Makan Mayit Sebagai Usaha Membicarakan Ketakutan

Proyek Little Shop of Horrors yang di inisiasi oleh seniman Natasha Gabriela Tontey sempat diadakan di Footurama, setelah setahun sebelumnya diproduksi di Yokohama, Jepang dalam program seniman residensi di Koganecho Bazaar. Dalam proyek ini Natasha Tontey ingin menggali tentang perasaan takut yang menurutnya bersifat abstrak, kita bisa takut oleh kematian, takut oleh rezim dan pemerintah, takut dikucilkan oleh masyarakat, tapi juga takut terhadap sundel bolong. Perasaan takut memang memiliki spektrum yang sangat luas dan tentunya tidak mudah membicarakan dan merumuskannya. Tapi di proyek ini Tontey ingin kembali pada hal yang paling mendasar, yaitu mengapa rasa takut itu ada dalam hampir setiap manusia? Apa yang memicunya? Bagaimana ia timbul dan tenggelam? Lebih jauh lagi Tontey ingin membicarakan atas kecurigaannya – bagaimana jika rasa takut itu tidak hanya muncul secara alamiah, misalnya dipicu oleh hormon-hormon tertentu, tapi juga rasa takut timbul karena dibangun, dibentuk, dan dikontruksi terus menerus oleh sesuatu yang sifatnya eksternal dari tubuh, norma misalnya.

Berangkat dari kegelisahnnya, Tontey kemudian membuat toko horor yang menjual suvenir-suvenir kecil, di mana di dalamnya terdapat cerita tentang ketakutan yang ia kumpulkan dari penduduk di sekitar Koganecho, tempat dia tinggal semasa residensinya 3 bulan di Jepang. Suvenir dan benda-benda tersebut mewakili dari cerita-cerita takut akan perang, prostitusi dan juga hantu-hantu semacam Kappa maupun Bakeneko yang cukup popular di Jepang.

Proyek ini kemudian berlanjut di awal 2017, ketika ia ditawari membuat kelanjutannya di Footurama. Tontey mau melakukannya kembali, karena baginya eksplorasi rasa takutnya belum selesai dan bahkan semakin menimbulkan banyak pertanyaan-pertanyaan dalam dirinya. Saya sebagai teman yang sering bertukar cerita tentang seni dan ketertarikannya, kemudian diajak berkolaborasi untuk terlibat dalam “ketakutannya” tersebut.

Tontey lalu ingin mengaitkan rasa takutnya dengan kanibalisme. Mengapa kanibalisme? Baginya, kanibalisme itu hal yang paling medasar, saat seseorang memakan atau memasukan sesuatu ke dalam tubuh, selain perasaan antusias (karena praktik makan merupakan sesuatu pleasure tersendiri) juga diiringi rasa takut, terutama ketika memakan sesuatu yang asing. Hal ini mengingatkan pada pengalaman yang membuatnya jadi pescetarian  (begitu ia menyebutnya, artinya tidak makan daging sapi, babi, kelinci dan ungas atau makhluk hidup lain kecuali ikan dan seafood) setelah menonton film bergenre horor tentang kanibal. Kita tidak akan berpanjang-panjang mengulas tentang diet sehari-hari Tontey, karena selain buang-buang waktu dan tenaga, itu juga merupakan masalah privatnya. Tetapi bagaimana makanan juga bisa memicu rasa takut tersendiri, karena kita telah sekian lama memahami bahwa makan artinya memasukan sesuatu ke tubuh kita, mencerna dan menyatu dengannya, lebih menarik untuk dibahas bersama.

