Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Kabar

Catatan Pekan Menonton Bakudapan: ‘Kitchen Stories’

Catatan / Esai
  • 24 Mei 2017
  • Bagoes Anggoro

How can we understand each other without communicating?

Isak Bjorvik

Pada hari Minggu 14 Mei 2017, saya tidak turut ayah ke kota, namun berkumpul bersama kawan-kawan Bakudapan Food Study Group untuk melangsungkan acara Pekan Menonton Bakudapan yang kesekian kalinya. Bertempat di Ruang Mes 56, kali ini kami memutar film berjudul ‘Kitchen Stories’ (Salmer fra Kjokkenet) yang merupakan film Norwegia besutan Bent Hamer dan rilis tahun 2003. Film berlatar tahun 1950 paska perang dunia 2 ini menceritakan tentang sekelompok peneliti dari Swedia yang sedang meneliti efisiensi kerja dari para ibu rumah tangga di dapur. Alih-alih melihat para ibu rumah tangga, mereka justru malah tertarik untuk melihat bagaimana para pria lajang akan mampu memaksimalkan penggunaan dapur mereka.

Sejumlah 18 peneliti dikirim ke dapur untuk duduk di salah satu sudut dapur dan mengamati segala aktivitas yang dilakukan di dalam dapur tersebut, kemudian merekam dan mencatatnya. Aturan utama bagi peneliti tersebut adalah dilarang melakukan interaksi dalam bentuk apapun terhadap orang yang ada dalam dapur. Yang menarik, bagaimana bias dan interaksi justru muncul dalam proses penelitian yang dilakukan, hingga berujung pada rangkaian persahabatan.

Sebagian film bercerita hal-hal satir dan kadang surealis tentang kehidupan rumah tangga manusia, di sisi lain mencoba melihat hal-hal lembut tentang kesepian laki-laki, dan Bent Hamer dengan cerdas melalui film ini berhasil menarik perhatian dengan membahas ranah yang kurang populer melalui pendekatan sejarah. Pada tahun 1950an, pemerintah Swedia mensponsori sebuah proyek pengamatan massa, dimana kebiasaan dapur ibu rumah tangga Swedia diperiksa dengan teliti untuk melihat apakah rancangan dan tata letak yang lebih rasional pada area persiapan makanan ini dapat ditemukan. Selain itu untuk melihat secara umum, melalui cara pelayan dan pembantu rumah tangga, jika setiap individu memiliki ketergantungan terhadap keteraturan dapur dan sulit untuk menjalani hidup mereka secara lebih logis apabila ada kekacauan di dalamnya.

Tanpa berlebihan, Hamer mencoba mendorong latar belakang sejarah ini lebih jauh, namun tidak terlalu jauh. Hamer mencoba berimajinasi dan membayangkan bagaimana orang-orang Swedia membujuk tetangga mereka orang-orang Norwegia untuk mau berpartisipasi dalam studi tentang kehidupan dapur pria tunggal. Fakta statistik kala itu memang menyebutkan Norwegia memiliki surplus terhadap laki-laki lajang. Visual yang coba digambarkan pun juga cukup mengena. Wilayah pinggiran, musim dingin, dan secara konservatif mereka mengirim sebuah konvoi para periset yang mengemudi melewati perbatasan, masing-masing membawa karavan kecil mereka sendiri, yang akan mereka parkir di luar rumah masing-masing subyek, dan kemudian menghabiskan hari di dapur tiap subyek mereka, melakukan pengamatan, pelacakan, pencatatan, perekaman yang tidak memihak, namun tidak boleh berinteraksi.

