Ngeramban #1 : Peran Perempuan dan Politik Pangan

Ngeramban adalah salah satu kegiatan dan wadah di Bakudapan untuk bertemu dengan orang-orang dari berbagai latar belakang, yang utamanya bukan pangan, untuk mencari ilmu dan silang referensi. Karena kami ingin memperbanyak perspektif kami soal melihat pangan dan kaitannya dengan bidang-bidang kajian lain. Ngeramban sendiri artinya adalah mencari dan memetik daun-daunan untuk sayur dan lalap dari kebun atau mana saja, yang biasanya dimakan mentah. Maksud kami menggunakan terma ini, karena setelah proses ngeramban ilmu ini, kami akan ‘memasaknya’ lewat hal yang menjadi fokus kami, yaitu kajian tentang pangan.

Beberapa waktu lalu, Bakudapan sempat terlibat pada peluncuran album Dialita, kelompok paduan suara perempuan eks-tapol 65. Dalam acara launching album tersebut, kami memasak dan menyediakan snack khusus untuk penonton dari bahan-bahan yang menurut wawancara singkat dengan mereka, mengingatkan akan suasana hiruk pikuk 65. Ada bulgur yang merupakan sejenis gandum sumbangan dari Amerika karena kurangnya pasokan beras. Ada sintrong yang saat ini sudah jarang dimakan dan dijual di pasar. Ada bluntas yang nasibnya sama seperti sintrong, dst.

Berangkat dari pengalaman tersebut, kami kemudian ingin meneruskan untuk mencari tahu situasi seperti apa yang terjadi pada kisaran tahun tersebut dan yang ada hubungannya dengan politik pangan. Kemudian kami ikut terlibat dalam program residensi dan festival OK. Video yang memiliki tema besar pangan dan rezim. Kami bersama beberapa kolaborator ingin meneruskan riset kami yang fokus pada politik pangan dan 65. Kami pun mulai membaca artikel, buku serta menemui orang-orang yang bisa memberi gambaran serta pengalaman atas situasi kurun waktu tersebut.

Salah satu yang kita temui adalah Ibu Ita Fatia yang kebetulan ibu dari anggota Bakudapan, Nisa. Beliau adalah feminis dan telah banyak bekerja sebagai aktivis pembela HAM terutama untuk kasus-kasus pelanggaran HAM perempuan, seperti korban ‘65 serta ‘98. Saat berbincang dengan bu Ita, kami mulai masuk melalui perspektif para eks Tapol perempuan dan juga bagaimana cara mereka memenuhi kebutuhan pangan selama di dalam penjara. Bu Ita sempat mengingatkan agar kami tak mengeksotisasi perihal tapol dan mampu melihat situasi paceklik pangan dengan perpektif yang lebih luas dan mendasar. Berikut apa yang bisa kita tangkap dari acara Ngeramban sore itu.

Latar belakang sejarah suasana politik dunia di kisaran tahun 1955-1965

Di tahun 1955 Soekarno, dan beberapa tokoh di seluruh negara Asia-Afrika menggagas gerakan New Emerging Force. Sederhananya, implikasi dari gerakan tersebut salah satunya dipraktekkan lewat menolak sistem impor pangan dan memaksimalkan produksi pangan hanya dari bumi Indonesia. Ia bercita-cita menyingkirkan semua bantuan ekonomi luar negeri, dan memaksimalkan dari hasil bumi Indonesia untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Maka, bertumbuhlah industri-industri rumah tangga (industri terkecil) yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan scoope lokal dari masing-masing daerah.

Kenapa menolak impor? Jelas karena menolak sistem kolonialisme gaya baru lewat perusahaan multinasional yang berwatak kapitalis. Soekarno ingin Indonesia memiliki pilar ekonomi dan pilar politik yang mandiri. Disini bu Ita membahas soal idealisme nasionalis ini juga melalui peran perempuan. Mengapa perempuan? Mengapa Dapur yang menjadi perhatian kita menelusuri lagi sejarah ekonomi dan politik negara dalam kaitannya dengan sejarah pangan era itu? Dalam skala terkecil, dalam rumah tangga tentunya memiliki dapur sebagai pusat konsumsi sehari-hari keluarga. Saat itu Soekarno mencanangkan apa yang disebut : ‘Strategi politik Ekonomi Dapur’. Lewat strategi ini, Soekarno mengajak para perempuan yang dianggap sebagai subyek yang sehari-hari memproduksi makanan untuk keluarga karena latar belakang kultur kerja domestik, untuk menaruh perhatian lebih pada barang-barang yang dikonsumsi. Para Ibu mencatat apa saja yang biasa mereka konsumsi dan dari mana asalnya. Seperti beras, bawang, kecap, garam, gula, minyak, hingga sabun dan shampoo dicatat agar bisa ditelusuri, apakah merupakan produk lokal atau impor. Jika impor maka ditekankan untuk mencari sumber yang diproduksi oleh daerah lain di Indonesia.

