Jejak Kuliner di Hotel Prodeo

Oleh Andreas Maryoto*

Ketika wisata kuliner cenderung monoton, dorongan dan selera orang untuk bermakan ria mulai mengarah ke tempat dan jenis makanan yang aneh, asing, dan eksotis. Eksplorasi kuliner tidak hanya dilakukan di rumah, restoran, dan lain-lain. Satu hal yang perlu dicoba adalah kuliner bagi mereka yang hidup di bui alias hotel prodeo. Anda ingin memelopori?

Indonesia memiliki sejarah yang panjang soal yang satu ini. Ratusan tahun yang lalu kita telah memiliki jejak kuliner di tempat yang sungguh-sungguh tidak diharapkan oleh semua orang itu. Riwayat kuliner di penjara ini bisa dilacak di buku Susunan Pidana dalam Negara Sosialis Indonesia (1964) karya RA Koesnoen.

Sejak VOC masuk telah ada dua jenis rumah tahanan. Pertama, rumah tahanan untuk pekerja seks, orang malas bekerja, dan pemabuk (didirikan tahun 1596). Adapun rumah tahanan kedua untuk mereka yang malas bekerja dan peminta-minta (didirikan tahun 1597). Namun, tidak ada riwayat kuliner yang jelas. Rumah itu disebutkan didirikan di A’dam.

Riwayat kuliner juga tidak bisa terlacak pada masa berikutnya ketika VOC membuat tiga jenis rumah tahanan, yaitu bui, tahanan untuk orang yang dirantai (ketingkwartier), dan rumah tahanan perempuan (vrouwentuchthuis) di Batavia tahun 1601.

Dalam buku itu hanya disebutkan, kepala bui untuk pegawai VOC (geweldiger), selain mendapat gaji, juga diperbolehkan mengurangi ransum para tahanan. Kepala bui untuk orang-orang preman (cipier) juga diperbolehkan mengurangi ransum tahanan dengan porsi yang lebih kecil. Preman yangditahan juga harus membayar uang makan. Uang hasil kutipan ini diserahkan kepada kepala rumah tahanan. Kepala rumah tahanan ini lalu menyediakan makanan.

Setelah VOC runtuh, Belanda menguasai Nusantara dan mendirikan Hindia Belanda. Pada tahun 1816-1854, ada dua golongan tahanan yang harus mengikuti kerja paksa. Tahanan pertama adalah mereka yang dipidana kerja paksa dengan dirantai dan yang kedua adalah mereka yang dipidana kerja paksa biasa dengan mendapat makanan tanpa upah. Mereka diberi makan dan dipelihara oleh pemerintah. Tidak disebut jenis makanannya dan pemeliharaan yang dimaksud.

Peraturan tentang makanan bagi mereka yang hidup di bui baru muncul pada tahun 1829, yaitu Staatblad 1829 Nomor 73. Setiap golongan tahanan mendapat nasi dan garam sesukanya setiap dua hari sekali, mendapat setengah pon ikan kering atau daging kerbau, sayuran, bawang merah, dan sedikit merica. Mereka juga mendapat satu gulden setiap bulan untuk membeli sirih.

Perbaikan kondisi rumah tahanan dan juga makanan bagi mereka yang menghuni penjara mulai dilakukan pada periode 1854-1870. Pada tahun 1856 ada perbaikan dalam hal kesehatan, ketertiban, pakaian, dan makanan bagi para tahanan.

Makanan untuk tahanan dari Eropa diperbaiki. Di salah satu bui di Surabaya disebutkan, setiap pukul enam pagi tahanan Eropa mendapat roti dan kopi. Pada jam makan siang (pukul 11.00), mereka mendapat nasi kentang, sayur, sup, daging, ikan,dan kerry. Pukul empat sore, kembali mereka mendapat makanan seperti saat makan siang. Namun, golongan pribumi masih mendapat jatah sesuai Staatblad 1829 Nomor 73.

Perbedaan makanan dan fasilitas lainnya bisa terlihat dari ongkos untuk tiap tahanan. Biaya tahanan Eropa dalam setahun sebesar 304,20 gulden dan biaya tahanan untuk golongan pribumi sebesar 65,70 gulden.

