Catatan Residensi: Kunjungan Periode Pertama di Dusun Mendira, Desa Panglungan, Jombang, Jawa Timur

  • 20 Mei 2016 – Air terjun dan awal pertemuan.

Jombang. Dalam bayangan saya seperti daerah Jawa Timur kebanyakan yang panas, maka kami menyiapkan diri untuk siap berhadapan dengan kegerahan di tengah perjalanan kami dari Jogja menggunakan bus selama delapan jam dengan berpakaian senyaman mungkin. Terik matahari menyambar kulit muka begitu kami turun dan hendak melanjutkan perjalanan dengan kendaraan ojek. Empat puluh lima menit kira-kira kami membutuhkan waktu untuk sampai di lokasi residensi. Perkiraan kami tentang Jawa Timur yang panas saat itu berbalik 180 derajat. Kedatangan kami di Dusun Mendira, Desa Panglungan disambut rintik hujan dan kabut yang pelan merambat. Sembari menyiapkan mental untuk menghadapi hawa dingin, terlebih dahulu kami menikmati kecantikan air terjun Si Golo-golo yang kami intip di balik ornamen kabut tipis.

Kondisi jalanan beraspal yang menukik dan rusak parah sedikit menyulitkan bapak tukang ojek membawa kami hingga ke rumah Bu Saini, ketua Komunitas Perempuan Sumber Karunia Alam (KPSKA) yang saat itu menjadi tujuan utama pemberhentian kami. Kami terpaksa berhenti di sebuah rumah dan melanjutkan untuk berjalan kaki sembari bertegur sapa dengan warga sekitar. Seorang gadis kemudian menunjukkan rumah Bu Saini dengan sedikit kikuk karena mungkin jarang melihat kami yang datang dengan penampilan yang berbeda dari warga lokal. Perkenalan lebih lanjut terjadi di rumah Bu Saini. Disana untuk pertama kali kami bertemu dengan Hayu Dyah Patriadari Mantasa, selaku rekan yang akan mendampingi kami dalam proses residensi dan program Dapur Komunitas Dusun Mendira. Tidak hanya dari Mantasa, kami juga berkenalan dengan Bu Saini sendiri selaku ketua KPSKA yang juga akan bekerjasama dengan kami.

Kedatangan Bakudapan yang diwakili oleh Gloria dan Gatari saat itu juga bertepatan dengan workshop yang akan diadakan oleh komunitas Holopis dari Surabaya yang bertajuk Disko Tanah. Kegiatan ini dilakukan untuk mengajak masyarakat luas yang ingin belajar tentang pembangunan arsitektur ramah lingkungan untuk berpartisipasi dalam membangun dinding untuk bangunan Dapur Komunitas. Beberapa peserta workshop yang lebih menyebut diri mereka sebagai relawan nampak berdatangan satu persatu dari berbagai daerah. Dari Surabaya sendiri ada empat orang peserta, yaitu Mas Eko yang mengajak anak sulungnya, Bara yang berumur tujuh tahun disusul dua orang peserta wanita yang datang di hari kedua. Sementara dari Semarang ada seorang lulusan arsitek UNDIP bernama Mas Ari dan terakhir ada Yeni mahasiswa yang masih aktif berkuliah di ISI jurusan desain interior. Misi mereka mengikuti workshop sama, yaitu ingin mempelajari arsitektur yang bernilai ekologis mengingat sudah begitu banyak pembangunan di kota yang berdampak mengganggu keseimbangan ekosistem.

Hari pertama kami di Dusun Mendira, tidak banyak agenda yang dilakukan. Kedatangan kami di hari kunjungan pertama dirayakan dengan wisata air terjun Coban Alas, yang adalah bagian dari agenda workshop Disko Tanah. Hari itu bertepatan dengan akhir pekan, sehingga kami ditemani oleh beberapa anak remaja dan orang tua yang sedang piknik dari Surabaya. Kesan pertama bagi anak kota yang sering sekali mengandalkan motor untuk pergi beraktivitas kemanapun, sedikit membuat kami cukup terkaget-kaget dengan medan yang ternyata cukup sulit karena menurun tajam dan licin.