“Iya, misalnya dalam satu kampung itu juga dicatat, kayak bapak atau ibu A itu produksi kecap. Terus di selatannya ada yang produksi tempe atau tahu, semuanya itu dicatatat. Jadi dalam satu kampung pasti ada yang memproduksi sendiri bahan pangan mereka” (Ibu Ita)

Langkah ini tentu sejalan dengan apa yang dicita-citakan Soekarno, agar tidak lagi bergantung pada produk asing. Hal yang dilakukan ibu-ibu ini adalah gerakan kecil yang berdampak, sebab produk konsumsi pertama yang paling mudah menubuh pada keseharian masyarakat adalah produk dapur dan rumah tangga.

Untuk memudahkan pengorganisasian serta menjalin jejaring antar komunitas keluarga yang satu dengan yang lain, maka terbentuklah organisasi Gerwis : Gerakan Wanita Sejahtera. Menurut sejarah, Gerwis kemudian pecah menjadi Gerwani dan Perwari. Gerwani atau Gerakan Rakyat Perempuan ada di kaki sendiri masih melangsungkan gerakan-gerakan mandiri yang selaras dengan Soekarno. Selain urusan dapur, mereka juga melakukan berbagai kegiatan diantaranya mengajar baca-tulis untuk kaum perempuan yang buta huruf hingga pada politik praktis seperti mendorong Undang-Undang Perkawinan yang tidak diskriminatif terhadap perempuan. Saat itu Gerwani bukanlah bagian dari partai atau golongan komunis. Karena ideologinya yang kiri, mereka kerap diafiliasi dengan partai komunis.

Berturutan dengan hal itu, karena gerakan New Emerging Force cukup mengancam eksistensi kepentingan negara-negara yang ingin menginvestasikan (mengekslpoitasi) kekayaan bumi Indonesia, penggulingan Soekarno serta pemimpin-pemimpin kiri di Asia Afrika kemudian menjadi target yang direncanakan. Di Indonesia lewat Gerakan 30 S, ideologi kiri diberangus sampai ke semua lini kegiatannya, termasuk Gerwani yang selalu dinilai berasosiasi dengan PKI.

Bagaimana hal ini bisa kita kaitkan dengan persoalan politik pangan? Setelah turunnya Soekarno yang kemudian digantikan oleh rezim Soeharto di tahun 1966, ada banyak kebijakan politik yang berubah, diantaranya adalah kebijakan agraria, kebijakan modal asing serta kebijakan ekspor-impor yang pastinya berhubungan dengan bahan pangan. Belum lagi dengan doktrin dan propaganda revolusi hijau.

Peran perempuan pada era Soeharto juga masih memiliki posisi penting sebagai ‘ibu’ yang juga kemudian lebih didomestifikasi lewat budaya patriarki. Lewat Panca Dharma Wanita peran dan tubuh perempuan diatur dan dibatasi. Panca Dharma Wanita sendiri berisi: 1) wanita sebagai pendamping setia suami, 2) wanita sebagai pencetak generasi penerus bangsa, 3) wanita sebagai pendidik dan pembimbing anak, 4) wanita sebagai pengatur rumah tangga, 5) wanita sebagai anggota masyarakat yang berguna.

Disini terlihat jelas meskipun negara menyediakan sarana untuk perempuan bergerak dan berorganisasi, tetapi gerakan mereka dibatasi, didomestifikasi dan didepolitisasi hanya dengan urusan mengurus suami, anak dan rumah tangga. Seperti pepatah yang bilang bahwa urusan perempuan hanyalah kasur, sumur dan dapur. Pada persoalan dapur, utamanya tugas ibu/ perempuan adalah menyediakan makanan yang baik untuk keluarga. Apa yang dimaksud dengan kategori baik pun sangat diatur oleh negara, misalnya dengan doktrin ‘4 Sehat 5 Sempurna’ yang mengatur bahwa seolah-olah karbohidrat hanya dapat terpenuhi oleh nasi, kewajiban untuk mengkonsumsi susu yang belum tentu cocok untuk semua orang, dsb. Propaganda dan ‘anjuran’ ini disusupi dengan sangat efektif melalui kegiatan arisan, PKK, Posyandu, dan sekolah-sekolah, sehingga kita menerimanya begitu saja tanpa ditantang untuk berpikir kritis akan budaya makan kita.

Elia Nurvista & Gloria Mario, 2017

 

Tentang Ita Fatia Nadia

Ita Fatia Nadia adalah peneliti sekaligus aktivis perempuan. Pendiri Kalynamitra, LSM yang fokus pada perempuan korban kekerasan. Saat ini aktif mendirikan Sekolah Budaya mBrosot Yogyakarta.