Dapur Milik Tuan Rumah

Tulisan ini merupakan hasil catatan Gatari Surya Kusuma selama berada di Dusun Mendiro, Jombang pada 21-23 Mei 2016.

Bentuk Rumah

Dengan tiga kamar utama, 1 ruang tamu, 1 ruang keluarga, 1 dapur dan dua kamar mandi (dengan kakus terpisah). Memiliki halaman depan yang tidak berpagar, sehingga seolah-olah halaman tersebut milik rumah lainnya. Rumah tersebut bercat biru muda, dengan bunga warna-warni tertanam di halaman depannya. Bunga tersebut selain berfungsi sebagai penghias halaman depan rumah, juga sebagai pengundang untuk hewan-hewan pembantu proses penyerbukan.

Untuk setiap kamarnya nyaris memiliki satu ukuran yang sama yaitu kurang 3×4 meter dengan satu jendela menghadap ke luar rumah. Udara yang sejuk cenderung dingin, membuat setiap kamarnya diwajibkan untuk memiliki selimut dan dipan agar tidak lembab dan dingin. Perpaduan lantai keramik dengan udara yang dingin cenderung lembab basah mendorong untuk setiap rumah memiliki karpet sebagai penghangat. Atap rumah yang tidak diberi ternit menyebabkan rumah ini semakin dingin dan lembab. Pengalaman saya tinggal selama dua hari, membuat saya paham mengapa mereka terus-menerus beraktivitas di dapur dan di depan tungku atau alasan mengapa selimut yang mereka miliki tergolong tebal.

Dapur yang mereka miliki cukup luas, nyaris 2/3 bagian rumah adalah dapur. Di dalam dapur, terdapat banyak perabotan termasuk sebagai tempat menyimpan motor. Mata pencaharian penghuni rumah tersebut adalah pencari kemiri dan kopi di hutan. Mengingat bahwa dusun Mendiro adalah dusun yang dikelilingi oleh hutan lindung, sehingga tidak heran jika untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat desa mengandalkan hasil hutan. Di dalam dapur, mereka juga mengolah hasil pencariannya seperti kemiri dan kopi.

Perbincangan di Dapur

Bentuk dapur yang relatif luas dan fleksibel untuk melakukan beberapa aktivitas menjadikan dapur sebagai salah satu ruang untuk bertemu dengan tetangga. Setelah sarapan pagi dan sembari menunggu antrian kamar mandi, saya memulai perbincangan dengan ibu pemilik rumah tempat dimana saya menumpang tidur selama 3 hari 2 malam. Perbincangan dimulai dengan saya melemparkan pertanyaan tentang aktivitas apa yang mereka lakukan dengan kemiri dua karung.

Obrolan tentang kemiri tergiring hingga ke obrolan tentang panganan liar. Pemahaman atas tanaman liar yang menjadi konsumsi utama masyarakat desa berbeda-beda. Mereka menganggap bahwa makanan yang menjadi konsumsi sehari-hari seperti rebung, suweg, dll adalah bukan makanan liar. Mereka menganggap bahwa semua makanan yang mereka makan dari ladang merupakan sesuatu yang akrab, sehingga penggunaan istilah panganan liar hanya berlaku bagi orang-orang di luar dusun. Menurut mereka, pola konsumsi dengan menu yang sama dalam beberapa hari bukanlah hal yang aneh. Mereka terbiasa untuk mengatasi rasa bosan terhadap makanannya dengan cara memasaknya dengan berbagai varian bumbu dan cara.

Hal ini menjadi kemudian menjadi pertanyaan saya atas kehadiran kami yang ingin membicarakan perihal panganan liar. Apakah membicarakan “pangan liar” ini cukup kontekstual pada wilayah dan komunitas yang tiap hari bergelut dengan hal tersebut? Atau penggunaan istilah ini yang sebenarnya lebih tepat untuk menggambarkan situasi tersebut dari perspektif orang kota? Saya menngunakan istilah “orang kota” yang kerap disebut warga lokal untuk menggambarkan sekelompok atau individu yang datang berkunjung ke Mendira, yang seringnya datang untuk alasan rekreasi (karena memang ada situs wisata air terjun) serta belajar tentang cara hidup warga di Mendira, termasuk saya.

Perbincangan di warung kopi.

Perbincangan ini dimulai saat saya menunggu jemputan bu Saeni untuk mengantar saya ke jalan raya tempat dimana saya akan menemukan bus kembali ke Jogja. Warung itu termasuk warung yang cukup besar dan serba ada karena memiliki beragam menu makanan seperti mie rebus, bakso, kopi, gorengan dan beberapa camilan lainnya. Posisi yang strategis yaitu berada di bagian awal dusun dan di pinggir jalan menuju ke air terjun menjadikan warung ini sebagai jujukan bagi sebagian warga dusun.

Saya memulai perbincangan dengan menceritakan kegiatan yang saya lakukan bersama teman-teman di lahan. Lahan merupakan salah satu tempat untuk bereksperimen yang diciptakan oleh Mantasa dan Holopis. Di lahan terdapat kebun untuk menanam beberapa bahan makanan seperti sorgum, kemangi, buncis, dll. Selain adanya kebun, di lahan juga terdapat dapur komunitas yang difungsikan sebagai dapur yang digunakan untuk secara bersama-sama untuk mengolah hasil sumber daya alam dari dusun tersebut. Menurut obrolan dengan pihak Holopis, dapur komunitas tersebut akan diproyeksikan sebagai tempat produksi makanan guna didistribusikan ke luar dusun. Pernyataan Holopis ini mendorong saya untuk menanyakan beberapa hal terkait keberadaan dapur komunitas dan penggunaan istilah tanaman dan panganan liar.

Ibu pemilik warung tidak memiliki ketertarikan terhadap aktivitas di lahan dikarenakan menurutnya aktivitas tersebut hanyalah pengulangan dari aktivitas sehari-hari yang ia lakukan. Ia sudah tinggal di dusun Mendiro sejak lahir dan intensitas untuk pergi ke kota juga tidak terlalu intens. Rutinitas ini yang menyebabkan ibu pemilik warung menjadi asing terhadap istilah tanaman liar dan keberadaan di ladang.

Yang menjadi catatan penting dalam percakapan ini adalah keberadaan warung yang berada sangat strategis (karena berada di ujung jalan menuju air terjun) sehingga beberapa pertukaran informasi terjadi disini. Keengganan ibu pemilik warung untuk bergabung di kegiatan dapur komunitas menjadi pertanyaan lanjutan atas peran kehadiran dapur komunitas di tengah dinamika masyarakat dusun Mendiro. Apakah keberadaan dapur komunitas yang mengambil lokasi strategis bagi orang dari luar dusun menjadi tidak terlalu penting bagi warga dusun?