Cerita Dari Selatan Stadion Maguwoharjo

Pagi itu hari Kamis sekitar jam 10 saya terbangun dengan perasaan sumuk yang luar biasa. Saya terbangun karena mendengar suara panggilan dari handphone saya dan juga beberapa kali mendengar suara gedoran dari pintu depan Kunci Cultural Studies Center, tempat saya menginap (tepatnya numpang tidur karena malas pulang) di malam sebelumnya. Sedikit tergesa saya menuju ke pintu depan dan mendapati Elia Nurvista sudah berada disana. Ya, hari itu memang saya dan Elia berencana mengunjungi Pasar Kamisan, sebagai salah satu tempat tujuan yang ingin kami kunjungi dalam rangka mencari tahu tentang apa dan bagaimana para penggiat pangan independen di Jogja bekerja. Kami menyebut pangan independen, karena menurut pengamatan kami, salah satu hal yang paling ditekankan dari pasar-pasar sejenis ini adalah bahwa kegiatannya tidak mengikuti sistem mekanisme pasar yang umum dimana terdapat mata rantai dalam jalur distribusinya. Mereka secara swadaya membuat platform-nya sendiri untuk mempertemukan produsen dan konsumen secara langsung.

Sekitar 30 menit kemudian kami sudah bersiap berangkat menuju Pasar Kamisan. Menggunakan Yamaha Mio 125 J milik saya, kami berdua berboncengan menuju ke sana. Pasar Kamisan sendiri merupakan bagian dari “Pasar Organik Jogja (POJOG)”, sebuah komunitas produsen/pedagang produk pangan lokal dan organik. Pasar Kamisan buka setiap hari Kamis dari jam 8 pagi hingga jam 1 siang (08.00-13.00 WIB). Lokasinya berada di Dusun Jenengan, sebelah selatan kompleks Stadion Maguwoharjo, tepatnya di halaman parkir rumah mbak Janti Wignjopranoto. Mbak Janti memang merupakan salah satu pencetus awal diadakannya Pasar Kamisan ini. Perjalanan kami memakan waktu sekitar 45 menit. Ya, cukup lama karena saya dan Elia memang tinggal di area selatan Kota Jogja tepatnya di bilangan Mantrijeron, sedangkan Pasar Kamisan berada di Maguwoharjo yang sudah masuk ke wilayah Sleman dan berada di wilayah utara. Kebetulan jua, jam saat kami berangkat merupakan jam dimana aktivitas kota sedang tinggi-tingginya, sehingga cukup membutuhkan kesabaran dalam melakukan perjalanan motor Mantrijeron – Maguwoharjo. “Awakke dewe ki wes koyo bis yo. Antar Kota Dalam Propinsi”, celetuk saya dalam perjalanan.

Perjalanan kunjungan ke Pasar Kamisan ini merupakan bagian dari proses penelitian untuk proyek kedua yang diusung Bakudapan. Melihat fenomena tentang pangan sehat, lokal dan organik, banyak pertanyaan dan kecurigaan dalam benak kami, bahwa hal itu lebih didasari sebagai gaya hidup semata. Untuk mencari tahu lebih dalam, kami mengunjungi beberapa aktivitas mereka, melakukan dialog dan interview santai dengan para pelaku dan merekam situasi dengan catatan-catatan lapangan serta dokumentasi. Metode ini sebagai langkah awal dalam penelitian ini, yang akan diperdalam dengan metode lain yang sedang kami pikirkan dan uji coba.

Setelah sempat kebablasan dari tempat yang kami berdua tuju, akhirnya kami pun menemukan lokasi yang dimaksud. Saat kami tiba, kondisi dan suasana di sana menurut saya cukup nyaman. Ada beberapa pengunjung, namun tidak terlalu ramai berjubel seperti orang antri Raskin ataupun berebut foto dengan idola kesayangan. Menempati area parkir dari Durga Tattoo, Pasar Kamisan berukuran sekitar 15 meter x 15 meter. Di sebelah Barat ada bagian yang dibangun menyerupai los-los pasar, untuk berjualan bagi para partisipator. Di bagian Selatan ada area lesehan bagi para pengunjung yang ingin beristirahat sambil menikmati makanan yang dijual di sana, dan di bagian tengah juga ada area untuk berteduh dan duduk-duduk sambil menikmati suasana ataupun ngobrol dengan para pengunjung ataupun pedagang yang ada di sana.

