Pekan Membaca Bakudapan #1: “Like Your Labels?”

Saat mengendarai sepeda motor di jalanan Kota Yogyakarta, sering saya temui baliho besar yang memaparkan fakta-fakta mengenai kulit manusia, baik itu kulit wajah maupun kepala. “Sinar biru ini dapat mempercepat mematikan jerawat dan membuat kulit mulus seperti semula”, itu adalah salah satu contoh baliho yang seringkali saya temukan di jalanan. Karena terlalu sering melihat iklan tersebut, saya sampai percaya bahwa kulit yang memang indah itu adalah yang bebas jerawat, selain karena kulit saya sendiri memang berjerawat. Berbagai cara saya coba untuk mendapatkan kulit indah itu, seperti bereksperimen dengan berbagai produk kecantikan, maupun pergi ke dokter kulit, dan petualangan saya dalam pencarian kulit indah pun masih berlangsung. Petualangan saya ini tidak murah, cukup dapat membuat uang saya menipis.

Pengalaman saya dengan kepercayaan akan kulit indah itu sebenarnya membawa saya pada kecurigaan akan narasi-narasi yang melekat pada makanan yang berlabel organik, natural, non-GMO, dan teman-temannya. Memang terlihat tidak saling berkaitan secara langsung, tapi saya akan coba menjelaskannya. “Sayuran kangkung yang segar dan ditanam secara alami ini diolah langsung oleh petani-petani bahagia di sebuah dataran tinggi kaki gunung Merbabu”. Kalau membaca kalimat tersebut saya sendiri langsung memiliki imajinasi bahwa kangkung ini memang segar dan alami, bahkan lebih segar dari kangkung yang baru turun dari mobil saat subuh di pasar tradisional. Jujur, saya juga membayangkan situasi para petani yang bahagia sambil bernyanyi di ladang sedang menanam kangkung. Bayangkan betapa lezatnya kangkung tersebut saat dimasak. Kemudian bayangkan berapa harga yang harus dibayarkan. Bagaimana kalau harga kangkung tersebut ternyata 30,000 rupiah.

Kalau untuk urusan kulit indah saya rela untuk membayar mahal walaupun itu berarti saya juga termakan oleh narasi yang dibangun oleh suatu merek perawatan wajah. Kemungkinan, kebutuhan pribadi saya sendiri lebih utama kepada perawatan wajah, bukan mengenai makanan yang ditanam secara organik. Perasaan tidak butuh akan makanan organik dan alami kemudian membuat saya bertanya-tanya. Mengapa kangkung yang ditanam bahagia dan alami berhak memiliki nilai yang lebih mahal dibandingan dengan kangkung yang dijual begitu saja tanpa ada cerita? Apakah ada perbedaannya kangkung yang dijual dengan narasi dan tidak? Seperti kangkung yang ada di pasar tradisional.

Kecurigaan yang juga menjadi ketertarikan saya ini lalu saya bicarakan melalui kegiatan Pekan Membaca Bakudapan. Untuk Pekan Membaca Bakudapan kali ini, saya memilih artikel dari jurnal Gastronomica[i] yang berjudul “Like your labels?” ditulis oleh Michele Field. Artikel ini menuliskan mengenai label-label yang biasa terdapat pada makanan, seperti fat contents, weight, organic, natural, local, sustainable, dan lainnya. Field memiliki asumsi bahwa terdapat dua jenis konsumen, mereka yang peduli akan label dan narasi yang dibangun, dengan mereka yang tidak tahu atau tidak peduli dengan semua itu. Mereka yang peduli akan label dan narasi yang terdapat pada sebuah produk dikarenakan mereka merasa membutuhkan suatu bentuk pembuktian atas barang yang akan mereka konsumsi. Melalui asumsi Field ini, dia kemudian memaparkan hasil refleksinya dari lapangan dari beberapa label.

“In the world of food, perhaps the counterpart is the person who buys based on the prestige of a brand rather than according to the words that appear on a label; label eater” has a nice acid to it. Label-eating” makes the purchaser feel better about herself in the same way that buying the best” brand once did. Labels can reassure the buyer that her choice was astute, both nutritionally and environmentally.” (Field, 2010)

Kutipan di atas bisa dikatakan adalah salah satu bagian yang saya anggap menarik dan membuat saya memilih bacaan ini sebagai pengantar dari diskusi atas kecurigaan saya di awal. Jika kembali ke pambahasan mengenai kulit indah, saat saya memilih merek tertentu untuk perawatan kulit saya, saya merasa menjadi pribadi yang lebih baik, karena merek yang saya pilih memiliki narasi yang paling mewakili keinginan dan perasaan saya. Namun, saat itu berkaitan dengan makanan saya akan lebih cenderung curiga, merasa tertipu, dan mungkin sinis dalam mempertanyakan kepentingan dan kebenaran dari setiap narasi yang ada.

Saya tidak merasakan saya menjadi pribadi atau anggota masyarakat yang baik saat membayar 10.000 rupiah lebih mahal untuk seikat kangkung, demi produk dengan label organik dan akan menyejahterakan petani. Justru yang timbul berbagai pertanyaan seperti, petani yang mana?, menyejahterakan dalam bentuk seperti apa?. Dengan penghasilan saya yang sekarang ini, akan sulit rasanya berkomitmen untuk mengonsumsi makanan dengan narasi yang seolah membuat citra saya menjadi pribadi yang lebih baik. Oleh sebab itu, saya merasa narasi yang dilekatkan setiap barang, khususnya dalam hal ini produk makanan organik dan alami, hanya membuat mereka menjadi lebih mahal.