Tipikal tanah liat yang ada di hampir seluruh daratan Jombang dan Mojokerto memang sedikit lebih sulit untuk dilewati, apalagi saat musim penghujan. Hati-hati dan saling menertawakan satu sama lain saat di perjalanan menjadi cerita menarik untuk kami ingat. Suara air terjun yang semakin mendekat kemudian menjadi pelepas keletihan di jemari kaki yang terus berusaha menjaga alas kaki kami agar tidak tertanam di lumpur. Beberapa meter dari arah air terjun, Mbak Hayu mengajak kami berhenti untuk menegak air yang keluar dari salah satu titik mata air di tepian jalur penyusuran Coban Alas. Segar, jika dibandingkan dengan air yang kami genggam sebagai bekal perjalanan. Selepas memenuhi kebutuhan dahaga, kami melanjutkan bermain sebentar menikmati dinginnya air terjun bersama para peserta lain, dan remaja-remaja yang ternyata sudah tengah asyik mengabadikan piknik mereka dengan kamera.

Kembali dari air terjun, kami harus menempuh perjalanan menanjak lagi. Kali ini kami lebih santai dari sebelumnya karena waktu-waktu istirahat saat perjalanan yang menanjak kami pakai untuk berkenalan satu sama lain antar peserta workshop. Dalam perjalanan pulang, Mbak Hayu juga mulai mengenalkan kami pada tanaman-tanaman yang tumbuh liar yang bisa dikonsumsi oleh manusia. Ada beberapa pohon buah dan beberapa lagi tanaman yang bisa dimasak menjadi sayur oleh warga lokal. Bu Saini juga tidak kalah giat mengenalkan pada kami nama-nama lokal tanaman liar serta kegunaannya yang ia ketahui dari orang tuanya. Mereka berdua juga mengambil beberapa tanaman liar diantaranya daun sintrong untuk dimasak, dijadikan isi dari kudapan lumpia. Kami para peserta workshop dan residensi kemudian menjadi semakin penasaran seperti apa rasa dari lumpia diisi dedaunan yang sangat asing di telinga dan lidah kami. Jika biasanya di kota kami menikmati jajanan lumpia dengan isi rebung atau sayuran pada umumnya seperti tauge, kubis, dan wortel, kali ini mencoba lumpia dari daun sintrong mungkin jadi pengalaman seru.

Usai kembali dari berkunjung ke air terjun Coban Lapis, kami kemudian kembali ke rumah kami ditempatkan untuk membersihkan badan dan bersiap-siap makan malam di rumah Bu Mistin bersama ketua kelompok kepuh, peserta workshop, dan peserta residensi yang sudah lebih dulu bekerja di Dusun Mendira. Pakaian hangat kami kenakan karena letak dusun yang berada di pegunungan ini membuat udara di malam hari menjadi lebih dingin. Berjalan kaki dari rumah Bu Parti yang kami tempati menolong tubuh kami tetap hangat karena tetap bergerak, dan aroma semerbak masakan yang sudah matang kemudian menyambut kedatangan kami disana.

Di tengah lingkaran sudah ada nasi putih dan nasi jagung atau yang dikenal dengan istilah lokal sego empog, ayam kampung bakar, sayur-sayuran yang dibumbui kelapa muda, perkedel suweg, tahu dan tempe goreng. Sebelum kami menikmati jamuan hasil karya Ibu-Ibu KPSKA kami terlebih dahulu melakukan sesi perkenalan sembari menikmati teh herbal lokal, dari tanaman teh basil yang banyak tumbuh di pekarangan warga dusun yang dicampur dengan sereh merah. Holopis sebagai penyelenggara yang diwakili oleh Erlin Goentoro kemudian memperkenalkan kami masing-masing kepada Ketua Kelompok Kepuh, Ibu-ibu anggota KPSKA, dan juga Mantasa sebagai pihak-pihak yang terkait dengan program Dapur Komunitas.

