Jangan Ada Fasis Di Antara Kopi Kita

“Even Bad Coffee Is Better Than No Coffee At All”

Tulisan diatas terpampang di layar utama laptop milik saya lengkap dengan gambar wajah orang yang mengucapkannya. Ya, quote tersebut diucapkan oleh David Lynch. Seorang pembuat film dan sutradara asal Amerika. Kecintaannya dalam menikmati kopi telah menjelma menjadi sebuah pernyataan yang cukup ikonik mewakili dirinya.

Berbicara tentang kopi memang pada akhirnya akan membicarakan sebuah kompleksitas yang cukup panjang. Melampaui catatan sejarah dari masa ke masa dan berbagai isu di seputar tanaman serta minuman yang telah menjadi salah satu komoditas terbesar di berbagai penjuru dunia. Dalam konteks Indonesia, kopi pun juga sudah menjadi suatu budaya tersendiri. Terma ngopi yang muncul sebagai bentuk aktivitas minum kopi pun juga sudah lazim kita dengar sehari-hari dan seakan menjadi sebuah aktivitas yang begitu saja berlalu. Banyak cara yang telah menjadi bagian dari budaya minum kopi yang ada di masyarakat kita, mulai dari yang tradisional sesuai ciri khas wilayah masing-masing, kopi bubuk dari merek-merek lokal hingga global, kopi dari kedai-kedai franchise yang kerap berada di mall, hingga minum di kedai kopi dengan konsep bar terbuka dimana ada interaksi langsung antara konsumen dan penyeduh yang marak belakangan ini.

Isu-isu yang berkembang tentang kopi pun cukup banyak. Mulai dari kopi organik yang lebih sehat daripada kopi sachet, wacana direct trade yang digalakkan oleh banyak penggiat kopi, dilema dan satirisme dari franchise kopi berlogo putri duyung yang berbicara tentang kesejahteraan petani namun menjual secangkir kopi dengan harga yang amat sangat tinggi dan tidak jelas kemana keuntungan tersebut larinya, hingga tren menjamurnya kedai kopi – kedai kopi dengan masing-masing gaya penjualan dan kampanyenya yang seakan muncul menjadi tandingan dari kopi yang telah terindustrialisasi dan mencoba menciptakan sistem bisnis sendiri yang tidak mengikuti cara bisnis industri besar. Sangat variatif memang, namun apakah benar seperti itu adanya? Kalau selera lidah orang itu berbeda-beda, lantas bagaimana dengan kopi dan minum kopi? Bagaimanakah cara meminum kopi yang baik dan benar? Apakah memang ada aturannya? Namun, apakah itu penting untuk diatur?

Keragaman dan kompleksitas dalam kopi yang sedikit saya paparkan di atas pada akhirnya semua tertuju di bagian paling hilir dari keseluruhan rantai yang ada, yaitu peminum dan penikmat kopi. Kelas dalam peminum kopi pun tercipta. Tren kopi yang muncul belakangan ini seakan membuat semua orang berlomba-lomba untuk menjadi seorang coffee enthusiast dan berusaha mencari ilmu terbaik dalam menikmati kopi. Berkeliling dari satu kedai ke kedai lain dalam rangka mencari rasa terbaik dalam secangkir kopi. Ada pula anekdot ‘pendekar kopi’ yang muncul sebagai respon atas adanya fenomena ini, dimana seorang konsumen akan sangat mendetail dalam menyebutkan pesanannya. Katakanlah Si A yang datang ke sebuah kedai kopi lalu memesan pada tukang seduhnya dengan “Mas, saya mau kopi yang prosesnya honey dong. Diseduh pakai V60, di pre infuse dulu yak. Airnya suhunya antara 80-85 aja, trus nanti bla bla bla…” dan seterusnya.

Mohon maaf apabila ada yang tidak paham dengan istilah-istilahnya. Beberapa kawan saya yang menjadi tukang seduh memang pernah menjumpai konsumen semacam ini. Beberapa pula ada yang berani menanggapi atau malah memberi kebebasan pada konsumen semacam tadi untuk menyeduh sendiri. Ternyata, banyak konsumen semacam tadi yang ternyata pada dasarnya kurang tahu tentang kopi namun berpura-pura tahu karena malu bertanya. Ini pengakuan yang saya dapatkan dari kawan-kawan saya yang menjadi tukang seduh atau mengelola kedai kopi.