Pilihan makanan seseorang sering dinilai sebagai sesuatu yang sifatnya privat atau pribadi. Seseorang tidak bisa memaksakan kepada orang lain untuk makan atau tidak makan sesuatu. Kalau tidak suka burger vegetarian, ya, tidak suka, walaupun sedang tren, tidak bisa dipaksa-paksa. Tetapi kemudian, apa iya itu benar-benar ada diwilayah privat dan tidak diatur oleh sebuah otoritas? Jangankan kasus Sumanto yang berujung di penjarakannya dia, kasus warung makan yang tetap buka saat puasa pun bisa jadi panjang urusannya. Orang bisa jadi tidak makan siang di bulan puasa lebih karena takut digropyok FPI ketimbang menghormati kaum Muslim. Kami kemudian tertarik untuk mengangkat masalah makanan dan ketakutan lewat bentuk kanibalisme dalam proyek seni ini. Sekali lagi, tentu dalam kerangka proyek seni, di mana ada latar belakang, narasi dan tidak hanya berdiri sendiri sebagai sebuah obyek foto atau benda saja. Kembali tentang makan sebagai urusan privat, bagaimana jika performative dinner, cara yang sepakat kami pilih, mencoba membuat peristiwa yang sifatnya komunal akan sesuatu yang tabu? Apakah orang jadi lebih bisa membicarakannya secara terbuka serta mau memikirkan kembali kenapa kanibalisme dianggap tabu dan tidak etis? Siapa yang pertama kali membuat ide tentang ini? Dan mengapa kita (minimal saya dan Tontey) lalu menerima sebagai norma yang sudah terberi tanpa pernah mau berpikir lagi. Tentu saja ada banyak rujukan tentang pelarangan kanibalisme, mulai dari kitab suci hingga buku-buku antropologi dan etnografi tentang budaya dan makan. Selama ini wacana tentang kanibalisme selalu di dominasi sebagai praktek makan yang tidak etis, tidak berbudaya dan tidak manusiawi. Atau sebagai bentuk penaklukan dalam perang antar suku-suku tribal yang dianggap primitif. Lalu kami berpikir, bagaimana jika bentuk kanibalisme merupakan suatu praktek inkorporasi atau penyatuan karena terlalu cintanya suatu manusia terhadap manusia lain, yang mungkin saudara, anak atau kekasihnya, agar tetap dalam tubuhnya dengan cara dimakan saat meninggal? Ternyata praktik ini ada dan disebut endocannibalism[i]. Kami semakin tertarik merancang dan menguji coba tentang kanibalisme ini. Terlebih saya sebagai seniman yang bekerja dengan isu dan tema-tema perihal makan, makanan dan budaya, kemudian setuju untuk membahas persoalan ini lebih lanjut.

Kami lalu menemukan tulisan lain berjudul “ A Modest Proposal” karya Jonathan Swift[ii] yang isinya satirisme tentang penduduk-penduduk miskin di Irlandia, di mana ia mengajukan proposal untuk menjual anak-anak dan bayi-bayi miskin tersebut sebagai bahan makanan untuk para konglomerat di Inggris. Tulisan ini lebih bayak tentang menggugat kesenjangan kelas yang waktu itu terjadi, di mana banyak menuai kecaman dan protes, yang kemudian membuat kami tertarik dan terinspirasi darinya.

Sebelumnya Tontey juga sering menciptakan dan menggunakan image suster/biarawati yang entah mengapa menjadi ketertarikannya. Dari sini kemudian ia ingin membangun narasi tentang dirinya sebagai pemilik panti asuhan yang sangat mencintai anak-anak kecil, yang kemudian mengajak melakukan praktik endocannibalism secara kolektif dengan audiens. Ia ingin menawarkan wacana lain tentang kanibalisme yang diharap memicu pertanyaan kritis dan reflektif tentang norma yang terlalu kita percaya hari ini. Bentuk karya ini kemudian kami sebut dengan “performative dinner” dimana saya terlibat untuk merancangnya. Performative dinner dipilih karena nantinya acara utama ini merupakan makan malam dengan mengundang sejumlah tamu terbatas, di mana dalam makan malam ini akan ada unsur yang sifatnya teatrikal, seperti narasi tempat, figur/aktor, skrip, pencahayaan, visual dan tata suara, serta yang utama dari menu makanannya sendiri.

Saya kemudian terlibat dalam merancang narasi, urutan sajian makanan, skrip, dan menu (yang juga dirancang bersama chef bernama Chandra Drews). Dalam acara ini, drama kami rancang mulai dari yang bernada halus tentang mempertanyakan kanibal, hingga yang secara visual mengganggu karena kevulgarannya. Tentu saja kami menggunakan atribut-atribut simbol maupun visual yang mendukung untuk eksekusi ide kami ini.

Sebagai cara yang paling halus, kami sepakat memulai dengan menyajikan makanan dari bahan ASI dan fermentasi keringat bayi yang dicampur ragi buah dalam adonan sourdough atau roti. Kami memperoleh ASI dari seseorang kawan dengan sukarela, karena memang ia memiliki kelebihan stok yang bingung juga hendak diapakan. Selain sudah membeli kulkas tambahan, tetapi produksi ASI hariannya lebih banyak daripada yang mampu dikonsumsi bayinya, sehingga kulkasnya cepat penuh dan memang harus segera didonorkan, asal botol kembali, katanya.