Perkenalan dan perbicangan kami semakin cair sembari kami melanjutkannya dengan menyantap hidangan yang sudah sejak awal menggoda kami. Ini adalah kali pertama bagi saya sendiri untuk menyantap sego empog. Gurih dan kemepyar di lidah, mungkin itu yang bisa saya gambarkan tentang bagaimana rasa karbohidrat pengganti nasi ini. Sayuran yang melengkapi jamuan malam ini juga meski memiliki nama-nama yang baru di telinga kami seperti sintrong, pacul gowang, dan jelatang, ternyata rasanya di lidah tidak begitu asing. Hampir mirip seperti ketika mengonsumsi sayuran bayam dan sayuran hijau lainnya, namun tentu hadir dengan tekstur yang sedikit berbeda serta bumbu yang sedikit pedas seperti masakan Jawa Timur pada umumnya.

Malam itu saya dan Gatari memiliki makanan favorit yang saya rasa beberapa dari kami juga sepakat akan rasanya yang nikmat diantara semuanya. Perkedel suweg, yakni panganan yang berasal dari umbi-umbian lokal yang bernama umbi suweg itu sendiri mengingatkan kami pada makanan perkedel yang biasa kami konsumsi yang terbuat dari umbi kentang. Bedanya, perkedel yang menggunakan umbi suweg lebih lembut sekaligus kenyal di setiap gigitannya. Melihat saya dan Gatari yang tidak sungkan untuk mengambil perkedel hingga beberapa kali turut mengundang ibu-ibu di samping kiri kanan kami untuk bercerita bagaimana cara mereka mengolah umbi yang tumbuh liar di pekarangan mereka. Makan bersama malam itu menjadi praktik kami mulai mengenal satu sama lain dan saling bertukar informasi tentang pangan liar sebagai topiknya.

  • 21 Mei 2016 –Tanah liat, kotoran sapi, dan kawan-kawan.

Hari ini adalah hari pertama kami untuk mengikuti rangkaian acara Disko Tanah, yang adalah bagian dari program pembangunan Dapur Komunitas dusun Mendira. Yusing, selaku arsitek yang telah bekerja sama merancang pembangunan ekologis dibantu oleh Angela Rinta sebagai penanggungjawab lapangannya telah mengerjakan hampir 70 persen bagian bangunan. Kegiatan kami di sini adalah berpartisipasi dalam pembangunan tembok mulai dari bagian luar dan dalam sisi dapur. Mengingat tim dari Holopis yang menginginkan pembangunan dapur dibuat dengan tetap memakai nilai-nilai lokal dan ekologis maka mereka pun memanfaatkan bahan-bahan yang diambil dari hutan seperti bambu sebagai pondasinya dan juga tanah liat sebagai bahan utama dinding.

Berbeda dari tanah liat pada umumnya yang digunakan untuk bahan batako, tanah liat di Mendira memiliki karakter yang lebih sulit diolah menjadi bahan dinding yang kokoh. Berbulan-bulan tim dari Holopis dan Mantasa telah bekerjasama menemukan ramuan yang akhirnya pas setelah dicampur dengan beberapa materi lain. Campuran tanah liat diantaranya adalah kotoran sapi yang sudah didiamkan dengan kapur, sekam, dan jerami.

Bermain-main dengan kotoran. Ya, kesan pertama kami saat menyentuh kotoran sapi yang sudah diramu oleh Mba Rinta memang membuat masing-masing dari kami canggung. Dengan terlebih dahulu melihat bagaimana cara kerja Mba Rinta yang dibantu Pak Tum tukang yang bertanggungjawab dalam pembangunan dapur, kami akhirnya mulai akrab dengan bau-bauan kotoran dan akhirnya mulai menemplokkan adonan tanah liat ke rangka bangunan yang terbuat dari bambu. Bara, anak dari Mas Eko yang adalah peserta paling muda terlihat sangat bersemangat dengan aksi-aksinya bereksperimen dengan tanah liat ini. Tawanya menghibur kami juga yang berkotor-kotor di siang hari yang terik sambil terus mengakrabkan diri satu sama lain, bekerjasama membangun dinding dapur komunitas. Hari itu kami bekerja hingga hampir pukul 12, dan akhirnya kami beranjak ke rumah Bu Tri, salah satu anggota KPSKA untuk makan siang di sana. Bersama-sama setelah membersihkan kaki dan tangan, kami berjalan kaki sebentar menuju rumah Bu Tri untuk pertama kalinya.

