Pertemuan empat (14/5/2015)

Penulis: Gatari Suryakusuma

Sore ini Bakudapan mempunyai kesempatan untuk membahas pembacaan atas secuil dari tulisan panjang Pierre Bourdieu: A Social Critique of Judgement of Taste. Kami memulai pembicaraan dengan mendiskusikan kata ‘taste’ yang diterjemahkan sebagai selera dan bukan hanya tentang rasa yang bisa dihasilkan dari indera pengecap manusia. Bourdieu membahas kata selera yang berhubungan dengan tiga hal, yaitu dalam makanan, budaya dan presentasi visual yang dihadirkan. Ketiga aspek itu berkaitan, bukan lagi terpisah-pisah menjadi bagian-bagian sendiri yang tidak berkesinambungan. Contohnya, bagaimana orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda memiliki preferensi jenis makanan tertentu, lalu ketika mereka dihadapkan dengan jenis makanan dengan kualitas dan predikat (misalnya : harga, bentuk sajian, maupun tempat disajikannya) yang berbeda dari jenis makanan yang biasa mereka makan akan menghasilkan perilaku berbeda juga. Apakah mereka akan semakin mendekat ke makanan itu dan mampu melahapnya habis atau malah sebaliknya?

Contoh peristiwa itu bisa dibaca bahwa bagaimana sebuah makanan mampu menentukan posisi sosial dari seseorang yang mengonsumsinya, juga sebaliknya posisi sosial seseorang juga bisa dilihat dari bagaimana dia berelasi dengan makanannya. Presentasi visual yang dihadirkan oleh makanan akan membentuk relasi yang berbeda-beda pula terhadap orang yang mengonsumsinya, tergantung dari kelas, latar belakang budaya dan posisi sosialnya.

Pada awalnya kami tertarik untuk membahas pemikiran Bourdieu ini karena ia bicara tentang bagaimana perihal selera bisa menunjukan banyak hal di kehidupan sosial yang lebih luas lagi. Dalam tulisannya, Bourdieu menempatkan satu bahasan tentang pembagian posisi sosial, yaitu profesi seseorang dalam kaitannya terhadap selera, yang dibagi tiga: professional, guru atau kaum intelektual dan buruh yang masing-masing dari mereka memiliki cara, selera dan kebutuhan masing-masing terhadap makanan yang berbeda. Ia menjelaskan bagaimana profesi seseorang menentukan prioritas dalam membelanjakan uangnya terhadap pilihan makanan, penampilan (pakaian, sepatu, dll) dan hiburan (buku, majalah, musik, dll) dengan prosentase dari seluruh gajinya.

Fast Food dan Kaum ‘Borjouis’

Jika kita berbicara tentang fast food maka yang akan ada di pikiran kita adalah tentang tempat makan ala Amerika dan kapitalis. Bourdieu juga membahas tentang bagaimana presentasi atau penyajian dan juga harga akan membentuk nilai dari makanan itu terhadap kelas sosial konsumennya. Dalam kasus fast food, bagaimana image tentang makanan cepat saji ini terbentuk dari visual iklannya, memiliki referensi yang hampir sama satu sama lain. Sedang fenomena fast food lokal yang marak di Yogyakarta, dalam visualisasi iklannya sebagian besar merujuk pada fast food internasional yang lebih mapan. Visual atau penyajian yang seperti ini juga akan berpengaruh terhadap image dan nilai fast food di masyarakat Indonesia yang sebagian besar memiliki pemikiran bahwa segala sesuatu di tempat yang bersih, rapih, terang, dengan pelayanan menggunakan seragam dan cepat saji adalah berasal dari negeri Barat dan menjadi sasaran bagi kaum yang dianggap Borjouis atau kelas menengah.

