Lewati ke konten
  • Proyek
  • Kabar
  • Kiriman
  • Inspirasi
  • Publikasi
  • Ekosistem
  • Toko
  • Tentang
    • Tentang Bakudapan
    • Profil Anggota
  • Kontak
  • Project
  • News
  • Submissions
  • Inspiration
  • Publications
  • Ecosystem
  • Shop
  • About
    • About Bakudapan
    • Member Profile
  • Contact

Bakudapan Food Study Group

  • ID
  • EN
  • ID
  • EN
Search
  • Kabar

Pekan Membaca Bakudapan: Information and Democracy in Global Coffee Trade

Esai / Politik Pangan
  • 19 Februari 2017
  • Elia Nurvista & Gatari Surya Kusuma

Dalam proyek Independent Food yang sedang Bakudapan Food Study Group lakukan, ada beberapa isu yang menjadi ketertarikan kami, diantaranya tentang kopi. Beberapa dari kami tertarik untuk mengetahui sejarah kedai kopi di Yogyakarta dan melihat kaitannya dengan fenomena kopi yang sekarang cukup semarak di kota ini. Kecurigaan kami, apakah kegiatan minum kopi dengan segala atribut dan ruangnya adalah tren? Artinya jika ia sebatas tren, apakah kemudian hal ini akan meredup dan kemudian hilang seperti yang sudah-sudah? Atas dasar ketertarikan tersebut kami kemudian sepakat untuk membahas bab 11 dari buku Food Activism, yang berjudul “Information and Democracy in Global Coffee Trade” oleh Daniel Reichman.

Pada pekan membaca kali ini, kami sepakat untuk melakukannya di teras Wikikopi. Selain mengikuti tema dan disesuaikan dengan lokasinya, kami juga menyasar publik yang sering berkunjung ke Wikikopi. Kami mencoba untuk mencari tahu tentang bagaimana sudut pandang permasalahan kopi ini dibicarakan oleh para praktisi dan pecinta kopi. Sesuai dengan harapan, kami berhasil untuk mendapatkan publik yang diinginkan.

Total durasi melakukan aktivitas pekan membaca, kurang lebih 2 jam. Di satu jam pertama, pembahasan kami mengulas tentang permasalahan utama yang diangkat dalam teks tersebut. Pada jam selanjutnya kami mencoba mengkontekstualisasikan perihal kopi yang terjadi di Yogyakarta maupun di Indonesia, lewat bacaan tersebut. Pada dasarnya, teks ini membahas tentang UTZ sebagai platform perdagangan yang mengedepankan aspek food transparency. Apa yang dimaksud dengan food transparency atau sistem pangan yang transparan? Transparan terhadap siapa? Apa hubungan food transparency dalam kaitannya dengan kopi dan tren konsumen? Kurang lebih hal-hal itulah yang disasar dalam pembahasan kali ini.

Sistem Pangan yang Transparan

Nampaknya, food transparency merupakan salah satu isu yang sering dibahas dalam masalah pangan di beberapa negara. Food transparency jika diterjemahkan secara harfiah, maka akan berarti transparansi pangan atau sistem pangan yang terbuka, baik mulai dari tahap produksi, distribusi hingga konsumsi. Dalam teks ini, keterbukaan tersebut dibahas melalui UTZ, yang adalah platform perdagangan komoditas pangan antar negara yang memiliki misi pertanian berkelanjutan.[1] Misi pertanian berkelanjutan tersebut berusaha dicapai, salah satu caranya dengan menerapkan sistem pangan yang terbuka. Tetapi dalam teks ini terlihat bahwa keterbukaan UTZ lebih condong terhadap konsumennya yang sebagaian berasal dari Eropa dan Amerika Utara. Dengan mencantumkan dari mana biji kopi berasal dan menunjukan kopi-kopi tersebut dibeli dengan harga layak serta para petaninya yang sejahtera, UTZ menerjemahkan masalah keterbukaan diatas.

Tren industri kopi dalam topik transparansi pangan telah mengambil peran dan posisinya sendiri. Sama halnya dengan UTZ. UTZ terbentuk karena adanya situasi dan polemik terkait kebutuhan konsumsi kopi yang tidak pernah berkurang, harga kopi dunia yang fluktuatif serta isu atas food transparency. Sistim UTZ terbentuk pada tahun 1997 sebagai bagian dari partnership antara produsen kopi Guatemala dengan rantai supermarket di Eropa[2]. UTZ juga menggunakan metode track and trace dalam sistem penjualannya. Metode track and trace ini tidak hanya mampu melacak dari mana biji kopi berasal, tetapi juga mampu memeriksa bahwa kopi tersebut tidak sedang berada di dalam sistim distribusi industri partai besar yang kualitasnya tidak terjaga.

