Pengantar Proyek : Tasting Others / Mencicipi yang Lain

Pembahasan tentang area Prawirotaman di Yogyakarta ini dimulai sejalan dengan proyek “Beyond Prawirotaman: Dari Prajurit, Penjual Batik Hingga Kedai Pizza” yang digagas oleh Rosvita, seorang seniman dan Via Via café. Mereka kemudian mengajak kami Bakudapan serta beberapa seniman dan sejarawan lain untuk ikut terlibat. Proyek yang dimulai pada bulan November 2016 ini awalnya memang ingin memetakan sejarah Prawirotaman yang sempat dikenal sebagai tempat tinggal prajurit Prawirotomo, yang kemudian berganti menjadi daerah industri batik di tahun 70-an. Terakhir, wilayah ini dikenal sebagai area turis asing di Yogyakarta dengan bertaburnya homestay, restoran, travel agent serta bisnis turisme lainnya.

Sebagai kelompok yang fokus pada tema makanan, kami memiliki kegelisahan tersendiri melihat geliat dan perkembangan restoran, café, bar di area Prawirotaman ini. Area yang kini dirasakan sebagai area turistik, di mana banyak terdapat bisnis kuliner dengan menu yang beragam dan berganti-ganti dengan cepat, menjadi bisnis utama diruas jalan ini. Misal dalam kurun 3 tahun seorang pemilik restoran dapat mengganti konsep, nama, dan menu restorannya, dari restoran India, Western kemudian Indonesia, sesuai kebutuhan pasar. Memang tidak ada yang salah dengan hal tersebut dalam kacamata bisnis, tetapi menurut kami hal ini menunjukan bagaimana restoran dan makanan hanya dilihat sebagai salah satu atraksi budaya dan kepentingan ekonomi saja. Lewat proyek ini, kami tidak hanya menelusuri kembali sejarah dan perkembangan Prawirotaman, kami juga ingin merajut narasi yang  menunjukkan arah kemana kebudayaan kita berjalan.

Makanan merupakan salah satu faktor penting dalam industri pariwisata. Dengan banyaknya restoran dan bisnis kuliner asing maupun yang fokus pada etnik tertentu di Prawirotaman menunjukan bahwa perihal aktivitas makan hari ini merupakan sesuatu yang sangat kompleks, apalagi dalam khasanah turisme dan pengalaman budaya akan makanan asing. Istilah makanan asing di sini mengacu pada relasi makanan dengan geografi suatu wilayah tertentu, termasuk asal muasal, bagaimana makanan tersebut menjadi bagian dari budaya setempat dan seterusnya. Asing dan tidaknya makanan tergantung konsep tempat dan waktu di mana ia dikonsumsi. Misalnya di restoran-restoran di Prawirotaman, makanan Jepang, Italia dan Western dapat dikategorikan makanan asing oleh konsumen Indonesia, sedang masakan Jawa Timur, Gudeg dan Pecel dapat dikategorikan makanan lokal oleh turis non Indonesia.

Sehingga sangat jelas bahwa makanan memiliki relasi kuat dengan geografi wilayah tertentu. Tidak bisa dipungkiri, kerap kita mendengar makanan yang diklaim otentik berasal dari daerah tertentu. Sebenarnya Hubungan makanan dengan tempat telah banyak dibahas, lewat berbagai teori, mulai dari kolonialisme, migrasi hingga globalisasi. Tentu saja hubungan antara makanan, tempat, beserta orang-orang yang terlibat di dalamnya tidak pernah sederhana dan selalu merupakan konstruksi sosial. Misalnya seperti pasta yang lebih dikenal sebagai makanan yang otentik dari Italia, padahal menurut beberapa literatur ia pertama kali dibuat di China.[i] Fakta tersebut menunjukkan perihal ke-ontetisitas-an makanan perlu dikritisi kembali.

Dalam konteks globalisasi, pertukaran budaya terjadi secara kompleks, chaos dan multi-temporer. Di saat yang sama, globalisasi juga memunculkan kelokalan, yang bisa kita temukan dalam pengembangan bisnis makanan. Kelokalan ini kemudian merujuk pada apa yang biasa disebut makanan otentik dan menjadi salah satu aspek yang ditonjolkan. Kita bisa melihat maraknya berbagai ragam menu yang ditawarkan di sepanjang jalan Prawirotaman, mulai dari rawon Jawa Timur, es krim gelato Italia, pancake Perancis, hingga masakan Thailand. Juktaposisi makanan-makanan khas dari seluruh dunia ini melambangkan keragaman yang dianggap bersifat global dan serta merta semakin menggambarkan eksotisasi akan makanan lain.

Menyantap makanan asing, secara harfiah dapat dilihat sebagai bentuk mengkosumsi yang Liyan, di mana merupakan salah satu unsur performativitas dalam perihal kosmopolitan yang memiliki karakter akan keterbukaan dan toleransi terhadap perbedaan. Menjadi warga yang kosmopolit sering dianggap merupakan bagian dari bentuk globalisasi yang sudah terlalu sering kita dengar lewat berbagai media.

Selain itu kami juga melihat geliat Prawirotaman dalam pariwisata kuliner lokal, baik pengunjung dari luar Yogyakarta seperti Jakarta, Bandung, Semarang, maupun orang Yogyakarta sendiri yang dengan sengaja memilih untuk makan di area tersebut. Dari pengamatan singkat kami, dengan adanya bentuk media sosial yang semakin marak untuk menyalurkan hasrat menampakan diri dengan kehidupan sosialnya, menjadikan perilaku ini tidak lepas dari pengalaman makan di Prawirotaman.

Dengan demikian wisata kuliner sering hanya dilihat sebagai bentuk “performative” kosmopolitan para turis maupun warga lokal Yogyakarta sendiri terhadap kuliner lokal atau asing, daripada tentang budaya serta masakan yang dimakan. Lebih jauh hal ini dapat dianggap sebagai fetisme komoditas di mana pengalaman makan tersebut digunakan sebagai ajang menunjukan identitas dan status sosial dari kelas tertentu.

[i] Toussaint-Samat. 2009. A History of Food. Hal. 170

Elia Nurvista

Gambar oleh Irindhita Laras (Ayas)