Sebelum kita berbicara jauh, pada forum sore hari ini kami menyepakati bahwa kaum Borjouis yang dimaksud adalah kaum yang memiliki kemampuan lebih seperti modal, baik ekonomi, budaya maupun sosial dan intelektualitas yang lebih dari yang lain, sehingga mereka memiliki kuasa tersendiri untuk berbicara banyak dalam menciptakan situasi tertentu sesuai dengan apa yang dipikirkan dan diharapakan, mengenai makanan khususnya. Kaum Borjouis adalah kaum yang bisa dikatakan sebagai kaum pencipta dari trend, karena dengan modal yang mereka miliki, mereka mampu menentukan selera pasar dan membuat kaum kelas bawah berlomba-lomba ingin mengalami pengalaman budaya yang sama dengan mereka.

Dalam obrolan ini kami mencurigai adanya pola-pola strategi, atau lebih provokatif lagi disebut resistant dari kelas bawah terhadap kaum Borjouis  dengan adanya bentuk fast food- fast food KW ini.

Mungkinkah sebenarnya adanya fast food KW ini untuk mewadahi keinginan kelas bawah mengkonsumsi fast food dengan menu seperti MCD, Wendys atau KFC yang difasilitasi dengan harga yang lebih terjangkau? Supaya semua orang bisa bahagia walaupun tidak makan di fast food Amerika yang terkenal dengan sistemnya yang tidak ramah lingkungan dan mengupah rendah buruhnya dimanapun restoran itu berada?

Apakah pemilik restoran KW ini yang sepertinya memiliki modal ekonomi, turut menciptakan trend makan fast food KW, atau ia hanya melihat peluang untuk memenuhi hasrat kelas bawah?

Lalu, jika ditempatkan di struktur sosial masyarakat, berada dimanakah para pemilik restoran ini?

Ada banyak pertanyaan dan kecurigaan kami terhadap fenomena ini, yang juga diperjelas oleh Bourdieu ketika dia berbicara tentang makanan-makanan yang biasa dikonsumsi bagi golongan intelektual dan professional, namun tidak bisa didekati oleh golongan buruh yang disebabkan oleh presentasi dari makanan itu sendiri yang “berjarak”.

Fast Food dan Gender

Selain membahas masalah kelas, Bourdieu juga menjabarkan tentang kaitan makanan dan gender, dengan memberikan contoh bahwa laki-laki dari kelas pekerja akan memilih makanan-makanan yang berunsur daging dan suatu bahan makanan yang berunsur keras dan tidak lembut sedangkan perempuan akan cenderung memilih makanan yang berporsi sedikit, lembut seperti daging ikan. Hal ini dielaborasi dengan pertimbangan laki-laki akan cenderung memilih makanan yang mampu menunjukkan kekuatannya dan kejantannya, sedangkan perempuan yang selalu terlihat lembut dan dengan porsinya yang sedikit menggambarkan pekerjaan perempuan yang tidak terlalu keras sehingga tidak membutuhkan makanan dengan porsi yang banyak. Sebenarnya dalam obrolan sore hari itu kami tertarik dengan pemikiran Bourdieu yang memandang porsi banyak sedikit, menu keras atau lembut, lebih karena laki-laki yang lebih ingin terlihat garang dan maskulin sedangkan perempuan yang lebih terlihat lembut dan menonjol sisi feminitasnya bukan lagi tentang kadar nutrisi perempuan dan laki-laki yang berbeda.

Lalu apakah strategi fast food memang disediakan bagi sebagian kaum wanita atau beberapa golongan yang ingin terlihat rapi, tidak berantakan dan bersih dengan jumlah makanan yang porsinya pasti dan akurat?

Satu hal yang ingin kami highlight disini adalah bagaimana Bourdieu mampu menjembatani kita dengan ide bahwa keberadaan  fast food mampu menjadi alat pembacaan sosial yang lebih luas dan bukan hanya tentang rasanya sebagai makanan yang digemari dan banyak ditiru atau strategi jualan yang ingin mendapatkan keuntungan seperti restoran fast food yang sudah terkenal dan memiliki franchise dimana-mana.