Diskusi Sejarah Organik Bersama Pak Baning

Dalam membahas tema “Independent Food” ini, kami sepakat untuk menemui salah seorang petani sekaligus aktivis dari Nawakamal, lembaga swadaya yang aktif dalam pendampingan petani bernama Pak Baning. Awalnya kami bertemu dengan Pak Baning di PSL (Pusat Studi Lingkungan) yang merupakan laboratorium lingkungan milik kampus Sanata Dharma, Yogyakarta, yang juga memiliki agenda pasar produk lokal. Pertemuan kami sore itu diawal dengan melihat-lihat rumah dan kebunnya di daerah Kronggahan, Sleman. Rumahnya jauh dari kesan mewah, tertata maupun bersih. Banyak barang-barang dari buku hingga hasil panennya yang tergeletak begitu saja di seluruh penjuru rumahnya. Kami memilih tempat diseputaran meja makan dan dapur untuk ngobrol dan berdiskusi.

Kami mulai memancing obrolan dengan pertanyaan, bagaimana sejarah produk organik muncul di Indonesia. Menurut pak Baning, di Indonesia sendiri keresahan itu muncul karena program pemerintahan orde baru yang dimulai tahun 1968. Dengan proyek bernama “Revolusi Hijau” pemerintah mulai berambisi untuk meningkatkan produktifitas beras. Hal yang terdengar sederhana dan mulia sebagai cita-cita ini ternyata membawa dampak yang cukup besar dibaliknya. Salah satu yang paling ditekankan oleh Pak Baning adalah permasalahan termajinalisasinya sebagian besar kaum tani yang tidak memiliki lahan atau buruh tani. Pak Baning menggambarkan situasi pertanian dan struktur sosial di desa-desa di Jawa pada masa sebelum orde baru. Pada waktu itu sistem tanam dilakukan dengan penuh ikatan solidaritas antar tetangga. Para pemilik lahan pertanian yang cukup besar akan membuka lahannya untuk ditanami secara kolektif dengan para tetangganya dengan sistem bagi hasil. Disini semua tetangga, yang saling kenal tentunya, boleh berpatisipasi mulai dari membuat benih, menanam, merawat selama masa tanam hingga memanen. Sistem ini mengingatkan kita akan sistem ekonomi alternatif dimana bentuk pengelolaan dan pendistribusian yang dikelola secara kolektif dan swadaya untuk kepentingan bersama. Inilah mengapa dahulu di desa-desa di Jawa banyak terdapat lumbung padi bersama. Sedangkan tentang mekanisme surplus produksi yang masuk ke pasar, tidak sempat dibahas oleh Pak Baning.

Sistem pertanian kolektif ini mulai berubah sejalan dengan adanya revolusi hijau. Menurut pak Baning, revolusi hijau yang dimulai akhir tahun 60-an ini adalah program pertanian yang insentif dan menyeluruh dan bukan hanya melibatkan produsen beras atau petani saja. Mulai dari perangkat desa terendah, institusi pendidikan hingga militer ikut dan wajib dalam menjalankan program ini. Lewat berbagai nama program seperti BIMAS (bimbingan masal), INMAS (intensifikasi masal), INMUM (intensifikasi umum) dan INSUS (intensifikasi khusus) hingga SUPRA INSUS (intensifikasi khusus dengan rekayasa teknologi, sosial dan ekonomi) negara mulai mengatur sistem tanam hingga ke unit terkecil. Selain pemberian kredit untuk usaha pertanian, dan pengetahuan cara bertanam modern secara intensif, negara juga mengatur dan menciptakan atau mempertegas hierarki sosial diantara petani. Melalui para perangkat desa yang terjun langsung, mereka mengatur siapa yang boleh menanam dan siapa yang tidak dari para buruh tani yang tidak memiliki lahan ini, dengan alasan efisiensi tenaga. Banyak petani tersingkir, terutama kaum wanita karena dipandang kurang produktif dari segi tenaga. Dengan sistem kehidupan Jawa yang penuh dengan kekerabatan, tentu saja hal ini mengubah semangat dan cara hidup mereka.