Atau mungkin kita tarik lagi ke titik lebih ekstrim dari tren kopi yang ada, banyak yang pada akhirnya tidak mau lagi meminum kopi-kopi kemasan yang banyak ditemukan di swalayan dan seakan memungkiri keberadaannya. Memilih untuk pergi ke kedai kopi dan berusaha meminum kopi dengan benar dengan cara ini dan itu, atau mungkin menciptakan aliran sendiri. Sebentar, yang benar itu seperti apa? Sepengamatan saya, di kedai kopi itu orang ngopi biasanya sambil nongkrong. Berlama-lama mendiskusikan sesuatu dan bukannya kopi habis langsung pergi. Nikmatkah minum kopi sambil nongkrong? Apabila iya, lantas bagaimana dengan kopinya? Sebetulnya yang dicari itu nongkrongnya atau kopinya?

Kopi, sudah tumbuh dan dikembangkan selama kurang lebih 3 abad di Indonesia. Dalam kurun waktu tersebut hingga masa sekarang, masyarakat kita pun juga sudah mengalami berbagai konstruksi budaya termasuk bagaimana cara menikmati kopi. Keragaman suku yang ada dalam bangsa kita pun juga telah menciptakan cara-cara lokal dalam menikmati kopi. Sebut saja kopi saring di Aceh, kopi tarik di Kalimantan, kopi arang di Yogyakarta, atau kopi walik yang dinikmati di pesisir utara Jawa. Dalam masyarakat pun, akses ke kedai kopi juga tak dimiliki semua orang. Tukang becak yang selalu ngopi di angkringan langganan, mahasiswa rantau yang hanya bisa menikmati kopi sachet di kos, hingga ibu-ibu yang biasa menyeduh kopi di rumah dengan merek kopi bubuk lokal seadanya tentu akan memiliki akses yang kurang atau mungkin tidak ada sama sekali untuk ke kedai kopi.

Kelas dalam masyarakat itu ada. Kelas peminum kopi dalam masyarakat pun juga ada. Jarak-jarak antar masyarakat ada, namun kopi senantiasa juga hadir dalam setiap ruang masyarakat tersebut. Seandainya di antara dari kita mampu mengakses dan menikmati kopi ‘enak’, apakah iya, kita lantas akan memaksakan hal yang enak tersebut dengan menjadi nyinyir? Kopi dan ngopi telah menjadi satu konstruksi budaya dalam masyarakat yang menjelma menjadi keragaman selera untuk tiap-tiap individu. Kalau sudah menjadi selera, apakah kita akan memaksakan pengalaman personal kita satu sama lain?

Keragaman budaya kopi yang ada di Indonesia merupakan sebuah anugerah yang belum tentu dimiliki bangsa lain. Tren kedai kopi modern yang ada saat ini dalam hemat saya juga merupakan bagian dari keragaman tersebut. Berbahagialah anda yang masih bisa memiliki akses untuk menikmati kopi nikmat dan mengapresiasinya, apapun jenisnya. Nyaman mungkin menjadi salah satu kunci dalam menikmati keragaman ini. Ketika rasa kopi membuat anda nyaman meminumnya, menikmati dari saat cangkir masih penuh hingga akhir, saya rasa itu sudah cukup tanpa perlu kita menjadi ribut ini dan itu. Apabila kita menganalogikan kopi sebagai sebuah manusia, apakah iya kita mau melihat kopi tersebut selamanya hanya dari satu sisi saja, yaitu rasa? Tanpa mau melihat dan memahami dari sisi yang lainnya dan melihatnya secara keseluruhan dan utuh? Bukankah kopi sudah ada dalam kurun waktu yang lama dalam bangsa ini, yang dalam asumsi saya pasti telah mengalami sebuah wacana yang sangat luas dan kompleks? Layaknya bangsa indonesia yang beragam aneka budayanya, sama halnya dengan kopi dan keragaman penikmatnya. Saya rasa keragaman itu merupakan sebuah pengalaman personal yang patut kita apresiasi dan kita hormati satu sama lain tanpa perlu menghilangkan keragaman yang ada. Bukankah penyeragaman dan penghilangan keragaman itu sama saja seperti tidakan fasis? Tentunya kita tidak mau menjadi ‘fasis kopi’ bukan?

Oh ya, sudah ngopi belum hari ini? Salam.

Bagoes Anggoro, 2016.