Pertemuan Satu (28/4/2015)

Melalui bantuan KUNCI Cultural Studies yang bersedia kami tumpangi, akhirnya kami telah berhasil mengadakan pertemuan bersama dengan para peserta. Sore menjelang malam sekitar pukul 18.30 satu persatu peserta mulai berdatangan. Demi menyambut kedatangan para peserta, kami menyediakan makanan lumayan cepat saji, yaitu tahu goreng Sumedang dan ditemani dengan minuman bersoda. Mungkin karena kelompok ini kajiannya berhubungan dengan makanan, salah satu peserta dengan baik hati membawakan makanan.

Perkenalan singkat

Setelah sekitar empat puluh menit, peserta yang datang hampir lengkap, dan kami pun memutuskan untuk memulainya. Sedikit pengantar disampaikan untuk memperkenalkan kembali Bakudapan dan tema yang kami angkat saat ini. Latar belakang peserta yang beragam dan memang sebagian besar tidak saling mengenal, maka terjadilah pengenalan singkat dari masing-masing peserta, memperkenalkan nama, serta alasan mereka tertarik mengikuti Bakudapan. Menariknya, beragamnya alasan yang membuat para peserta tertarik mengikuti kegiatan pertama Bakudapan ini sendiri. Mulai dari alasan memang hobi makan dan memasak, sampai adanya rasa penasaran kegiatan ini akan melakukan apa saja. Jangankan para peserta, kami sendiri yang menginiasi kegiatan ini dari Bakudapan pun juga merasa penasaran, akan menjadi apa nantinya kegiatan ini.

Selama perkenalan pun terkuak latar belakang peserta yang hadir dan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan. Satu peserta yang berlatar belakang mahasiswa jurusan Teknik Pangan dan Hasil Pertanian mendapat pertanyaan, seperti apa yang sebenarnya mereka pelajari dan apa kaitannya dengan makanan. Selain mahasiswa, terdapat seorang atlet gulat, yang membuat perkenalan awal semakin menarik. Latar belakang peserta yang beragam ini membuat diskusi kami semakin seru saat mulai membahas mengenai fast food.

Berbicara tentang fast food yang jika diterjemahkan menjadi makanan cepat saji, dalam hal ini menjadi sangat luas. Beberapa peserta mengatakan bahwa Nasi Padang, warteg atau warung burjo (sekarang berganti nama menjadi warmindo) juga bisa dikategorikan fast food. Melalui kesepakatan bersama kami membuat batasan tentang tema fast food yang akan kami bahas, yaitu mereka yang memiliki sistem waralaba, baik itu fast food lokal maupun internasional, kategori lainnya adalah bahan makanannya dibuat di satu tempat (pusat), kemudian akan di distribusikan ke cabang-cabang yang mereka miliki.

Berbagi memori dan pengalaman

Catatan selama diskusi di pertemuan satu.
Catatan selama diskusi di pertemuan satu.

Diskusi dimulai dengan membahas sisi gengsi dari mengkonsumsi fast food. Seorang peserta menceritakan mengenai pengalamannya, ada masa saat nongkrong di McDonald’s itu merupakan hal yang mewah, walaupun pengaturan tempat, seperti pemilihan kursi yang tidak nyaman, orang-orang tetap saja tahan berlama-lama. Saat bicara mengenai gengsi dan fast food  sebagai hal yang mewah, maka tidak lepas dari cerita merayakan ulang tahun di waralaba fast food ternama, seperti McDonald’s atau KFC, yang memang menyediakan paket untuk merayakan ulang tahun. Memori-memori tentang rasa iri saat temannya merayakan ulang tahun di McDonald atau betapa senangnya menjadi salah satu undangan ulang tahun di KFC terlontar dari para peserta. Cerita menarik lainnya saat seorang peserta mengungkapkan pengalamannya saat masih kecil, ia berjualan es di sekolahnya, dan uang dari penjualan ini ia tabung untuk membelikan sekeranjang ayam goreng KFC bagi seluruh anggota keluarganya. Baginya, pengalaman itu adalah suatu kebanggaan, karena pada saat itu fast food merupakan barang yang mewah dan baru.