Selain itu, saat itu pula mulai diperkenalkan sistem pertanian yang berbasis kuantitas produksi dengan menggunakan pupuk dan pestisida demi mengejar hasil produksi yang banyak. Lahan-lahan diakselerasi untuk dapat panen setahun 3 kali yang sebelumnya hanya 2 kali. Secara ilmu biologi tanah, banyak penelitian menunjukan bahwa hal ini merusak unsur hara dalam tanah, sehingga tanah menjadi tidak subur, yang efeknya tentu saja dirasakan belasan tahun kemudian. Selain berdampak ekonomi secara langsung terutama pada kaum buruh tani (petani yang tidak punya lahan) juga pada petani yang memiliki lahan kecil. Mereka dengan terpaksa menjual lahannya kepada petani besar, karena semua bentuk pertanian ini kemudian berorientasi pada produksi dan pasar. Pertanian kecil tidak lagi memberi keuntungan. Para mantan petani ini kemudian pindah ke kota untuk mencari kehidupan dengan bekerja sebagai buruh industri.

Selain permasalahan sosial ekonomi diatas, hal ini juga berdampak pada permasalahan kultural lainnya, misal tentang pengetahuan bertanam. Ilmu bertani seperti memuliakan bibit, mengawinkan jenis varietas, mengolah tanah dan hama secara alami, sistem waktu tanam dan sebagainya milik petani yang diperoleh dari kehidupan membaca alam dan diturunkan ke generasi berikutnya menjadi hilang digantikan dengan ilmu pertanian modern. Mungkin sebenarnya tidak ada yang salah dengan ilmu pertanian modern, jika saja tidak hanya selalu berorientasi mengejar produksi melimpah yang memforsir kerja tanah, tetapi juga dibarengi dengan kearifan dan kehidupan selaras dengan alam. Banyak hal yang hilang dari sistem pertanian ini, salah satu yang juga ditekankan adalah kemandirian petani. Petani menjadi sangat tergantung dengan negara dan menjauhkan kedaulatan dalam usaha taninya. Tentu saja hal-hal berikut hanya sebagian masalah yang paling tampak dari program revolusi hijau. Masih banyak perihal lainnya yang terjadi dan sangat kompleks untuk dibicarakan dalam satu tulisan ini.

Atas dasar permasalahan diatas, beberapa aktivis LSM, intelektual, budayawan, petani dan orang-orang yang perduli dalam bidang ini kemudian mulai mengambil langkah kongkrit atas kondisi ini. Salah satu langkah yang diambil adalah dengan lahirnya Deklarasi Ganjuran pada tahun 1990. Sistem pertanian organik dipilih sebagai salah satu strategi dalam pemulihan lingkungan dan pengembalian kemandirian petani. Sebenarnya, pada saat yang bersamaan di belahan dunia lain juga telah lahir gerakan-gerakan serupa seperti : La Via Campesina yang lahir di Mons Belgia di tahun 1993, LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) di Afrika pada tahun 1980-an yang di Indonesia dikembangkan sebagai Pertanian Terpadu, Organic Farming atau Ecological Farming yang tersebar di mana-mana di tahun 1980-an, SRI atau System Rice Intensification yang dilahirkan di Madagaskar di tahun 1960-an namun baru berkembang luas ke seluruh dunia di tahun 1990-an, dll. Gerakan-gerakan ini merupakan respons kreatif dan rasional dari masyarakat dan lembaga-lembaga pemerhati bidang pertanian terhadap kelemahan-kelemahan yang ditemukan pada teknologi Revolusi Hijau yang diperkenalkan lewat bibit gandum unggul di tahun 1950 di Mexico dan lewat bibit padi unggul di tahun 1960 di Filipinna oleh Ford & Rockefeller Foundation.[1]