Turun dari motor, Elia langsung ngeloyor berpetualang memasuki area los para pedagang, sedangkan saya masih diam sejenak mengamati. Setelah sejenak mengamati situasi yang notabene “baru” bagi saya, saya baru menyadari juga bahwa perut saya keroncongan sepanjang jalan sebelumnya karena belum sarapan. “Baiklah, momen yang tepat ini!”, gumam saya dalam hati sambil berjalan menuju area para pedagang. Pandangan saya langsung tertuju pada salah satu lapak yang menyediakan berbagai olahan kue organik. Sosok yang tampak seperti Apple Pie yang terpampang di bagian atas meja seketika langsung membuat saya berbelok menghampiri.

“Mas, ini kue apa? Apple Pie bukan?”, tanya saya pada sang penjual.

“Iya mas, itu Apple Pie. Itu saya buat di dapur rumah sendiri bareng istri saya mas. Tepungnya pakai tepung organik low fat yang tidak ada campuran gula, Mas. Apelnya yang untuk topping pakai Apel Malang, sedang untuk selainya kita pakai campuran Apel Malang dan Apel Dieng, Mas. Soalnya buat nyari campuran rasa manis dan asem. Biar seger, Mas.”

“Oohhh…, full Apel dong Mas?” (jawabku sambil berpikir nih orang kilat juga cara promosinya…)

“Iya Mas. Mau coba Mas?”

“Boleh Mas. Sepotongnya berapa?”

“Sembilan ribu, Mas.”

“Oh, kirain gratis. Hahahahaha…, ya udah, minta dua potong Mas!” (niat beli dua potong adalah satu untuk saya dan satu untuk dicoba teman-teman Bakudapan yang lain nantinya, walaupun akhirnya yang sepotong lagi dihabiskan oleh teman saya yang bernama Gatari.)

Enak! Itu kesan pertama saya saat mencicipinya, dan keterusan untuk menghabiskannya (mohon maaf, karena rasa lapar maka naluri memotret makanan saya sempat hilang saat itu). Kemudian saya melanjutkan untuk berkeliling dan mencoba jajanan yang lainnya. Ketan, Timus, hingga es Dawet Ayu pun tak luput dari cicipan saya. Untuk jajanan yang dijual di sini, harganya bisa dibilang cukup terjangkau dan rasanya lezat. Para penjualnya pun entah kenapa semuanya ramah dan santun. Mereka dengan sabar melayani para pembeli dan bahkan menjawab setiap pertanyaan yang dilontarkan oleh pembeli dan pengunjung.

Setelah berkeliling beberapa saat dan ngobrol dengan beberapa penggiat ataupun pengunjung di sana, ada hal-hal yang saya soroti dan saya anggap menarik di Pasar Kamisan ini. Yang pertama adalah live performance. Ada salah satu gerai Sushi vegan yang menurut saya menarik karena di gerai tersebut si bapak penjual menyuguhkan ‘atraksi’ pembuatan sushi dari kedainya di hadapan para pengunjung. Beliau bahkan senantiasa dengan sabar dan ramah menjawab pertanyaan dari setiap pengunjung yang menontonnya, dan bahkan di interupsi oleh keisengan saya untuk memotret produknya pun juga tidak masalah. Malah beliau mengajak kami berdua untuk mampir di restoran milik beliau yang ada di daerah Prawirotaman. Berbeda dengan kedai sushi khas Jepang yang para chefnya terkesan arogan dan membuat jarak dengan konsumen serta terlihat tidak ingin diajak ngobrol.