Pengalaman memasuki restoran fast food mulai dari membuka pintunya dan merasakan kesejukan AC, disambut dengan sapa ramah selamat datang dari mbak kasir yang kemudian menanyakan ingin pesan apa, duduk di kursi dalam ruangan dengan interior ceria dan suara musik yang optimis, sembari menikmati ayam goreng tepung yang bumbunya sangat rahasia ini merupakan satu pengalaman mengonsumsi fast food yang sukar dilupakan oleh anak seusia kami dari generasi 80-90an. Melalui pengalaman tersebut, kami merasa memiliki pengalaman yang sama dengan anak-anak di luar negeri, seperti Amerika. Cerita-cerita yang terkait dengan gengsi ini setidaknya merupakan salah satu hasil dari promosi yang dilakukan oleh jaringan fast food ternama, juga sebagai simbol dari modernitas dan globalisasi.

Waralaba fast food yang sudah ternama, terlihat memiliki menu yang hampir sama di setiap negara di mana mereka bertempat, tetapi tidak semua negara memiliki preferensi rasa yang sama. Salah satu strategi pendekatan yang mereka gunakan untuk mendekati konsumen dengan membuat menu yang sesuai dengan latar belakang budaya di mana mereka berada. Salah seorang peserta yang berdarah Minang mengungkapkan bahwa walaupun waralaba fast food sudah menyesuaikan rasanya, tetap saja tidak enak. Menurutnya makanan fast food cenderung hambar, lebih nikmat makanan dari daerahnya yang memiliki rasa yang lebih kaya.

Rangkuman dari catatan di pertemuan satu.
Rangkuman dari catatan di pertemuan satu.

Lalu saat fast food ternama sudah memiliki tempat di hati dan lidah masyarakat, munculnya fast food lokal buatan Jogja dianggap tidak lepas dari kesuksesan pendahulunya. Bakudapan mencoba menelusuri sejarah fast food lokal yang menunya sama dengan fast food internasional; ayam goreng tepung, kentang goreng, hamburger, donat, dsb. Muncul ingatan terdapat masa di mana tepung bumbu instan sempat popular di kalangan ibu-ibu sebagai solusi membuat ayam goreng ala KFC (kentaki) di rumah. “Ekonomis dan rasa boleh diadu,” kata ibu seorang peserta dulu, walaupun ia tetap berpendapat ayam KFC jelas lebih enak. Setelah “penemuan” tepung bumbu instan itu, yang membuat ibu-ibu kurang kreatif, apa saja dibumbu kentaki, mungkin hal ini termasuk cikal bakal lahirnya tahu kentaki. Lalu perbincangan ini pun lanjut membicarakan tentang bagian ayam seperti ceker, kepala, dan usus ayam yang digoreng kentaki.

Kembali ke fast food lokal, menurut beberapa peserta, hal yang membuatnya layak diperhitungkan sebagai pilihan makanan favorit adalah karena harganya yang relatif murah dan rasanya yang hampir mendekati dari versi fast food yang sudah ternama. Misalnya ayam goreng Olive yang dinilai paling mirip dengan ayam goreng KFC dan harganya yang bersahabat dengan kantong mahasiswa. Pembicaraan tentang fast food ini tidak hanya berhenti di seputar rasa makanan itu sendiri, tapi kami juga membicarakan tentang visualisasi dari iklannya, tentang tanggapnya jaringan fast food besar dengan isu makanan sehat dan organik, juga tentang seiringnya pergeseran budaya dan pengetahuan masyarakat yang membuat citra fast food berbeda dari waktu ke waktu.

Saat ini kami sedang memetakan bersama apa saja yang bisa kita bahas dari fast food ini dan kami akan segera kembali dengan update dari project Fast & Foodrious.

*illustrasi gambar: pinterest.com