  • 22 Mei 2016 Berakhir pekan di dapur

Hari Minggu 22 Mei 2016 adalah hari terakhir bagi peserta workshop Disko Tanah untuk beraktivitas di Dusun Mendira. Beberapa dari kami terlihat sudah bergumul dengan tanah liat lagi lebih awal dari jadwal seharusnya. Mereka nampak lebih terbiasa dengan aroma dan bersentuhan langsung dengan tanah liat yang bercampur kotoran. Hari pertama memang percobaan mental untuk kami orang-orang kota yang jauh dari bebauan apalagi bersinggungan dengan tanah, pun kotoran hewan.

Penasaran, sesekali saya juga menanyakan kepada bapak-bapak tukang di Dapur Komunitas tentang bagaimana mereka terbiasa dengan hal ini. Awalnya mereka bercerita tentang keanehan campuran tanah liat yang mereka buat, namun mereka juga mengatakan bahwa dulu kakek mereka sering menggunakan campuran kotoran sapi untuk berbagai keperluan pembangunan rumah.

Hampir satu jam kira-kira saya berada di Dapur Komunitas bekerjasama dengan rekan-rekan relawan menemplokkan tanah liat ke rangka bambu. Pagi itu di seberang dapur nampak Ibu-Ibu KPSKA yang nampak memanen sayuran di lahan. Masing-masing dari mereka membawa beberapa rumpun sayur-mayur yang katanya akan diolah untuk makan siang kami bersama. Ibu-Ibu menyerukan kepada kami bahwa siang ini akan ada suweg yang dimasak bukan hanya jadi perkedel tapi diolah menjadi kudapan lain bersama lumpia. Penasaran akan bentuk dan pengolahan sayur-mayur yang bernama asing, saya pun pamit kepada Mbak Hayu dan Mbak Erlin untuk menyusul para ibu ke dapur Bu Mistin, yang hari itu menjadi tempat memasak kami.

Sesampainya di sana saya terlebih dahulu berputar mengelilingi dapur dan mengamati beberapa bahan yang akan diolah sambil bertanya apa nama lokal dari masing-masing sayur dan bagaimana biasanya diolah. Ibu-Ibu ini cukup sabar menerima kehadiran saya, meski kadang saya sering mengulang pertanyaan nama sayur yang ada di dapur hari ini. Dari keberadaan saya di dapur saya mendapatkan beberapa informasi diantaranya adalah bagaimana ibu-ibu membagi tugas mereka dan juga tidak jarang mereka saling bertanya tentang nama sayuran yang akan mereka masak. Beberapa malah tidak hafal dengan nama lokal sayuran yang diambil dari pekarangan dan kebun mereka. Mereka juga sering berkata, bahwa sebagian dari mereka jarang tahu bagaimana mengolah sayuran seperti ini. Banyak orang bilang sayur ini pahit, gatal, dan lain-lain yang membuat mereka pun lebih familiar dengan kangkung, bayam, dan wortel yang dibeli di warung atau pasar tradisonal yang jaraknya sekitar setengah jam naik motor dari dusun.

Siang itu kami menyiapkan beberapa menu untuk dimakan bersama peserta Disko Tanah hari itu. Harus spesial tentunya mengingat hari ini adalah hari terakhir mereka ada di dusun ini. Makanan pokok utama yang menjadi favorit kami bersama yaitu nasi jagung atau segompok juga hadir di sana. Dilengkapi dengan sayur kunci yaitu sayur bening yang memakai bumbu bawang-bawangan dan empon kunci, berisi daun lembayung, kacang panjang, pegagan, dan tempuyung. Kemudian ada perkedel jagung, peyek bluntas, lentho, dan perkedel suweg.