Kedua adalah hal tentang informasi. Kami berdua sempat ngobrol dengan seorang pedagang keju bernama Mas Jimmy yang kebetulan berniat untuk membuka toko di Rotowijayan, dan bagaimana dia menyebut dirinya artisan. Kami menganggap bahwa kata artisan itu bukan sekedar sebagai produsen atau pembuat, tapi lebih ditekankan pada pembuat yang memiliki passion dan pengetahuan yang mumpuni akan produknya. Lebih lanjut pun Mas Jimmy juga menjelaskan panjang lebar tentang keju pada kami (yang sayang sekali lagi kami tidak merekamnya). Sebenarnya untuk lebih lanjut hal ini menarik untuk dibahas bagaimana mereka melihat dan menamakan diri mereka yang tidak mau asal disebut sebagai penjual. Seperti terlihat pada saat kami berdua bertanya tentang bagaimana keju yang vegan, vegetarian dan yang biasa. Mas Jimmy dengan penuh semangat menjelaskan dan terlihat ingin mengedukasi para konsumennya. Proses edukasi konsumen juga ditekankan dalam gerakan ini, mungkin agar antara produsen dan konsumen sama-sama memiliki pengetahuan akan nilai dari produk yang dianggap baik, sehingga tidak ada lagi keluhan tentang harga, kuantitas, dan sebagainya. Mas Jimmy sendiri sudah menempuh pelajaran tentang perkejuan hingga jauh ke Kanada.

Ketiga adalah tentang edukasi untuk komoditas. Selain edukasi kepada konsumen, gerakan ini juga mengedukasi produsen-produsen yang dilihat memiliki potensi sebagai penggerak. Artinya mereka kemudian membentuk jaringan dengan petani-petani lain yang mau diajak bertanam dengan cara, organik misalnya. Seperti pada Jogja Organik di bawah asuhan Mas Dana, sebagai salah satu lapak di Pasar Kamisan yang menjual sayuran. Metode beliau adalah membina petani-petani di kawasan Muntilan, Merapi, untuk bertanam organik. Kami berdua pun berpikir bahwa pada akhirnya muncul penekanan sayur organik sebagai komoditas, yang menurut Elia, harganya lebih mahal daripada harga di pasar tradisional biasa. Sebagai contoh, Elia membeli 3 buah wortel ukuran sedang, 2 bonggol daun pagoda (seperti sawi sendok) dengan harga 17.300 rupiah. Tetapi dengan alih-alih sehat dan tanpa pestisida, membuat orang merasa harganya wajar.

Pengunjung yang hadir di Pasar Kamisan ini pun juga beragam. Mulai dari mbak-mbak berjilbab yang tampak sholehah dan mas-mas yang tampak alim yang ternyata mereka berdua sedang penelitian, ada juga ibu-ibu dengan setelan sosialita dan tampak mapan yang berasal dari Jakarta; jauh-jauh datang ke berbagai tempat termasuk Pasar Kamisan hanya untuk membeli produk-produk vegan, hingga ada juga yang datang hanya karena penasaran dan ingin tahu seperti saya dan Elia. Sepengamatan saya, sebagian besar yang datang di acara Pasar Kamisan dari luar tampak seperti kalangan ekonomi kelas menengah ke atas. New middle class movement? Well, I dunno.

Kurang lebih seperti itu gambaran apa yang kami temukan di Pasar Kamisan. Saya sebagai salah satu penggiat record store dalam skena musik Jogja, menemukan satu kesamaan diantara para penggiat lapak rilisan dalam skena musik dengan para penggiat pasar organik di Pasar Kamisan Jogja. Praktik lapak yang selalu hadir langsung dengan bentuk transaksi tradisional secara langsung, serta bertatap muka langsung dengan para konsumen dapat dibaca sebagai sebuah penekanan ke dalam bentuk interaksi langsung. Interaksi langsung ini dihadirkan sebagai usaha agar jarak kelas antara pelapak dengan para konsumen mampu dihilangkan, dan tak lagi dibatasi oleh hal-hal semacam toko dan meja kasir. Pada akhirnya lapak dalam Pasar Kamisan menjelma menjadi salah satu sudut interaksi dengan segala obrolan dan informasi yang ada di dalamnya.

Kehadiran lapak secara langsung mampu menghadirkan interaksi yang sebelumnya dibatasi oleh hal-hal yang disebutkan di paragraf sebelumnya. Bentuk berjualan secara langsung dan tradisional membuka ruang antara pelapak dengan konsumen. Dalam konteks ini, lapak dalam Pasar Kamisan dan figur pelapaknya bisa menjadi jembatan informasi dalam dunia komunitas organik itu sendiri. Informasi yang dimaksud adalah cerita dan gosip di seputaran dunia organik, dan dialirkan langsung dari balik sebuah meja lapak.

