Pengembaraan Rasa Seorang Pendekar Kopi

Pendekar. Apa yang terbayang dalam benak anda ketika mendengar kata tersebut? Sosok Bruce Lee kah? Ahli beladiri yang merajai layar kaca di era silam dengan penuh adegan heroik dan mampu melibas lawan-lawannya dengan kostum kuning ikonik miliknya. Atau malah justru terbayang sosok Barry Prima dalam film action lokal yang juga merajai bioskop indonesia di era 70-an? Jagoan yang sanggup memangku tugas dan sering berujung pada kencan dengan wanita cantik. Malah jangan-jangan anda membayangkan yang terdekat semacam pertarungan dalam olahraga Ultimate Fighting Championship, dimana dua petarung jagoan mengadu taji mereka dalam sebuah ring dan menjadi tontonan orang banyak? Ya, tidak ada yang salah dengan semua yang anda bayangkan tadi. Namun, dalam tulisan ini saya bukan ingin berbicara tentang mereka tapi pendekar yang lain, yaitu pendekar kopi.

Budaya dan wacana kopi yang sudah kaya dan semakin ramai dibicarakan belakangan ini memang akan membawa satu bentuk gaya hidup tersendiri dalam masyarakat. Salah satu anekdot yang muncul di dalamnya adalah kemunculan istilah ‘pendekar kopi’. Banyak orang yang disebut sebagai sebagai pendekar kopi oleh kawan-kawan se-perkopian-nya, ataupun dengan bangga melabeli dirinya sendiri dengan istilah pendekar kopi. Namun sebentar, apakah istilah pendekar kopi sudah banyak yang memahami? Mengerti? Atau bahkan mungkin dalam tataran yang paling sederhana, mendengarnya? Saya coba sedikit memaparkan apa yang disebut dengan istilah pendekar kopi dan mari coba sedikit kita lihat dan barangkali kita pahami.

Pendekar. Ya, kenapa pendekar? Kenapa tidak memilih kata ‘musafir’, ‘pengelana’ atau apa kata yang lain? Baiklah, mari kita lihat secara etimologi dan analoginya. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata pendekar dijelaskan sebagai “orang yang pandai bersilat, bermain pedang dan sebagainya.” Terjemahan lain dalam KBBI pun mengatakan bahwa pendekar adalah “orang yang gagah berani, suka membela yang lemah dan sebagainya; pahlawan.” Apabila makna ini ditarik ke dalam konteks kopi, maka tentunya seorang pendekar adalah seorang yang dengan gagah berani membela kopi. Namun apa atau siapakah yang dibela? Kopinya, petaninya atau konsumennya? Apakah ia mewujud dalam seorang aktivis yang membela petani kopi dan mati-matian memperjuangkan harga minimal pada setiap kilogram kopi? Atau mewujud sebagai sosok ahli seduh dan yang canggih dalam menghidangkan kopi dan sering disebut barista atau brewer? Atau malah ia berupa konsumen kopi yang merasa tahu cara megapresiasi kopi dengan segala kosa kata canggih, mulai dari single origin hingga V60?

Mari kita lihat secara analogi. Dalam berbagai bentuk hiburan yang sering kita konsumsi; mulai dari film, majalah, sandiwara radio, ketoprak, hingga buku komik; kita setidaknya pernah menjumpai karakter seorang pendekar. Pendekar dalam wilayah ini selalu digambarkan sebagai seseorang yang melakukan perjalanan. Pengembaraan dalam mengasah ilmunya, baik fisik maupun batin. Melewati rentang waktu tertentu, berproses di dalamnya, mengalami banyak hal, dan mencoba mencari sesuatu yang sifatnya diagungkan. Tak jarang dalam proses itu pun seorang pendekar harus berkonfrontasi dengan banyak hal mulai dari pergolakan batin hingga ke duel fisik dengan seseorang. Seperti itu kurang lebih gambaran seorang pendekar yang sering saya jumpai dalam berbagai media.

Sejauh saya mengamati melalui dua pemaknaan yang telah dipaparkan sebelumnya, kemudian saya mencoba membawanya ke konteks keriuhan budaya dan tren kopi yang ada saat ini. Saya mencoba mengobrol dan mencari informasi kesana-kemari, maka pendekar kopi secara sederhana saya artikan sebagai berikut: “seseorang yang berkelana dan menempuh perjalanan dari satu kedai kopi ke kedai kopi lainnya guna mencari rasa terbaik dalam kopi dan kemudian menikmatinya.” Barangkali pemaknaan saya atas pendekar kopi ini masih sangat subyektif. Masih ada aspek lain yang mungkin belum terlihat oleh saya, ataupun malah ada yang menganggapnya salah sama sekali. Tak apa, karena ini memang pemaknaan yang muncul dari pengalaman personal saya. Namun setidaknya izinkan saya untuk sedikit memberikan gambaran tentang apa yang dimaknai sebagai pendekar kopi.