Selama saya di dapur ada begitu banyak macam resep yang menarik perhatian saya, salah satunya adalah peyek bluntas. Pengolahannya meliputi daun bluntas yang dirajang tipis-tipis kemudian dicampur ke adonan tepung rempeyek. Ketika dimasak dan sudah matang, beberapa dari kami nyeletuk rasanya seperti rumput laut. Kemudian menu kedua yang lain yang untuk pertama kalinya saya makan adalah lentho, yaitu semacam perkedel tapi dibuat  dari biji kacang tunggak yang dipetik di kebun. Tentunya semua makanan tadi juga ditemani oleh satu cobek sambal terasi matang.

Jam makan siang pun tiba, kami bersama-sama menyiapkan makanan yang sudah dimasak oleh para Ibu KPSKA. Antusiasme dari peserta workshop Disko Tanah terus terdengar dari ruang depan rumah Bu Mistin. Apresiasi juga terus diberikan pada masakan-masakan yang sudah hadir di tengah lingkaran kami. Sebagai orang yang tinggal di daerah perkotaan, diberikan tawaran makanan dari sayur-sayuran dengan istilah asing tentu menjadi sebuah pengalaman makan baru.

Hal yang menarik yang menjadi catatan khusus saya sebagai peserta yang mengunjungi dapur, ikut menyiapkan makanan, dan juga makan beserta peserta workshop lain adalah ketika ibu-ibu merisaukan rasa masakan yang mereka sajikan untuk orang-orang kota di ruang tamu Bu Mistin. Mereka sibuk saling bertanya satu sama lain, berusaha saling meyakinkan bahwa masakan mereka cukup bercita rasa, terutama memiliki rasa gurih dan asin yang pas. Ternyata setelah saya ikut bergabung kembali bersama mereka yang bergerombol di dapur, pelan-pelan saya memahami kegelisahan mereka yang ternyata telah terbiasa memakai bumbu penyedap rasa seperti merek Ajinomoto.

Dari pihak Mantasa dan Holopis yang sudah lama bekerjasama mengembangkan budidaya pangan liar di dusun ini selain mengajarkan berbagai teknik pengolahan makan paska panen, juga berusaha mengedukasi ibu-ibu setempat untuk tidak menggunakan bahan penyedap kimiawi. Kurang percaya diri atas masakan buatan mereka tentu saja tidak dapat dihindari. Kehadiran bumbu penyedap instan memang sudah mengakar di kultur memasak masyarakat Indonesia, baik itu di kalangan masyarakat urban hinggake masyarakat pedesaan. Mengurangi bumbu penyedap instan tentu menjadi sebuah tantangan yang dihadapi bersama baik dari ibu-ibu KPSKA juga Mantasa selaku lembaga yang mendampingi mereka. Berbagai cara sementara dicoba bersama-sama untuk menggunakan hanya bumbu-bumbu alami dalam proses memasak, diantaranya mulai dari edukasi tentang bahaya penyedap rasa buatan, hingga dari keterampilan memasak yang terus diasah untuk menemukan cita rasa sedap meski hanya dari bahan-bahan alami.

Sementara di balik dapur nampak sebuah kegelisahan yang terus disampaikan antar ibu-ibu, kegembiraan masih nampak saat peserta workshop Disko Tanah menikmati makanan di piring mereka yang penuh dengan aneka sayuran, lauk, dan juga sambal terasi karya Bu Tri. Rasa-rasanya mereka menikmati betul tiap jamuan yang disajikan sejak hari pertama. Jelas saja, menu-menu dari bahan-bahan asing serta cara masak yang berbeda menghadirkan antusiasme sendiri bagi kami yang datang darikota.

Usai mengisi perut dengan berbagai menu hasil olahan ibu-ibu peserta workshop kami kemudian berpamitan untuk kembali ke asalnya masing-masing. Beberapa dari peserta membawa bibit tanaman lokal, mulai dari bibit teh basil, bibit kacang panjang, dan juga sego empok atau nasi jagung untuk oleh-oleh. Keceriaan di wajah peserta workshop terus teringat saat mereka melintasi Dusun Mendira menggunakan mobil dari salah satu anggota Holopis. Begitu juga dengan warga lokal yang juga senang dan berterimakasih atas kunjungan peserta ke dusun mereka, disampaikan lewat salam terakhir dari mereka yang menawarkan peserta untuk tidak bosan atau sungkan datang kembali ke dusun mereka.

Gloria Mario, 2016