Topik ini menjadi menarik ketika ditemukan beberapa pertanyaan terkait sistim distribusinya. Pertanyaannya berupa bagaimana mekanisme pencarian kopi-kopi tersebut hingga pembagian keuntungan dengan pihak terkait yang mereka lakukan, antara produsen-distributor dan UTZ? Karena kemudian, pada prakteknya UTZ membeli biji-biji kopi dari distributor yang tidak disebutkan dalam kemasan kopinya. Dengan mekanisme pemberian sertifikasi yang kemudian disebut UTZ Certified, sesuai standar yang mereka buat sendiri terhadap distributor-distributor besar, mereka kemudian mendapat komoditi kopi. Tujuan UTZ untuk mencapai keadilan pangan ini terdengar cukup utopis, tetapi keutopisan ini merupakan gambaran dari apa yang telah terjadi di dunia pertanian dunia. Bagaimanapun ada sistem hirarki yang bekerja dimana pasar (dalam hal ini UTZ) tetap mendominasi atas perdagangan kopi tersebut. Para petani dan pengepul kemudian berlomba agar dapat masuk dalam sistem ini, yang kemudian mengakibatkan terekslusinya petani lain yang tidak sesuai standar. Hal utopis lainnya, seolah-olah jika kita sudah membeli bahan pangan dengan label fair trade, selesai sudah. Kita telah menjadi konsumen yang etis dan peduli. Tetapi sesungguhnya kita tidak pernah benar-benar tahu apa yang dimaksud adil di sini apakah sesuai dengan adil dalam kehidupan petaninya.

Dalam pembahasan mengenai UTZ Certified, pada dasarnya UTZ bekerja untuk mencari biji-biji kopi pilihan dan mensertifikasinya sesuai standar mereka. Tentu saja ada banyak prosedur dalam proses mensertifikasi, diantaranya tentang kebersihan dan keamanan pekerja yang sangat prosedural, yang disebut oleh salah satu petani di Honduras “basically aesthetic”.[3] Maksudnya bagaimana sistem ini dijalankan yang meliputi mulai dari pengukuran lahan dan batas-batas lahan, ukuran ketinggian lahan dimana kopi ditanam, penggunaan atap kayu untuk melinduingi kesuburan, standarisasi toilet untuk pekerja, hingga bagaimana cara memetik kopi yang baik. yang dirasa sangat artifisial. Hal ini dilakukan demi mengejar sertifikasi dan label yang kemudian disebut “fair trade” Pembahasan selanjutnya mengenai fair trade bisa memberi gambaran lebih utuh tentang tendensi yang muncul dari bentuk sistim food transparency. Pada intinya dalam diskusi kami, kami melihat bahwa masalah food transparency ini memang kemudian memperlihatkan sebagian proses dari rantai pasok kopi dunia, tetapi dengan serta merta juga memburamkan bagian lainnya, terutama sistem distribusinya.

Fair Trade

Dalam membicarakan fair trade, sering terjadi ambiguitas pada istilah ini yang tidak disinggung oleh penulis. Terdapat dua jenis fair trade, yang pertama (fair trade; ditulis dengan spasi) sebagai istilah yang berarti gerakan sosial yang bertujuan membantu produsen di negara berkembang menikmati perdagangan yang lebih baik dan memperkenalkan keberlanjutan lingkungan.[4] Sedang yang kedua (fairtrade; ditulis tanpa spasi) sebagai intitusi berbentuk jaringan global yang memiliki keanggotaan baik petani, importir, pemasar dan berbagai posisi dalam rantai pasok pangan yang peduli akan isu keadilan dalam perdagangan pangan.[5]

Pada awalnya, fair trade tercipta pada sekitar tahun 1980 dan dikenal sebagai suatu gerakan berskala kecil dengan agenda-agenda yang kental akan unsur politik namun lambat laun berubah menjadi birokrasi global yang terlihat sangat mutakhir dengan agenda-agendanya dan terinstitusikan menjadi World Fair Trade Organization atau disebut fairtrade.

