*

Pekan Membaca Bakudapan #2: Bagaimana Membicarakan Isu Pangan dalam Berbagai Kelas Masyarakat?

Sore itu kami mengadakan Pekan Membaca Bakudapan yang berangkat dari artikel berjudul “Is Sustainability only for the Privileged?” yang kami akses lewat laman http://www.resilience.org/. Artikel ini ditulis oleh Lucie Bardos, seorang mahasiswa program master yang sedang meneliti mengenai Transition Town Movement. Transition Town Movement adalah komunitas akar rumput yang bertujuan meningkatkan swasembada dan kemandirian dalam rangka mengurangi efek peak oil[1], kerusakan iklim dan ketidakstabilan ekonomi. Inisiatif ini awalnya bermula di Inggris tahun 2006 dengan nama Transition Town Totnes, yang kemudian juga menjalar ke beberapa negara lain di Eropa, Amerika Utara dan Australia[2].

Kami, atau paling tidak saya pribadi, merasa bahwa artikel ini cukup relevan dan bisa dijadikan pemantik serta jalan masuk membicarakan kaitan gerakan yang fokus pada lingkungan dan pangan dengan kelas sosial. Dalam tulisan ini, Lucie berangkat atas kecurigaannya dengan kelompok tersebut karena anggotanya yang cenderung berasal dari kelas yang sama dan tidak memperlihatkan representasi ragam kelompok yang eksis dalam mayarakat. Dengan sebagian besar anggota transition movement yang merupakan warga kulit putih, kelas menengah, dan terpelajar, Lucie mencurigai apakah kelompok ini kemudian sengaja menghindari topik-topik yang tidak nyaman dalam membicarakan isu-isu yang menyentuh kaum imigran, marjinal, kulit berwarna, dan juga kaum kelas bawah.

Setelah melakukan wawancara dengan beberapa orang terkait yang pernah bekerja dengan transition movement, terutama para aktivis yang fokus pada bidang kedaulatan pangan, feminis anarkis, serta indigenous dan imigran dari kelompok marjinal, hampir semua mengekspresikan perasaan teralienasi. Salah satu penyebab perasaan teralienasi ini terjadi karena dorongan halus dari gerakan transition movement untuk mengubah penggunaan bahasa mereka untuk lebih “positif”. Hal ini membuat perasaan tidak nyaman dan tereksklusi yang menyebabkan banyak aktivis kaum marjinal ini berhenti menjadi anggota.

Di lain sisi, Lucie pun mewawancarai anggota transition movement yang mengemukakan perasaan sebaliknya. Beberapa dari mereka menyatakan merasa tidak nyaman dengan penggunaan bahasa oleh kelompok aktivis ini. Mereka merasa kelompok marjinal ini lebih menyerukan tentang “kemarahan dan protes” dibanding apa yang mereka sasar, yaitu “solusi positif” dan juga slogan “dunia yang lebih baik bagi semua orang”. Di sinilah Lucie mulai melihat perbedaan atau gap dalam cara mengekspresikan dan membicarakan isu sosial dalam kelas yang berbeda. Meskipun isu-isu yang mereka sasar kurang lebih sama, tetapi gerakan transition movement seolah terlihat basa-basi, menghindari membahas isu-isu yang mempertegas previlese kelas menengah, dan penggunaan bahasa yang semakin menunjukan jurang perbedaan antara gerakan tersebut dengan gerakan akar rumput lain.

Hal lain yang juga ditekankan oleh Lucie Bardos adalah permasalahan bahasa. Ia  menggunakan contoh pada penggunan kata “sustainability” atau keberlanjutan. Apakah isu tentang keberlanjutan ini hanya menyentuh orang-orang dengan previlese tertentu? Atau bahwasanya isu tentang keberlanjutan ini sebenarnya terjadi dalam semua lapisan kelas sosial, hanya saja dibahasakan dengan berbeda dan ditanggulangi dengan strategi yang berbeda pula? Jika isu keberlanjutan ini mengangkat persoalan yang sama, apakah juga memiliki kegentingan dan kedalaman yang sama di antara kelompok-kelompok masyarakat? Kelompok masyarakat mana yang paling rentan dengan isu-isu ini?

