Mencoba Menjadi Penjual

Sedikit banyak foto diatas menggambarkan bentuk dari interaksi pertama kami dengan tema yang diangkat oleh Bakudapan, yaitu fast food. Berawal dari niat untuk mengumpulkan dana untuk pelaksanaan selama kegiatan Bakudapan berlangsung, kami memutuskan untuk menjajakan menu paket fast food yang mirip dengan yang biasa disajikan oleh McDonald’s, yaitu paket “PaNas”. Paket “PaNas” ini adalah menu yang kami anggap sebagai salah satu menu populer dari McDonald’s, sebab menu ini sesuai dengan selera orang Indonesia, yaitu terdiri dari nasi, telur goreng, ayam goreng tepung, dan minum. Kami menjual paket yang sama, tetapi dengan konten yang kami susun sendiri.

Konten paket

Hal yang kami anggap penting dari konten paket makanan ini adalah ayam goreng tepung. Kami memikirkan beberapa opsi kemungkinan, mulai dari mencoba menggoreng ayam itu sendiri, sampai membeli ayam goreng tepung dari restoran waralaba fast food lokal. Pada akhirnya kami sepakat memilih untuk membeli ayam goreng tepung produksi rumahan yang berlokasi di Kauman. Konten paket berikutnya untuk menemani ayam goreng tepung adalah telur goreng. Dalam proses pembuatan telur goreng ini, kami berusaha untuk membuatnya mirip dengan yang disajikan di McDonald’s melalui paket “PaNas” mereka, yaitu dengan tekstur yang lembut dan cenderung basah. Melalui usaha yang panjang, akhirnya kami berhasil membuat tekstur yang hampir mirip dengan telur goreng McDonald’s.

Setelah semua konten paket makanan kami siap, demi menarik pembeli kami pun mengemas paket makanan kami dalam bentuk yang (berusaha) dibuat rapi. Kami menaruh nasi, ayam goreng tepung, telur goreng, dan menambahkan satu bungkus kecil saus sambal sebagai pelengkap. Paket yang kami buat tidak hanya berisi makanan, dengan harga satu paket 15.000 Rupiah, kami juga memberikan minuman bersoda. Melalui pemberian harga yang tetap dan konten dari paket yang kami anggap cukup mumpuni, harapan kami pun cukup besar bahwa pembeli akan menikmati paket yang kami tawarkan.

Tetap ada kritik

Penjualan yang kami lakukan pada awalnya tidak memiliki niat apapun selain mengumpulkan uang untuk keberlangsungan kegiatan Bakudapan. Namun, saat proses penjualan kami berlangsung, terdapat beberapa kritik yang akhirnya membuat kami menyadari proses menjual paket ini merupakan bentuk dari observasi di lapangan terhadap pembeli fast food. Jelas, saat timbul kritik, awalnya kita akan melawan kritik yang dilontarkan mereka saat proses jual-beli berlangsung, tetapi setelahnya kami menyadari bahwa ada benarnya juga mengenai kritik yang diberikan.

Kritik 1 – kritik yang pertama ini bisa dibilang bukanlah sebuah kritik, tetapi temuan yang cukup menarik dari seorang pembeli. Pembeli pertama ini menawar untuk hanya membeli telur saja, harga tetap sama, yaitu 15.000 Rupiah, tanpa ayam, nasi, dan minuman, hanya telur saja. Alasannya adalah karena ia seorang fishetarian dan tidak makan ayam. Pembeli pertama ini tidak keberatan dengan harga yang sama, walaupun dia mendapatkan konten yang berbeda. Mungkin berikutnya industri fast food juga harus memperhatikan diet makan seseorang yang sangat personal dengan menyediakan beberapa pilihan paket makanan.

Kritik 2 – pembeli kedua ini baru bisa kami katakan ia melontarkan sebuah kritik. Saat membeli paket yang kami tawarkan, ia hanya menginkan ayam, telur, dan minuman, tanpa nasi. Setelah kami memberikan makanan yang ia pesan, pembeli kedua menghabiskannya, kami meminta bayaran sebesar 15.000 Rupiah. Komentar yang kami dapatkan adalah..

“Kok mahal! Kan nggak pake nasi, harusnya lebih murah dong. Katanya lokal, kok ngikutin yang udah besar itu, kayak kapitalis aja, sama aja dong kalian”

Kritik membuat pertanyaan

Awalnya kami merasa emosi melalui kritik yang dilontarkan pembeli kedua, tetapi akhirnya kami merasa beruntung, karena kami mendapatkan pertanyaan baru mengenai keberadaan waralaba fast food lokal di Jogja. Melalui pembeli pertama dan kedua, kami merefleksi kembali saat membeli makanan dari fast food yang ternama, saat kami tidak menginginkan beberapa konten yang terdapat dalam satu paket, dan membeli konten secara terpisah, harganya tidak menjadi lebih murah, dan terasa lebih mahal pada akhirnya. Hal ini juga memunculkan bahwa ada pembeli yang menerima penetapan harga yang seperti itu, ada pula yang mengkritik bahwa seharusnya karena membeli satuan, maka harganya pun harus lebih murah.

Apakah dengan label “lokal” maka sistem dari waralaba fast food di Jogja menjadi berbeda? Kenyataannya waralaba fast food di Jogja menerapkan sistem yang sama, saat membeli konten secara satuan, harganya tidak berarti menjadi lebih murah jika dibandingkan membeli paket yang sudah ditawarkan. Selain sistem pemberian harga pada produk mereka, apakah waralaba fast food lokal mengadaptasi semua sistem waralaba internasional?Bagaimana dengan tenaga kerja mereka, pengiklanan, dan unsur lainnya yang mendukung penjualan? Setelah penjualan yang kami lakukan semakin banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang muncul. Ini bukan penjualan yang terakhir, mungkin ada pertanyaan lainnya lagi yang akan timbul saat kami berjualan berikutnya.

*illustrasi gambar: pinterest.com