Mengutip keterangan dari website tersebut, mengatakan bahwa tujuan fairtrade bukan hanya sekedar perdagangan yang berkeadilan tetapi juga bertujuan memotong angka kemiskinan yang dialami oleh banyak petani kopi di dunia. Dengan cara memberi sertifikasi fairtrade pada merk dagang besar seperti Starbucks, Coffindo dan Excelso yang sudah masuk dan populer di Yogyakarta, konsumen diajak percaya bahwa keuntungan dari satu cup kopi seharga 50 ribu, akan disalurkan pada petani-petaninya.

Padahal jika kita mau bersikap kritis, kita harus mengingat pula rantai distribusi yang sudah pasti tidak pendek. Karena sesungguhnya panjang pendeknya jarak distribusi komoditas pertanian memengaruhi sistim serta pembagian keuntungan yang meliputinya. Komoditas pertanian yang memiliki jarak pengiriman dekat dalam proses distribusi biasa disebut dengan istilah pangan lokal, sedangkan komoditas pertanian yang memiliki jarak pengirimian distribusi yang jauh kemudian disebut sebagai pangan industri.[6]

Adanya jarak yang jauh dan panjang dalam pengiriman komoditas pertanian atau industri pangan memungkinkan munculnya satu institusi untuk memberikan legalitas terhadap kualitas yang tetap terjaga. Posisi ini lah yang diambil oleh pihak ketiga untuk mengisi celah dengan menciptakan sertifikasi, salah satunya adalah UTZ. Selain berupa trace and track yang memungkinkan konsumen melacak petani penghasil yang dibeli dengan sistem fairtrade, sertifikasi ini juga menjamin bahwa konsumen mendapatkan kopi dengan kualitas yang baik sesuai standar mereka.

Berdasarkan dari hasil diskusi di Wikikopi, kami kemudian berkaca pada sistem penjualan kopi di Indonesia. Jika UTZ seolah-olah lebih ingin menunjukan transparansinya pada konsumennya, apakah hal itu juga dibutuhkan oleh petani kopinya? Mengingat Indonesia sebagai negara penghasil kopi yang cukup diperhitungkan, apakah dengan bergabung di UTZ merupakan hal yang akan membantu kehidupan petani?

Dalam diskusi ini kemudian beberapa penggiat kopi yang hadir mengemukakan bahwa sistem direct trade atau beli langsung kepada petaninya dan memotong jalur distribusi merupakan hal yang lebih masuk akal. Sembari menciptakan pasar dan berbagi pengetahuan tentang cara mengapresiasi kopi adalah satu hal yang mereka tekankan. Menurut para penggiat kopi tersebut, hal yang paling bermasalah dari petani kopi adalah mereka tidak tahu bahwa produk mereka begitu berharga di pasar global. Mereka terlalu sering dibodohi dan memang dibuat bodoh oleh sistem kapitalisasi pangan di negeri ini, Oleh karenanya, sembari membeli langsung dan menciptakan sistem mereka seperti penerapan harga minimal, mereka juga berupaya menyebarkan pengetahuan akan kopi. Walaupun tentu sistem ini harus selalu diperiksa ulang karena rentan akan bentuk-bentuk eksklusifitas yang lain.

Terakhir, dalam kaitannya dengan tren kopi lokal yang marak belakangan ini, yang kemudian menciptakan konsumen-konsumen yang peduli, memang dibutuhkan agar perdagangan kopi dalam negeri bisa terus berjalan, petani lebih dihargai serta kopi Indonesia lebih bisa diapresiasi. Lagi-lagi tentu saja kita harus tetap kritis melihat tren ini supaya “kelokalan” kopi tersebut tidak menjadi komodifikasi yang dijual mahal, tetapi keuntungannya hanya masuk pada rekening pemodal atau pemilik kedai.


[1] https://utz.org/who-we-are/about-utz/

[2]Counihan C. & Siniscalchi V. 2014. “Ethnography of Food Activism : Agency, Democracy and Economy.” Hal. 152

[3] Ibid., Hal. 162

[4] https://en.wikipedia.org/wiki/Fair_trade

[5] http://www.wfto.com/

[6] Berdasar informasi yang diberikan oleh Tauhid, salah satu peserta diskusi yang juga aktif dalam dunia pertanian dan kopi.

Artikel Terkait

Related Articles

Gambar diambil dari: <a href="https://geckoproject.id/" target="_blank" rel="noopener">The Gecko Project</a>
  • Inspirasi

Food Estate, untuk Siapa?