Perbaikan makanan selanjutnya dilakukan pada 1861. Perbaikan ini dilaporkan tidak mengecewakan tahanan orang Eropa dan pribumi. Namun, tahanan orang Tionghoa (yang di dalam penjara digolongkan sebagai pribumi) merasa tidak kenyang dengan makanan yang diberikan. Pengelola penjara menanggapi keluhan mereka hingga kemudian diperbaiki.

Makin baik

Kondisi penjara makin baik pada periode 1870-1905 ketika Pemerintah Hindia Belanda meminta Residen Riau meninjau penjara di Singapura. Peninjauan ini dilakukan untuk melihat pengelolaan penjara di negara tetangga itu. Dari peninjauan ini diharapkan ada usul perbaikan.

Setelah melalui perdebatan, perbaikan dalam pengelolaan penjara dilakukan melalui Staatblad 1871 Nomor 78. Peraturan ini memisahkan tiga golongan di dalam penjara. Peraturan turunannya menyebutkan, orang yang mengganggu keamanan di dalam penjara akan dikenai hukuman dipukul dengan rotan. Sebelumnya diberi hukuman percobaan dibelenggu di dalam kamar sendirian serta dua hari sekali hanya diberi nasi dan air.

Meski dalam masa berikutnya ada perbaikan, hal itu hanya dialami oleh tahanan berkebangsaan Eropa. Pada tahun 1877 disebutkan menu makan untuk mereka, setiap hari mendapat 9,20 pon roti, 0,35 pon nasi, 0,20 pon sayur, 0,03 pon lemak sapi, 0,005 pon kerry, 0,002 pon lombok, 0,02 pon garam, 0,001 pon lada, 0,015 pon kopi, dan 0,004 pon teh hitam. Mereka juga enam kali dalam seminggu mendapat 0,20 pon daging sapi dan 0,20 pon kentang, sekali seminggu mendapat 0,15 pon daging babi, 0,25 pon kapri hijau, dan 0,025 ikan cuka.

Di dalam Pewarta Deli tertanggal 11 Juli 1932 ditulis, “Di kota sering ada orang jang menjamperi pintu bui, minta dirawat di bui sadja, sebab merasa tidak kuat sengsara. Di bui misih kenjang makan, sedang di luar belum tentu sehari sekali.” Penderitaan hidup yang luar biasa sepertinya menjadikan mereka memilih hidup di bui.

Jejak kuliner di dalam bui sudah pasti masih panjang lagi apabila dirinci hingga masa sekarang, baik semasa mulai Orde Lama, Orde Baru, maupun sekarang. Catatan Pramoedya Ananta Toer tentang tahanan yang terpaksa memakan cicak dan hewan lainnya di Pulau Buru bisa memberi contoh “menu” yang terpaksa harus dimakan oleh tahanan politik di bui.

Contoh lainnya adalah menu yang dinikmati oleh Rahardi Ramelan ketika menghuni Penjara Cipinang, seperti diceritakan dalam buku Cipinang Desa Tertinggal (2008). Rahardi menyebutkan beberapa makanan “khas” Penjara Cipinang, seperti tempe jaket, tempe kotak, cadong, dan reman.

Sampai di sini Anda mungkin masih penasaran dan berpendapat tidak ada manfaatnya membahas kuliner yang satu ini. Akan tetapi, Anda akan terperangah ketika mengetahui di tengah modernitas Singapura, mereka malah meneliti dan mengkaji makanan-makanan yang “dinikmati” para pendahulu mereka ketika mereka dijajah Jepang dan terpaksa menjadi tahanan.

Alat kuliner dan menu makan selama mereka dijajah Jepang pernah dipamerkan di salah satu museum di Singapura. Catatan tentang hal ini juga telah dibukukan oleh Wong Hong Suen dalam buku Wartime Kitchen, Food and Eating in Singapore 1942-1945.

Mencoba menikmati kuliner di hotel prodeo bukan soal enak atau tidaknya makanan itu, tetapi kita bisa “menikmati” sejarah sebuah bangsa di sebuah tempat yang sebenarnya tidak dikehendaki semua orang. Siapa tahu Anda akan memelopori eksplorasi kuliner ini?