Makan Sedikit, Tahu Banyak

Belum lama ini, sekitar dua minggu yang lalu, saya baru saja melakukan tindakan yang saya rasa cukup heroik, yaitu membuat kimchi. Mungkin terdengar biasa saja seseorang yang bukan berasal dari Korea mencoba membuat kimchi, terlebih lagi saat ini budaya Korea telah merajarela mulai dari, TV drama, musik, fashion, dan makanan. Namun, saat saya memutuskan mebuat kimchi dari lima buah sawi putih besar berukuran bola kaki dan delapan lobak, serta bahan-bahan lainnya, terdengar agak ambisius dan berlebihan, kan? Awalnya, saya pikir ini akan menjadi pekerjaan yang mudah, membuat kimchi dengan jumlah bahan sebanyak itu, tetapi kenyataannya tidak. Waktu yang saya habiskan untuk menyelesaikan semua bahan memakan waktu hampir lima jam dan membutuhkan uluran tangan sebanyak dua orang.

Pekerjaan kali ini cukup sulit dan memakan banyak waktu ternyata, dibandingkan sebelumnya di mana saya pernah membuat kimchi dari satu atau dua buah sawi putih, dan memakai resep yang praktis. Kali kemarin, saya mencoba membuatnya dengan resep yang bisa dibilang lebih sulit dan lebih otentik, dengan menggunakan parutan sari buah sebagai pemanis dan ebi asin sebagai tambahan rasa asin. Pemilihan resep yang lebih sulit ini berangkat dari sugesti saya bahwa rasa yang dihasilkan akan lebih enak jika dibandingkan dengan resep praktis. Namun, bagaimana saya bisa tahu sebenarnya rasa kimchi yang enak dan otentik itu seperti apa saat saya bukan orang Korea atau tidak mengonsumsi makanan Korea setiap hari? Sebenarnya hanya melalui sedikit-sedikit pengalaman datang ke beberapa restoran Korea dan menonton puluhan acara memasak atau acara hiburan Korea yang membahas makanan, saya kemudian merasa tahu rasa dari kimchi yang enak dan otentik itu seperti apa.

Pengalaman pertama saya makan di restoran Korea sebenarnya tidak terlalu menarik, karena saya ingat bahwa rasa kimchi yang saya makan tidak memuaskan imajinasi saya. Sebelumnya saya hanya mengetahui kimchi dari acara televisi, melalui warna, gambar, dan rasa yang dideskripsikan. Lalu, melalui pengalaman yang minim itu saya menumbuhkan imajinasi akan rasa kimchi yang “benar” itu seperti apa, sehingga setiap saya datang ke restoran Korea hal pertama yang saya lakukan adalah mencoba kimchi yang mereka sajikan, untuk menentukan seotentik apa restoran tersebut. Bagi saya kimchi adalah sesuatu yang sifatnya basic dalam kuliner Korea, sehingga ketika saya tidak merasa terpuaskan akan rasa kimchi tersebut, membuat saya merasa bahwa makanan lainnya pun akan tidak enak, dan memasukkannya ke dalam daftar restoran yang tidak akan saya datangi lagi.

Berawal dari kimchi, kemudian membawa saya kepada pencarian akan restoran Korea yang lainnya. Restoran kedua yang saya coba kemudian membawa saya pada rasa puas akan rasa yang mereka miliki. Tidak hanya kimchi yang mereka sajikan terasa jauh lebih “benar” dari restoran pertama, tetapi makanan lain yang mereka sajikan juga memiliki rasa yang enak pula. Tentu saja kategori enak menurut saya ini sifatnya personal, tetapi saya merasa pikiran saya ini juga dibangun dari testimoni kawan saya yang berasal dari Korea yang merekomendasikan restoran ini. Bisa dibilang saya terpengaruh dari omongan kawan Korea tersebut, yang menjadikan imajinasi saya mengenai rasa kimchi yang sebelumnya belum saya temukan, dapat tersajikan melalui pengalaman makan di restoran tersebut. Restoran ini kemudian menjadi restoran Korea andalan saya yang paling sering saya kunjungi.

Secara pribadi, saya merasa bahwa saya ini menjadi orang yang cukup sok tahu tentang kebudayaan Korea atau mengenai makanan Korea. Saya sendiri sebenarnya hanya pernah mengonsumsi tidak lebih dari 15 jenis makanan Korea, dibandingkan makanan Korea sendiri yang jenis dan macamnya sangatlah beragam. Ditambah lagi, tiga tahun yang lalu saya sempat mengunjungi Korea Selatan di mana tentunya kesempatan ini menjadi ajang wisata kuliner dan mencoba beberapa macam makanan, yang kemudian membuat saya merasa telah menguasai segala pengetahuan mengenai makanan Korea. Saat kembali ke beberapa restoran Korea diantara Jakarta dan Yogyakarta, saya menjadi sok kritis mengenai rasa. Mencari rasa otentik yang sebenarnya cukup ambigu, otentik bagi siapa? Atau otentik yang seperti apa?

Pengalaman datang ke restoran Korea sebenarnya membuat saya menyadari perasaan yang muncul saat saya datang ke restoran asing (tidak menyajikan makanan Indonesia), yaitu perasaan tahu segalanya. Tidak hanya terjadi saat saya pergi ke restoran Korea saja, tetapi juga terjadi saat saya datang ke restoran Italia, yang sepertinya pizza dan pasta sudah menjadi makanan umum yang dikenal banyak orang. Saya tidak pernah pergi ke Italia ataupun tinggal bersama orang Italia, tapi karena saya cukup sering mengonsumsi pasta dan pizza, saya menjadi merasa tahu banyak mengenai budaya makan Italia. Melalui rasa makanan, bentuk restoran, bahan-bahan yang sering digunakan dan jenis makanannya yang tidak saya konsumsi sehari-hari, membuat saya mengimajinasikan Italia lewat tiap rasa yang saya makan.

Tentu saja, setelah saya pikir kembali dan mencoba reflektif, imajinasi saya akan budaya makan negara tertentu yang mungkin cukup dangkal dan berasal dari asumsi pribadi saya saja ini menjadi problematis. Selain perasaan sok tahu, juga saya kadang merasa menjadi konsumen yang hanya merayakan “keberagaman” pangan dan tanpa sadar mengeksotisasi suatu wilayah tanpa berpikir lebih dalam. Seolah sudah tahu banyak padahal hanya makan sesekali.

 

Khairunnisa.