  • Esai
  • /Publikasi Ulang
1 Juli 2020
Pangan Adiluhung: Membaca Sidney Mintz dan Kemurnian Makanan
  • Kiriman

Pangan Adiluhung: Membaca Sidney Mintz dan Kemurnian Makanan

  • Esai
  • /Politik Pangan
10 Februari 2020
Makan Apa Ya?
  • Inspirasi

Makan Apa Ya?

  • Catatan
  • /Esai
27 Januari 2020
Kontak Kami
bakudapan@gmail.com
Contact Us
bakudapan@gmail.com
Tentang Kami
Kirim Tulisan
About Us
Submissions
Facebook
Instagram
YouTube
© 2015 - 2024 Bakudapan Food Study Group
Powered by ScriptMedia
Download Portfolio

BAKUDAPAN is a study group that discuss ideas about food. The word BAKUDAPAN itself is inspired by “bakudapa”, which comes from Manadonese (North Sulawesi) language meaning to “meet”, and also “kudapan” which is a kind of snack that is usually served when there are activities such as a meeting, visiting, and even when hanging out. Therefore, “bakudapan” can be translated as eating snacks while meeting. Through this name, we would like to meet with people who have an interest in food.

BAKUDAPAN adalah sebuah kelompok studi yang mengkaji topik-topik mengenai makan dan makanan. BAKUDAPAN sendiri terinspirasi dari kata “bakudapa” yang berasal dari bahasa Manado (Sulawesi Utara), yang berarti “bertemu”, dan “kudapan” adalah makanan ringan yang biasa disajikan saat adanya aktivitas bertemu orang lain, baik bertamu, rapat, ataupun nongkrong. Sehingga “bakudapan” dapat diartikan sebagai kegiatan bertemu sambil memakan kudapan. Melalui nama inilah, kami ingin bertemu dengan orang-orang yang memiliki ketertarikan terhadap makanan.

We believe that food not merely about filling the stomach. Moreover, food are not restricted about cooking, history, conservation and the ambition to introduce it to the world. For us, food can be an instrument to speak about broader issues, such as politics, social, gender, economy, philosophy, art, and culture.

Kami percaya bahwa makanan tidak hanya soal memasak, asal muasalnya, serta ambisi untuk melestarikan dan mengenalkannya kepada dunia. Bagi kami, makanan dapat menjadi alat dan jalan masuk untuk membicarakan isu yang lebih luas, baik itu ekonomi, politik, sosial, gender, seni, maupun budaya yang lebih luas.

As a study group, we were open for those who would like to join with our projects and activities, despite the difference of backgrounds. The main scheme in our projects is to do cross reference and research about food, which have a trajectory between art, ethnography, research and practice. In doing research, we interested to explore and experiment with the methods and forms, from arts (performance, artistic setting, exhibition, etc) to daily life practices (cooking, gardening, reading, etc). As a reflection process and our intention to generate and share the knowledge, we produce a journal in every projects and actively train ourselves to writes in our website.

Sebagai kelompok belajar kajian makanan, kami terbuka untuk rekan-rekan yang ingin bergabung dengan latar belakang yang beragam. Skema kerja dalam kelompok Bakudapan ini adalah melakukan penelitian dan silang referensi tentang makanan, baik dalam ranah etnografi, antropologi dan seni. Dalam prakteknya kami juga tertarik bereksperimen dengan berbagai metode, mulai dari aktivitas pameran seni, performans, hingga kegiatan seperti memasak, berkebun, klub membaca dan lainnya. Sebagai bagian dari proses riset dan reflektif, kami sedang memaksa diri kami untuk aktif menulis melalui website ini.

Download Portfolio

Kirimkan tulisan kalian disini!

Submit your work here!

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista explores a wide range of art mediums with an interdisciplinary approach and focuses on the discourse on food politics. Through food, she intends to scrutinize power, social, and economic inequality in this world. Using several mediums from workshop, study group, publication, site specific, performance, video and art installations, she explores the social implications of the food system to critically address the wider issues such as ecology, gender, class and geopolitics. In 2015, with Khairunnisa she initiated Bakudapan Food Study Group. She actively works on her individual projects as well as collective work with Bakudapan.