Cerita dalam film ini berpusat pada karakter Folke Nilssen, seorang pekerja penelitian kelas menengah, yang ditugaskan untuk mengamati kehidupan dapur dari seorang pria tua yang hidup sendirian bernama Isak Bjorvik. Awalnya Folke mencoba menjalani aturan yang ada. Mencoba melakukan pengamatan dengan duduk di sebuah kursi tinggi ala wasit bulutangkis di salah satu sudut dapur milik Isak. Seiring waktu, rupanya interaksi malah justru terjadi antara Folke dan Isak. Mulai dari obrolan kecil tukar pikiran hingga berbagi makanan dan minuman. Folke pun terlibat lebih jauh dan menjadi tahu lebih tentang kehidupan dan cara berpikir Isak, dan sebaliknya Isak juga malah jadi mengamati sosok Folke, mencari tahu apa sebetulnya yang dilakukan Folke, dan bahkan hingga mengisi data-data yang seharusnya diisi oleh Folke. Pada dasarnya memang Folke menjadi sosok yang dianggap Isak hadir dengan dekat secara jarak maupun pribadi, dimana sebelumnya Isak hanya hidup seorang diri. Mereka berdua akhirnya malah menciptakan satu bentuk bromance dan pertemanan yang cukup jujur dan tulus. Bent Hamer juga tidak memaksakan alur cerita film ini dengan menjadikannya tentang komedi dari pasangan yang aneh, namun mengajak kita untuk menikmati setiap bagian yang terjadi secara intim, dan juga bersiap dengan segala elemen kejutan yang muncul dalam cerita.

Film ini menurut saya mampu menghadirkan satu sisi dan pengalaman etnografis dengan segala dinamika dan dilema yang muncul di dalamnya. Dalam sebuah penelitian, seringkali seorang peneliti terikat dengan berbagai aturan yang terasa sangat akademis dan hierarkis. Hal-hal yang dilakukan di luar batasan dari aturan yang ada, sering berujung pada anggapan bias dan dianggap tidak sesuai dengan apa yang dicari. Penciptaan kedekatan dengan subyek juga kadang dianggap mengganggu dalam memberikan sebuah obyektifitas dalam mengembangkan data yang ada. Selain itu, film ini juga menggambarkan tentang siapa subyek dan siapa obyek dalam penelitian merupakan hal-hal yang sangat cair dan posisi yang cukup kompleks. Bukan mustahil jika etnografer atau siapapun yang memiliki tendensi datang ke suatu tempat untuk meneliti manusia-manusia di sana, tidak luput juga dari “penelitian” para obyeknya. Hal ini tergambar jelas lewat adegan saat Isak memata-matai Folke melalui lubang di atas kursi kerjanya. Menariknya, dalam film ini ada percakapan yang menunjukan bahwa Folke secara tidak sadar juga merupakan bagian dari penelitian Isak.

Dalam dunia penelitian modern, banyak disiplin dan metode yang beririsan. Pengalaman sensori dalam tubuh serta perasaan berada dan mengalami suatu peristiwa kadang menjadi titik penting dalam sebuah penelitian. Data kadangkala muncul dan menjadi kuat justru dengan adanya pengalaman-pengalaman personal dan subyektif seperti yang digambarkan dalam film ini. Etnografi juga menjadi salah satu yang muncul dalam rangka menarik pengalaman yang sifatnya subyektif dari area personal menjadi suatu data yang bisa dikaji lebih secara akademis. Walaupun akhirnya dalam alur film ditunjukkan bahwa Folke sebagai peneliti dipecat akibat kedekatannya dengan Isak sebagai subyek, namun data yang dibangun melalui relasi Folke dan Isak justru dianggap sangat baik dan penting.

Film ini sengaja dipilih oleh kami, Bakudapan Food Study Group, karena kami rasa mampu merefleksikan praktik penelitian yang coba kami lakukan. Dengan mencoba mengalami, bereksperimen dengan banyak hal dan metode, kami juga ingin mengeksplorasi tentang subyektifitas yang selalu ditekankan dalam sebuah penelitian serta bagaimana pengalaman-pengalaman personal seperti yang digambarkan dalam film ini bisa dipelajari sebagai data. Interaksi dan proses dialektik yang panjang pastinya juga akan mengiringi dalam menerjemahkan temuan data tersebut untuk dianalisis lebih dalam.

Artikel Terkait

Related Articles

Perjalanan ke Yamaguchi, Jepang
  • Kabar

Perjalanan ke Yamaguchi, Jepang

  • Catatan
  • /Residensi
25 Januari 2023
Gambar diambil dari: <a href="https://geckoproject.id/" target="_blank" rel="noopener">The Gecko Project</a>
  • Inspirasi

Food Estate, untuk Siapa?

  • Esai
  • /Publikasi Ulang
1 Juli 2020
Pangan Adiluhung: Membaca Sidney Mintz dan Kemurnian Makanan
  • Kiriman

Pangan Adiluhung: Membaca Sidney Mintz dan Kemurnian Makanan

  • Esai
  • /Politik Pangan
10 Februari 2020
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.