan akses makanan secara masif.

Dari beberapa praktik yang telah disebutkan diatas, memang belum ada catatan yang secara detail menjelaskan bagaimana akhirnya praktik  memberikan makanan kepada pekerja dapat menjadi bagian dari upah. Tetapi, jika mengingat kembali usaha seperti apa yang dilakukan untuk mengakses makanan, praktik-praktik yang dilakukan itu (kecuali ngerewangi yang sifatnya sukerela) dapat kita lihat sebagai hasil dari kesenjangan ekonomi. Dengan kata lain, praktik-praktik tersebut adalah respon kita terhadap kebutuhan dasar dan biologis akan makan yang kemudian membentuk sebuah strategi bertahan dalam hal mengakses makanan. Memang dalam kesehariannya, situasi ekonomi, sosial, maupun  politik, yang melatarbelakangi praktik kita mendapatkan makanan terkesan kabur. Kita seringkali abai dan tidak sadar bagaimana rantai pangan dunia secara makro dibentuk dan dimonopoli oleh segerlintir orang. Serta bagaimana perusahaan-perusaahan hanya mengaji buruh tidak lebih dari batas UMR yang ditetapkan supaya tidak didemo dan diberi sanksi. Sedang kita tetap berkutat pada hal-hal mikro, bagaimana supaya gaji sebulan dapat memenuhi kebutuhan harian makan kita.

Dengan meminjam pernyataan Gimenez menyoal sistem pangan, ia mengatakan selama ini kita hanya fokus pada permasalahan  memperbaiki sistem pangan, padahal permasalahannya lebih dalam daripada itu. Ia menambahkan bahwa sejatinya sistem pangan itu sendiri malah bekerja untuk kepentingan kapitalis. Gimenez berharap agar kita dapat mengkritisi apa yang kita konsumsi. Dari pernyataan tersebut saya mengaitkannya ke permasalahan diatas; bahwa memang perlu bagi kita untuk terus mempertanyakan atau mengkritisi apa saja  hal yang ada dan mempengaruhi cara kerja kita dalam mengakses makanan. Termasuk mempertanyakan kembali apakah upah yang diberikan kepada pekerja juga sepadan dengan jumlah pengeluaran untuk kebutuhan mereka setiap bulannya. Mengingat hampir semua pemasukan kaum pekerja berpenghasilan rendah habis untuk konsumsi sehari-hari, dimana paling besar adalah untuk memenuhi kebutuhan makan. Walaupun praktik-praktik diatas diakui mereka dapat membantu mengakali kebutuhan pangan secara sementara, tetap saja praktik tersebut tidak bisa dianggap sebagai solusi dari permasalahan utama. Sistem pemberian gaji yang tidak sejalan dengan meroketnya harga kebutuhan pokok dipasaran, minimnya tunjangan kebutuhan hidup lain seperti kesehatan, pendidikan, dll adalah persoalan utama kaum pekerja berpenghasilan rendah. Hal ini secara langsung dan tidak langsung menyebabkan kondisi sulit untuk mendapatkan makanan layak dan sehat, yang akan selamanya menggerogoti hidup kelas pekerja dan orang berekonomi rendah. Gambaran tentang upaya mengakses makanan yang dilakukan kelas pekerja dan orang-orang yang berekonomi rendah yang sering dianggap remeh tersebut merupakan data valid untuk menggambarkan kondisi ekonomi yang terjadi di dalam suatu masyarakat. Harapan saya, kedepannya pengetahuan dan praktik tersebut juga dapat menjadi alat untuk mengkritisi dunia kerja yang seringkali tidak manusiawi. Agar persoalan akses makanan yang tak merata itu tidak hanya menjadi masalah yang harus diselesaikan oleh mereka sendiri sebagai individu, melainkan menjadi tanggung jawab kita bersama, termasuk pihak-pihak yang mendominasi industri dan sistem pangan yang bersifat kapitalis. 

Referensi

  1.  Holt-Gimenez, Eric. 2017. “A Foodie’s Guide To Capitalism: Understanding the Political Economy What We Eat”. New York: Monthly Review Press.
  2.  Hunter, Tera W. 1997. “To ‘Joy My Freedom: Shouthern Black Women’s Lives and Labors After The Civil War”. Cambridge: Harvard University Press.
  3.  Sharpless, Rebecca. 2010. “Cooking in Others women’s Kitchen – Domestic workers in the South, 1865 – 1960”. Chapel Hill: University of North Carolina Press.
  4. Yuwono, Jennie. “Transmigrasi Dari Masa Ke Masa”. Academia.edu. Diakses 10 Januari 2020 https://www.academia.edu/9927462/Transmigrasi_Dari_Masa_Ke_Masa
  5. Cohen, Y.A. 1961. “Food and its Vicissitudes: A Cross-cultural Study of Sharingand Non-sharing”. New York;Rinehart and Winston

Artikel Terkait

Related Articles

Gambar diambil dari: <a href="https://geckoproject.id/" target="_blank" rel="noopener">The Gecko Project</a>
  • Inspirasi

Food Estate, untuk Siapa?

  • Esai
  • /Publikasi Ulang
1 Juli 2020
Pangan Adiluhung: Membaca Sidney Mintz dan Kemurnian Makanan
  • Kiriman

Pangan Adiluhung: Membaca Sidney Mintz dan Kemurnian Makanan

  • Esai
  • /Politik Pangan
10 Februari 2020
Makan Apa Ya?
  • Inspirasi

Makan Apa Ya?

  • Catatan
  • /Esai
27 Januari 2020
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.