Saat bacaan ini kemudian dilemparkan pada sesi Pekan Membaca Bakudapan, muncul komentar-komentar menarik terkait dengan bahasan ini. Saya kemudian merangkum dari isu-isu yang muncul selama diskusi berlangsung ke dalam tiga poin bahasan, yaitu keamanan, pengetahuan, dan pasar. Berbicara mengenai keamanan, berarti terkait juga mengenai ketakutan. Ketakutan ini dicurigai berasal dari pertanyaan “darimana asal makananmu?” Ketika pertanyaan tersebut timbul, akan ada keraguan apakah sayuran yang dimakan ini benar-benar sehat? Bagaimana kalau sayuran ini ditanam dengan pestisida? Penyakit apa yang akan muncul nantinya? Ketidaktahuan akan asal dari bahan-bahan makanan inilah yang kemudian turut serta berkontribusi dalam terbangunnya sebuah narasi. Maka, saat kalian membeli produk organik, mereka akan memaparkan asal dari setiap barang yang dijual, seperti daerah, suhu, ketinggian, dan kondisi tanah di mana mereka ditanam.

Namun semua tidak berhenti di sana, tidak hanya informasi akan asal bahan makanan, tetapi kemudian berujung kepada informasi akan “kebahagiaan” dari petani yang menanam. Apakah sayuran yang saya makan ini menyejahterakan petani? Narasi yang dibangun tidak hanya berkaitan dengan alam, tetapi juga pribadi yang menanamnya, dan harga yang disematkan pada produk tersebut pun dirasa pantas untuk menjadi lebih mahal.

Jika suatu produk organik ini memiliki harga yang mahal, maka siapa konsumen mereka? Dalam diskusi Bakudapan, saya menduga bahwa kelas dengan tingkat ekonomi menengah ke atas adalah konsumen yang mampu mengakses produk dengan narasi yang sangat detail ini. Saat hanya kelas tertentu saja yang dapat mengonsumsinya, saya curigai ini terjadi karena adanya gap pengetahuan. Saya merasa kelas ekonomi menengah ke atas merasa perlu mengonsumsi produk yang jelas asal usulnya karena mereka memiliki akses untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan mengenai isu-isu makanan. Saat akses mereka miliki, maka kepentingan untuk mengonsumsi produk tersebut menjadi hal yang utama dan permasalahan harga tidak menjadi pertimbangan utama. Sedangkan bagi mereka yang memiliki tingkat ekonomi rendah, hargalah yang menjadi pertimbangan utama bagi mereka, tidak peduli seberapa panjang dan baik narasi yang ada pada suatu produk.

Saya menjadi semakin curiga dan terkadang merasa terganggu saat suatu produk bisa menjadi lebih mahal hanya dikarenakan sebuah narasi yang dimilikinya. Produk-produk yang memiliki label organik misalnya, hanya dengan tulisan ‘organik’ dan kemudian ditambah dengan narasi mengenai latar belakang produk tersebut, sebuah kangkung akan dihargai menjadi 20.000 Rupiah. Menariknya, korporasi pun mencontoh metode pemasaran produk mereka dengan menyematkan narasi atau bahkan mereka juga memproduksi produk-produk organik. Harganya? Tetap lebih mahal dibandingkan dengan harga produk serupa tanpa narasi dan label apapun. Namun, bukan berarti saya tidak menaruh rasa curiga terhadap pasar alternatif[ii] yang menjual produk-produk langsung dari petaninya dengan narasi-narasi dan label organik serta alaminya yang juga tak lupa disematkan. Di pasar alternatif ini terkadang sering pula ditemui produk yang harganya cukup mahal jika dibandingkan dengan yang ada di pasar tradisional. Lalu, apa perbedaanantara produk organik yang dijual oleh korporasi dengan pasar alternatif saat harga, narasi, label yang dimiliki serupa?

Akhirnya saya menjadi bingung dan curiga kepada diri saya sendiri. Sebagai konsumen saya merasa curiga dan sinis terhadap produk yang hanya dengan modal narasi dan label ‘organik’ berhak dihargai lebih mahal. Rasa curiga dan sinis ini juga mengarah kepada kelas menengah ke atas yang menjadi sasaran, di mana mereka dengan mudah membeli dengan alasan karena mereka memang membutuhkan produk tersebut atau produk tersebut penting. Lalu apa bedanya kelas menengah ke atas itu dengan saya? Saya merasa tidak masalah saat membeli produk perawatan wajah yang diproduksi oleh baik korporasi maupun pasar alternatif. Asumsi saya, saya merasa tidak masalah saat itu berkaitan dengan kepentingan individu dan sah saja karena itu kebutuhan pribadi. Mungkinkah ini juga motif yang dimiliki oleh kelas menengah ke atas saat mengonsumsi produk dengan label organik dan narasi yang dibangun? Sampai saat ini kebingungan itu masih ada dalam kepala saya dan bisa dikatakan menjadi ketertarikan saya untuk proyek Independent Food oleh Bakudapan ini.

Khairunnisa, 2016

Catatan kaki:
[i]http://www.jstor.org/stable/10.1525/gfc.2010.10.1.91?seq=1#page_scan_tab_contents
[ii]telah dibahas sebelumnya pada tulisan mengenai Pasar Kamisan
Sumber gambar: http://www.everydayhealth.com/diet-nutrition/meal-planning/shopping/how-do-your-choices-stack-up.aspx