Pada intinya, kegelisahan akan pertanian dan dampak revolusi hijau ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia. Lewat berbagai gerakan dan inisiatif yang ada di kota-kota lain di dunia, muncul berbagai startegi, salah satunya pertanian organik. Yang dimaksud dengan pertanian organik disini adalah sistem pertanian berselaras dengan alam. Misalnya tidak adanya penggunaan pestisida, dan menggunakan cara alami dalam membasmi hama, misalnya menggunakan predator alami dalam rantai makanan, juga penggunaan pupuk dari kotoran hewan. Selain itu membuat benih sendiri dari padi yang dihasilkan pada panen sebelumnya, serta mengembalikan kekayaan pengetahuan akan varietas lewat jaringan kelompok tani. Disamping itu, pertanian organik juga harus didasarkan pada siklus dan sistem ekologi kehidupan dan memperhatikan keadilan baik antarmanusia maupun dengan makhluk hidup lain di lingkungan.

Selang dua setengah dekade berselang, produk organik kini muncul dan mulai marak di supermarket-supermarket kota besar. Harga dari produk organik ini dijual lebih mahal dengan alasan produk yang sehat. Dari produsennya sendiri, untuk mendapat label organik, harus melalui sertifikasi oleh badan yang menentukan. Komite Akreditasi Nasional (KAN) menyerahkan sertifikat akreditasi produk organik ini kepada 7 (tujuh) Lembaga Sertifikasi Pangan Organik (LSPO)[2]. Ketujuh LSPO itu terdiri dari LSPO Sucofindo, LSPO Mutu Agung Lestari yang berlokasi di Jakarta; LSPO INOFICE, LSPO BIOCert Indonesia yang berlokasi di Bogor; LSPO Sumatera Barat; LSPO LeSOS yang berlokasi di Mojokerto; LSPO Persada yang berlokasi di Yogyakarta. Konon katanya untuk mendapatkan sertifikasi organik pada produk-produk pangan ini juga tidak murah, sehingga label organik kemudian dijadikan komoditas baru yang dipasarkan untuk kaum kelas menengah. Tentunya dengan menjual isu kesehatan. Semakin terlihat bahwa isu kesehatan hanyalah milik kaum kelas menengah yang punya pilihan dalam mengonsumsi, yang paranoia atas penyakit kanker hingga down syndrome yang konon disebabkan dari produk makanan berpestisida. Lalu isu ini dimutakhirkan kembali dengan permasalahan kesejahteraan petani, fair trade, sustainable farming dan semacamnya, seiring pengetahuan tentang etika konsumen berkembang di Indonesia.

Pemerintah kemudian juga menyokong hal ini dalam bentuk pengadaan festival makanan organik, atau kegiatan seperti eco-tourism yang dilakukan kantor-kantor pemerintahan ke daerah-daerah pertanian organik. Tentu saja hal ini secara tidak langsung menargetkan kaum kelas menengah kota sebagai konsumen utama. Ditekankan oleh Pak Baning, hal ini menjadikan konsumsi organik sebagai ritus dan bukan habitus. Artinya, mengonsumsi organik ini seperti kegiatan pelesir yang mungkin hanya dilakukan selama seminggu setelah kunjungan ke pertanian, dimana biasanya orang akan melihat pangan organik dan petaninya dengan cara yang eksotis.

Menurut saya, praktek pertanian organik ini memiliki paradoksnya sendiri, dilihat dari awal kelahirannya hingga kini. Pertanian organik yang awalanya sebagai strategi menghadapi pertanian yang produksinya berorientasi pada banyaknya hasil dan menjadikannya sebagai komoditas semata, tetapi saat ini menjadi komoditas lain yang dibungkus dengan nilai-nilai baru. Jika dulu gerakan petani organik untuk menjawab perlakuan tidak adil pada petani miskin dan sistem kapitaslis yang dibangun negara, disisi lain ia juga menjadi bentuk model kapitalisme baru yang dipasarkan untuk kelas tertentu.

Elia Nurvista, 2016

 

[1] Diambil dari https://www.usd.ac.id/lipsus.php?noid=385, diakses pada 28 April 2016

[2] Dari http://www.kan.or.id/?page_id=1748&lang=id, diakses pada 28 April 2016.

*Gambar ilustrasi merupakan foto karya dari penulis.