Dari lain sisi dengan sudut pandang seorang brewer atau pemilik kedai kopi, kadang pendekar kopi terkena cap negatif dengan dianggap sebagai seseorang yang menjengkelkan dengan banyaknya permintaan khusus atas secangkir kopi.

“Mas, saya mau kopi yang prosesnya semi wash dong. Diseduh tubruk saja tapinggak usah di pre infuse dulu yak. Airnya pakai suhu diatas 85 aja, trus nanti bla bla bla…” dan seterusnya.

Kalimat permintaan semacam itu tak jarang ditemui oleh seorang brewer yang berhadapan dengan seorang pendekar kopi. Apabila yang diinginkan seorang pendekar kopi tersebut luput, maka tak jarang keluhan muncul, kopi dianggap tidak enak atau bahkan hingga ke titik ekstrimnya kedai kopi tersebut dianggap tidak layak. Sangat masuk akal memang, dan apabila saya yang berada di posisi seorang brewer atau pemilik kedai kopi pun juga bisa saja merasa malas, jengkel, dan sebagainya.

Gambaran di atas menunjukkan beberapa pemaknaan tentang seorang pendekar kopi. Luasnya khazanah kopi di Indonesia pun juga membawa bentuk-bentuk pemaknaan yang sangat personal. Satu saat, saya berkesempatan untuk membicarakan hal ini dengan kawan ngopi dan bertukar cerita saya, yang memang sering disebut orang sebagai seorang pendekar kopi. Sebut saja namanya Soegawir. Dia senang disebut sebagai seorang pendekar kopi oleh orang di sekelilingnya. Alasan dia senang ternyata sangat sederhana ketika saya tanya.

“Ya karena memang di sinilah posisiku. Aku sadar dengan posisiku yang masih hanya bisa sekedar menikmati kopi dan berbagai rasa di dalamnya. Karena masih hanya bisa menikmati maka ya ini yang bisa kulakukan dalam mengapresiasi. Tidak ada tanggung jawab moral lain seperti ketika kita sudah menyandang status sebagai seorang brewer, roaster, cupper, atau yang lainnya. Ini caraku mengapresiasi kopi dan orang-orang di sekitarnya.”

Dalam menjalankan hal yang dia sebut sebagai tanggung jawab, Soegawir pun juga memiliki filosofi yang dalam penglihatan saya terasa mirip seperti seorang pendekar di film-film. Soegawir menjelaskan bahwa seorang pendekar kopi pun juga harus bisa bersikap seperti padi. Semakin merunduk ketika banyak ilmunya dan tidak jumawa.

“Seorang pendekar kopi itu pun juga harus tau karakter rasa dari varian kopi yang diinginkan itu seperti apa, baru boleh bereksperimen lewat permintaan. Jangan lantas enggak ada pemahaman yang baik, tapi mintanya aneh-aneh, trus kalo enggak cocok, menyerang barista. Ya itu sama aja aneh.”

Soegawir menganggap bahwa seorang pendekar kopi itu lebih ke sebuah kapasitas diri dalam mengapresiasi kopi. Sebuah kapasitas ilmu dan kesadaran diri serta bukan semata sebutan. Seorang pendekar kopi menurut Soegawir juga harus bisa bersifat seperti kopi itu sendiri; senantiasa bisa menyerap ilmu dari sekitar, serta bisa menghadirkan rasa nyaman untuk sekitarnya.

Pemaparan di atas dan sepenggal cerita tentang Soegawir saya harap sedikit banyak memberikan gambaran tentang apa itu yang dimaksud dengan seorang pendekar kopi. Seseorang yang mengembara mencari kenikmatan rasa dari hal yang dicintainya. Dalam amatan saya, tak hanya di kopi. Dalam benda apapun yang telah menjadi komoditas dan bagian dari kehidupan konsumsi masyarakat, pencarian kenikmatan dan rasa itu akan selalu ada. Sosok seperti Soegawir dan pendekar dalam tempat lain pun juga ada.

Bagoes Anggoro. 2016