Elia Nurvista (b.1983)
Elia Nurvista merupakan seniman multidisiplin yang karya-karyanya fokus pada politik pangan. Melalui pangan, ia ingin melihat lebih dalam tentang ketimpangan kekuasaan, sosial, dan ekonomi yang beroperasi secara global. Dengan menggunakan berbagai medium seperti lokakarya, kelompok belajar, publikasi, site specific, pertunjukan, video dan instalasi seni, ia mengeksplorasi implikasi sosial dari sistem pangan untuk secara kritis menyikapi isu-isu yang lebih luas seperti ekologi, gender, kelas dan geopolitik. Pada tahun 2015, bersama Khairunnisa, ia memprakarsai Bakudapan Food Study Group. Ia aktif mengerjakan proyek-proyek individualnya dan juga kerja kolektif bersama Bakudapan.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya is an anthropology learner, graduated from Cultural Anthropology Department, UGM. She worked on a daily basis as an independent researcher, writer, and editor based in Yogyakarta/Bandung. Liesta is interested in delving on how cultural and social movements become ways in weaving mutual collaboration, practicing collective care to sustain equality and justice, and create space for people to learn together—nurtured with the community or in her daily personal life. Her research revolves around the intersectionalities between urban issues, social-technological studies, social-ecological justice, and cultural labor issues. Liesta is also a member of Struggles for Sovereignty, and co-managing independent publication project named Poppakultura.

Eliesta Handitya (b. 1998)
Eliesta Handitya adalah seorang pembelajar antropologi, lulusan Departemen Antropologi Budaya, UGM. Saat ini, ia bekerja sebagai penulis, peneliti, dan editor independen berbasis di Yogyakarta/Bandung. Liesta tertarik mendalami bagaimana gerakan sosial dan kebudayaan bisa menjadi cara untuk merajut kolaborasi yang setara, merawat kesetaraan dan keadilan, dan menciptakan ruang tumbuh bersama—ditumbuhkan melalui kerja komunitas maupun dalam kehidupan personal sehari-hari. Fokus penelitian yang ia dalami, di antaranya persilangan mengenai isu perkotaan, pangan, kajian dengan pendekatan sosial-teknologi, keadilan sosial-ekologi, dan pekerja budaya. Liesta juga merupakan anggota Struggles for Sovereignty, dan sedang mengelola proyek penerbitan independen bernama Poppakultura.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari is a cultural worker based in Yogyakarta, Indonesia. She has been part of Bakudapan Food Study Group since the start. Besides being part of Bakudapan, she is working as a researcher in KUNCI Study Forum & Collective. Her interest in these collectives is to continue exploring in research methods and understanding of learning. And also about how knowledge is re-produce and re-question in these topics. Lately it is working on topics such as collective work practice and city as a space.

Gatari Surya Kusuma (b.1993)
Gatari adalah seorang pekerja budaya yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Dia telah menjadi bagian dari Kelompok Studi Makanan Bakudapan sejak awal. Selain menjadi bagian dari Bakudapan, ia juga bekerja sebagai peneliti di KUNCI Study Forum & Collective. Ketertarikannya pada kolektif ini adalah untuk terus mengeksplorasi metode penelitian dan pemahaman pembelajaran. Dan juga tentang bagaimana pengetahuan diproduksi ulang dan dipertanyakan kembali dalam topik-topik tersebut. Akhir-akhir ini mereka sedang mengerjakan topik-topik seperti praktik kerja kolektif dan kota sebagai sebuah ruang.

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy is a researcher and translator with eclectic interests. Perhaps her years as an anthropology student may be responsible for this outlook as she continues striving to find meaning and wonder in the mundane. In Bakudapan, she found an expansive way to channel her misgivings about food and learn about collectivity. She is currently honing her skills in reading and writing, as well as volunteering. Sometimes she writes in her personal blog besokbesokbesok.wordpress.com

Meivy Andriani Larasati (b. 1998)
Meivy adalah seorang peneliti dan penerjemah dengan minat yang eklektik. Mungkin pengalamannya mempelajari antropologi budaya bertanggung jawab atas pandangannya ini, karena ia terus berusaha menemukan makna dan keajaiban dalam hal-hal yang biasa. Di Bakudapan, ia menemukan cara untuk menyalurkan keraguannya tentang makanan dan belajar tentang kolektivitas. Saat ini ia sedang mengasah kemampuannya dalam membaca dan menulis, serta menjadi sukarelawan. Terkadang ia menulis di blog pribadinya besokbesokbesok.wordpress.com

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika is an independent researcher with a background in cultural anthropology. Her research covers topics such as identity, food security,foodways, ethical consumption, and green capitalism. She has a particular interest in food anthropology. Additionally, Monika is a self-taught cook who explores various flavors and recipes. Recently, she has been interested in developing wine with local fruits under her own label. She also has experience in the food and beverage business.