Berbicara mengenai isu keberlanjutan yang lebih luas dan sehubungan dengan hak istimewa kaum tertentu, Lucie juga mempertanyakan apakah keberlanjutan adalah tentang mempertahankan hak-hak semua manusia, termasuk hak untuk berbagai bentuk ekspresi, misalnya kemarahan?

Saya kemudian mengaitkannya dengan situasi yang terjadi disini. Saat ini kami sedang melakukan observasi terhadap gerakan-gerakan pangan yang mengangkat isu tentang kedaulatan dan kemandirian pangan, pertanian selaras dan berkelanjutan, makanan organik dan lokal, fair trade, dan berbagai istilah lainnya. Sejatinya apa yang menjadi permasalahan dan kepedulian kelompok-kelompok ini menyasar pada isu yang sama atau minimal saling beririsan, yaitu tentang keadilan dan akses pangan pada setiap orang. Tetapi saya juga menduga bahwa bagaimana isu ini dibicarakan dan disebarluaskan ke tengah masyarakat juga memiliki problem serupa dengan transition movement yang diulas Lucie Bardos.

Contoh yang bisa saya rasakan sejauh ini adalah mengenai isu swasembada dan kedaulatan pangan. Tentu saja lebih globalnya isu ini dapat berbicara tentang sustainability atau keberlanjutan. Isu tersebut dalam sebagian kelompok masyarakat saat ini coba dijawab dengan berbagai cara dan medium. Mulai dari permakultur atau menanam makanan dalam halaman belakang rumah kita sendiri, dengan metode yang selaras dengan alam, tanpa pestisida dan menerima apa yang alam beri sesuai musim. Walaupun dalam praktiknya, gerakan ini dirasa lebih menyasar pada kelas masyarakat yang memiliki lahan dan waktu cukup untuk kegiatan menanam ini.

Saya kira, banyak warga yang berpenghasilan pas-pasan dan tidak punya banyak waktu luang sebagai pekerja, merasa lebih mudah memenuhi kebutuhan pangan dari pasar tradisional yang ada. Apalagi mengingat bagaimana metode permakultur ini disebarluaskan lewat kelompok-kelompok elit dan beberapa berakhir dengan membuka restoran yang menunya berasal dari produk permakultur dan harganya lebih mahal daripada warung biasa, membuat gerakan ini semakin eksklusif.

Saya membayangkan jika saya berbicara metode permakultur kepada tetangga-tetangga nenek saya di Cebongan sana yang masih berprofesi sebagai petani, mungkin mereka semua merasa asing dengan istilah ini, walaupun bisa jadi mereka sudah mempraktikannya. Apalagi jika disuruh memelihara ikan dengan sistem aquaphonik.

Sementara itu, kembali membahas mengenai usaha-usaha swasembada pangan ini, kemudian terbentur permasalahan keterbatasan lahan terutama bagi penduduk di kota besar yang tidak punya tempat dan kemudian melahirkan metode urban farming. Banyak gerakan atau kelompok yang mendorong agar penduduk di kota-kota besar menanam tanaman, seperti sayuran dan tanaman bumbu sebagai bentuk aksi bahwa mereka mampu memproduksi sendiri untuk kebutuhan konsumsi mereka. Keterbatasan lahan disiasati dengan menanam secara vertikal dalam pot-pot kecil yang trendy dan mungkin saja lebih berfungsi sebagai dekorasi. Istilah urban farming ini kemudian sering diterjemahkan secara sederhana seperti menanam selada, cabai atau sayuran lain di rooftop bangunan mewah di kota. Padahal secara definisi menurut FAO :

Urban farming atau pertanian urban adalah sebuah industri yang memproduksi, memproses, dan memasarkan produk dan bahan bakar nabati, terutama dalam menanggapi permintaan harian konsumen di dalam perkotaan, yang menerapkan metode produksi intensif, memanfaatkan dan mendaur ulang sumber daya dan limbah perkotaan untuk menghasilkan beragam tanaman dan hewan ternak.”[3]

Urban farming ini kemudian juga melahirkan gerakan-gerakan lain seperti “foodies”, “locavores”, “organic growers” yang tumbuh dan berjejaring di berbagai kota-kota di dunia, terkadang tanpa melihat kembali konteks lokal yang ada. Misalnya seperti istilah permakultur atau sistem pertanian terintegrasi antara tanaman dan ternak serta berdasarkan ekosistem alam yang sebenarnya sudah dikembangkan sejak dahulu oleh leluhur kita dengan nama wanatani, atau para penjual pisang di pasar tradisional yang menjual hasil panennya tanpa tahu kalau produknya dijual di Kemang Jakarta tentunya akan diserbu para “locavores”. Kemudian bagaimana istilah-istilah ini dijadikan slogan gaya hidup terbaru sebagai usaha untuk menunjukan kita sebagai kelompok masyarakat yang tanggap akan masalah-masalah pangan terkini, justru terkadang mempertajam disparitas antar kelas.