Beberapa pedagang ada yang telah memiliki kios tetap, namun banyak yang memilih untuk tetap datang ke pasar organik semacam Pasar Kamisan dengan alasan untuk memperkuat jejaring antara sesama produsen serta konsumennya. Dalam ruang pertemuan ini, mereka saling silaturahmi untuk berbagi informasi dan mungkin juga kegelisahan akan apa yang mereka geluti. Selain itu mereka juga menggunakan lapaknya sebagai display untuk bertemu konsumen baru yang berpotensi untuk terus menjadi konsumen tetapnya, mengingat produksi barang-barang ini terbatas dengan konsumen yang terus bertambah.

Dari yang saya amati dalam Pasar Kamisan, para pedagang bisa hadir dari berbagai kalangan baik secara personal maupun institusional. Para pedagang ini secara tidak langsung dituntut untuk memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang barang-barang yang dijualnya serta pengetahuan dan informasi tentang dunia organik itu sendiri. Tidak ada pendidikan khusus untuk hal ini sehingga pedagang dituntut untuk mau mengedukasi dirinya sendiri dalam rangka membangun informasi yang edukatif dan komprehensif tentang dunia organik untuk dibagikan kepada para konsumen; dan secara tidak langsung mengedukasi konsumen dengan berbagi pengetahuan itu.

Komoditas selalu direpresentasikan sebagai hasil proses produksi yang dikuasai oleh hukum permintaan dan penawaran. Komoditas akan dikatakan memiliki sejarah latar belakang. Sejarah akan komoditas itu juga tergantung akan kebudayaan di mana barang itu berada. Penafsiran ini bisa berbeda bagi masing-masing individu hingga sampai pada poin tertentu, setiap barang memiliki kehidupan sosial tertentu yang bisa memunculkan praktik kebudayaan tersendiri.

Kelompok yang memahami komoditas ini pun juga akan mendapat tempat tersendiri dalam masyarakat atau komunitas. Mereka memiliki kuasa untuk mengatur produksi barang dan siapa saja yang berhak mengkonsumsinya. Mereka memiliki sistem dan aturan tersendiri di dalamnya. Mereka akan mencari area yang memberikan keleluasaan untuk bergerak dan memunculkan nilai-nilai di dalamnya. Sebagai konsekuensi akan hal ini, barang yang bersangkutan juga hanya bisa bergerak terbatas dalam proses produksinya. Siapa yang mengkonsumsinya pun juga tidak sembarangan. Perlu ada syarat sosial tertentu guna memasuki area konsumsi barang ini. Keterbatasan ini akibat dari kekuatan aturan sosial yang dibangun oleh masyarakat atau komunitas itu sendiri.

Keberadaan barang dalam Pasar Kamisan sebagai bagian dari dunia organik di Jogja masih saya lihat sebagai sebuah komoditas, yang akan mampu memunculkan satu kehidupan sosial tersendiri yang mampu menciptakan nilai, ruang, hingga interaksi di dalamnya. Tenaga kehidupan dari sebuah komoditas ini saya lihat muncul dari para pelaku yang secara langsung terlibat. Mereka senantiasa hadir untuk menjaga kehidupan sosial serta arus perputaran nilai dalam dunia organik di Jogja. Pasar-pasar organik yang ada dalam kota Jogja seperti Pasar Kamisan bisa dianalogikan sebagai salah satu wujud “panggung” nya.Lebih lanjut? Masih membutuhkan langkah dan proses pengamatan serta analisa lebih mendalam lagi. Apa yang saya paparkan di sini semata hanyalah sekilas penangkapan saya dari kunjungan ke Pasar Kamisan bersama Elia sebagai bagian proses eksperimen kelompok kami. Yang jelas kami mengakhiri kunjungan di Pasar Kamisan hari itu dengan membeli beberapa sayuran dari pertanian organik yang cukup mahal kemudian kami masak. Ternyata rasanya memang lebih enak, entah karena lapar, tersugesti atau memang enak. Cheers!

(Bagoes)