Monika Swastyastu (b 1994)
Monika adalah seorang peneliti independen dengan latar belakang antropologi budaya. Penelitiannya mencakup topik-topik seperti identitas, ketahanan pangan, kebiasaan makan, konsumsi etis, dan kapitalisme hijau. Ia memiliki minat khusus dalam antropologi pangan dan juga eksplorasi metodologi penelitian. Selain itu, Monika adalah seorang juru masak otodidak yang mengeksplorasi berbagai rasa dan resep. Baru-baru ini, ia tertarik mengembangkan wine dengan buah-buahan lokal di bawah labelnya sendiri. Ia juga memiliki pengalaman dalam bisnis makanan dan minuman.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) is an independent researcher and art worker. She co-founded Bakudapan Food Study Group after she graduated from the Cultural Anthropology Department at Gadjah Mada University. She is currently an active member in Struggles for Sovereignty. Through her experience working in collectives, she gained interest in experimenting with research practices and learning methods. Nisa’s ongoing research interests are care and domestic works, solidarity and knowledge production which she actively exercises in her practice personally and collectively.

Khairunnisa (b.1991)
Khairunnisa (Nisa) adalah seorang peneliti independen dan pekerja seni. Dia mendirikan Bakudapan Food Study Group bersama seorang teman setelah menyelesaikan jenjang sarjana di Antropologi Budaya, Universitas Gadjah Mada. Saat ini dia juga aktif sebagai anggota dari Struggles for Sovereignty. Sebagai seorang peneliti, Nisa memiliki ketertarikan dalam kerja domestik dan perawatan, solidaritas, dan pertukaran pengetahuan yang dia kembangkan baik secara personal maupun bersama kolektif.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Shilfina is currently involved in a range of communication work, from research-based artistic projects and project management to campaign and advocacy strategizing. Her practice mainly focuses on climate justice advocacy, with additional specialization in issues of energy sovereignty and development, gender, and ecology. Her analytical approach is influenced by her undergraduate study of philosophy at Universitas Gadjah Mada. She believes in the strength of collectivity and often contributes to the creation of illustrations, graphic design, and copywriting in her practice.

Shilfina Putri Widatama (b. 1998)
Saat ini Shilfina terlibat dalam berbagai kerja-kerja komunikasi, mulai dari proyek artistik berbasis penelitian, manajemen proyek hingga perencanaan kampanye dan advokasi. Kesehariannya yang berkutat dalam advokasi keadilan iklim juga memiliki fokus penekanan pada isu-isu kedaulatan energi serta pembangunan, gender, dan ekologi. Pendekatannya yang analitis juga dipengaruhi oleh studi sarjananya yaitu Ilmu Filsafat di Universitas Gadjah Mada. Shilfina percaya pada kekuatan kolektivitas dan sering berkontribusi dalam pembuatan ilustrasi, desain grafis, dan penulisan naskah dalam praktiknya.

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva is interested in issues related to the environment and daily activism, delving into emotions, psychology, and collective awareness that are interconnected in the everyday relationships between communities and individuals as a reflection, and using embroidery as an artistic medium to document and reflect the process. Silva is also interested in exploring textile waste management from her embroidery production for various needs such as crafting and slow fashion in small-scale. Apart from that, she works as a commissioned illustrator, writes fiction, and explores music culture and independent publishing

Esty Wika Silva (b. 1994)
Silva tertarik dengan isu-isu yang bersinggungan dengan lingkungan dan aktivisme sehari-hari, mendalami emosi, psikologi dan kesadaran kolektif yang saling terhubung dalam relasi sehari-hari antar komunitas dan individu sebagai refleksinya, dan menggunakan pendekatan artistik media sulam untuk mencatat proses tersebut. Silva juga tertarik mendalami pengolahan limbah tekstil dari proses produksi sulamnya untuk berbagai kebutuhan seperti slow fashion dan crafting dalam skala kecil. Selain itu, ia juga bekerja sebagai ilustrator komisi, menulis fiksi, mengeksplorasi kultur musik dan terbitan mandiri.