Saya kemudian mengolahnya menjadi keju ASI dan roti. Tentu sebelum disajikan kami sudah menjelaskan pada audiens yang datang jika bahan makanan ini terbuat dari ASI sungguhan dan bakteri bayi, jadi keputusan untuk memakan atau tidak, ada ditangan audiens. Dalam menyajikannya, akan diikuti dengan pertanyaan yang sifatnya memancing, seperti : Jika kanibalisme merupakan memakan sesuatu dari tubuh orang lain, apakah memakan ASI dari tubuh seorang ibu bisa disebut kanibal? Bagaimana konsep tentang Ibu dan anak yang memiliki jalinan kuat tercipta dari praktik menyusui dan kita percaya sebagai bentuk kasih paling murni dan pengorbanan? Tentu ada banyak cerita yang bisa dielaborasi dari sini yang berguna untuk observasi kami.

Kemudian menu kedua berupa sup jamur kuping yang kami ceritakan sebagai kuping bayi, diiringi dengan kuahnya berupa adonan santan dalam kemasan ASI. Berturut-turut dengan sajian vermicellii atau akrab disebut bihun dan tahu berwarna merah darah dalam piring berbentuk boneka bayi. Bentuk ini cukup vulgar secara visual tapi menggunakan bahan makan sehari-hari. Di sini kemudian Tontey mempertanyakan kenapa kanibalisme kita anggap tabu dan tak pernah dibicarakan? Siapa yang memutuskan apa yang boleh dan tidak boleh dimakan oleh kita? Mungkin di bagian ini dialog paling banyak terjadi dengan audiens. Banyak jawaban mulai dari tidak etis memakan tubuh saudara sendiri maupun manusia lain, karena bentuk penghinaan dan sebagainya, hingga yang merasa jijik karena mereka juga memiliki bagian tubuh itu sendiri. Perasaan jijik, walaupun mungkin sudah dalam bentuk rendang atau steak, mungkin dipicu karena kita kemudian merelasikannya dengan organ milik kita sendiri, seperti memakan tangan atau otak kita sendiri.

Acara makan ini kemudian ditutup dengan sajian pencuci mulut berupa sponge cake yang saya disain menjadi bentuk otak, setelah melihat tutorialnya di Youtube. Selama acara makan, selain Tontey bermain peran dan menceritakan tentang kegelisahannya sebagai suster yang kerap menemukan bayi dibuang dan tewas sebagai tanggapannya atas situasi sosial, ia juga berusaha mempertanyakan ketakutannya atas apapun untuk bisa dibicarakan bersama. Harapannya, tentu proyek ini tidak semata-mata membicarakan rasa takut secara terbuka dalam konteks makan atau konsumsi saja, tetapi juga dalam kita menjalani hidup sebagai warga negara yang kerap dipicu rasa paranoid terhadap warga lain dan berujung kekerasan.

Tetapi, sebagai proyek seni yang salah satu tujuannya untuk menggugat atau mempertanyakan situasi sosial kita secara luas, proyek ini juga masih memiliki beberapa kekurangan. Diantaranya, di mana dan bagaimana proyek ini dilakukan juga menurut saya patut menjadi kritikan. Dengan mengadakannya di toko fashion dan peserta membayar tiket yang cukup mahal, menjadikannya lagi-lagi seni yang hanya mampu dikonsumsi kelas tertentu. Seni akan tetap dilihat sebagai sesuatu yang elit. Dengan demikian tentu akan mempengaruhi cerita dan narasi yang sedang kami gali, yang datangnya terbatas dari kalangan itu-itu saja. Terlebih dengan mengunggahnya di media sosial, menjadikan event ini seolah hanya perayaan makan kelas menengah akan selera dan pilihan makannya yang berbeda. Refleksi ini akan membuat kami berpikir kembali bagaimana membuat seni agar dapat menjangkau audiens yang lebih luas dan beragam.

Terakhir, mungkin proyek ini tidak serta merta menjawab kegelisahan Tontey akan rasa takut, karena eksplorasi dan kerja ini masih membutuhkan riset yang panjang. Tapi saya sebagai kawannya, percaya dengan semangat, keyakinan, serta rasa penasarannya, dia akan terus menggali dan menemukan pertanyaan-pertanyaan baru yang bergentayangan menghantuinya. Melalui cara itu ia akan muncul lagi dan menakut-nakuti kita lagi, dengan cara yang entah apalagi.

Rujukan:

[i] https://en.wikipedia.org/wiki/Endocannibalism

[ii] Tulisannya bisa diunduh disini : http://www.secret-satire-society.org/wp-content/uploads/2015/11/Jonathan-Swift-A-Modest-Proposal.pdf

 

Elia Nurvista, 2017.