Selain itu hal ini terkadang malah menunjukan kegagapan kita terhadap isu-isu pangan yang sebenarnya terjadi dan mengancam kita. Tentu saja isu dan permasalahan pangan akan sangat berbeda dan beragam kasusnya berdasar kondisi sosial dan geografis masyarakatnya. Kita lalu merasa cukup bangga dan seolah memiliki sumbangsih terhadap masalah kedaulatan pangan dengan cara membeli sayuran dengan label lokal dan organik di supermarket, atau meminum kopi di kedai kopi yang mengusung istilah fair trade terhadap petani kopinya, atau kita merasa sudah menjalankan praktik anti kapitalisme pangan hanya karena memakan salad yang sayurannya dipetik dari kebun sendiri.

Saya teringat akan sebuah berita yang sempat saya baca beberapa waktu lalu tentang warga di pesisir Kulon Progo yang melakukan aksi membagi hasil bumi mereka berupa sayur-sayuran kepada orang-orang yang melintasi Jalan Daendels[4]. Aksi ini dilakukan dalam rangka menolak pembangunan bandara di Kulon Progo yang merupakan lahan tempat mereka tinggal dan bekerja sebagai petani. Sangat jelas bahwa yang sedang mereka perjuangkan menyangkut tentang ketahanan pangan dan sustainability, meskipun tanpa menyebut istilah tersebut dalam pergerakan mereka. Mereka berjuang setiap hari dengan cara berdemo, aksi solidaritas, membangun posko untuk mengorganisasi gerakan dan sebagainya sebagai ekspresi dari kemarahan atas pengurangan hak mereka terhadap lahannya. Beberapa pilihan cara mengekspresikan kemarahan mereka memang terasa lebih agresif dibanding gerakan menanam sayur di kebun belakang.

Isu keberlanjutan yang jelas-jelas berhadapan dengan isu pembangunan yang tidak manusiawi ini tentu lebih rentan dan mendesak untuk ditanggulangi bersama. Tetapi saya merasa bahwa isu ini tidak sepopuler dalam wacana keadilan dan akses pangan seperti halnya isu tentang pertanian organik maupun kesejahteraan petani lewat istilah “fair trade”. Apakah mungkin karena isu-isu tentang akses pangan saat ini banyak didominasi kelas menengah dan strategi mereka meluaskannya dengan membentuk jaringan antar kota di dunia, membuatnya cukup mudah dijadikan keresahan bersama? Sedang isu pembangunan bandara atau pembukaan lahan tambang yang terasa sangat local ini hanya menyerang sebagian kecil kelompok?

Saya kemudian jadi bertanya lagi, apakah saat ini gerakan dan aktivisme tentang pangan memang bergerak secara parsial dan terkotak-kotakkan antar kelompok dan kepentingan? Mungkin sekat yang terjadi bukan lagi mengenai batas geografis atau etnis tapi lebih kepada perbedaan sosial dan ekonomi antar kelas.

Elia Nurvista, 2016

*Gambar ilustrasi merupakan hasil karya penulis.

Catatan Kaki
[1]Peak oil adalah istilah untuk menggambarkan situasi ketika ekstraksi minyak bumi mencapai titik maksimum pada suatu ladang pengeboran minyak bumi. Setelah mencapai peak oil, ekstraksi pengeboran minyak bumi tersebut akan menurun yang menggambarkan penipisan cadangan minyak bumi di ladang tersebut. Sumber https://en.wikipedia.org/wiki/Peak_oil. Diakses 21 Juni 2016.
[2]https://en.wikipedia.org/wiki/Transition_town, Diakses 21 JUNI 2016.
[3] https://en.wikipedia.org/wiki/Urban_agriculture
[4] Berita selengkapnya dapat diakses melalui http://selamatkanbumi.com/tolak-pembangunan-bandara-warga-pesisir-kulon-progo-aksi-bagi-hasil-bumi/