Catatan Makan Siang Sisa #1

Bakudapan sedang menjalankan proyek yang kami beri judul Living Leftover. Dalam proyek ini, kami ingin mengumpulkan kosakata, terma, serta cara melihat atau gagasan dalam memaknai apa yang disebut sisa. Meskipun kami memulainya dari sebentuk ide akan sisa-sisa makanan, tapi kami tidak ingin melihat dan membahasnya terbatas dalam bentuk tersebut. Ataupun hanya untuk mengkampanyekan supaya tidak membuang-buang makanan karena masih banyak orang yang kekurangan. Kami ingin lebih jauh memahami mengapa kategori sisa dan yang bukan sisa terbentuk dan mengapa pula sisa seringnya berasosiasi dengan nilai yang lebih rendah. Menurut kami, lewat sisa makanan kita bisa melacak dan memaknai banyak hal dalam kehidupan ini.

Karena proyek ini pertama dipresentasikan dalam bentuk instalasi obyek-obyek berupa bahan pangan sisa di lobi hotel Greenhost, Yogyakarta selama 2 bulan, kami juga kemudian memikirkan untuk membuat rangkaian yang sesuai dengan konteks tempat instalasi tersebut dipamerkan. Dalam instalasi tersebut kami memajang berbagai jenis makanan sisa; mulai dari makanan kaleng yang sudah kadaluarsa dan kemasannya berkarat, sayur dan buah yang membusuk, sisa tulang sapi sehabis makan tengkleng, roti yang berjamur di salah satu sisinya, sisa biskuit yang lupa dimakan, ampas kelapa parut yang telah diambil sarinya untuk santan, sisa nasi yang kemudian dijemur supaya lebih lama mencapai masa basi, sisa minyak sayur setelah dipakai menggoreng 3 kali, serta sisa ampas kopi yang kopinya habis diminum. Selain artefak-artefak tersebut kami juga menyertakan nukilan-nukilan yang kami anggap puitis dalam menceritakan benda-benda sisa tersebut, yang kami ambil dari novel, tulisan teman, lirik lagu serta dari internet yang baik kami tahu maupun tidak kami tahu milik siapa.

Kemudian kami terpikir mengundang orang-orang lain untuk semacam merenungkan perihal sisa ini, sembari makan siang yang berupa olahan sisa makanan sarapan di Greenhost. Dalam industri hotel, terutama dengan kelas bintang 3 keatas, pastinya fasilitas makan pagi secara prasmanan tidak asing lagi. Dan tentunya dari aktifitas tersebut menyisakan makanan-makanan yang tak lagi menggugah selera jika dimakan di siang hari. Kami kemudian meminta ijin kepada pihak manajemen hotel untuk memberikannya pada kami, untuk kami olah kembali menjadi makanan “baru” dan kami sajikan pada tamu kami yang tertarik mengikuti acara ini. Syaratnya : mendaftar, datang tepat waktu dan terlibat aktif dalam perbicangan soal memaknai sisa ini. Acara ini kami adakan selama 3 hari dalam seminggu sebelum menginjak bulan Ramadhan, karena pastinya sulit membuat acara makan siang disaat mayoritas orang menjalankan puasa. Selain soal menu yang sisa, kami juga mengumpulakan piring-piring yang ada di rumah kami. Beberapa ada yang dulunya dibeli dari toko sisa ekspor, ada yang sisa pindahan milik teman, dan ada yang pecah dan bagian yang tersisa lebih dari separuh sehingga masih dapat untuk menyajikan makanan. Kemudian di atas piring-piring tersebut kami menuliskan kembali nukilan-nukilan tentang sisa yang konteksnya lebih luas lagi, bukan hanya soal makanan, tapi misalnya soal sisa perang dunia, sisa kebudayaan hingga sisa sistem kapitalis. Tujuannya sebenarnya supaya bisa memantik pembicaraan jika dalam makan siang nanti kami mentok dengan obrolan sisa ini.

Acara makan siang pertama dihadiri oleh 9 tamu serta 3 orang dari Bakudapan yang bertugas sebagai pemandu yaitu saya dan Tyas, serta Ayas sebagai pencatat percakapan. Selain itu 2 orang lainnya dari kami menentukan menu serta eksperimen bahan masakannya, yaitu Nisa dan Gloria. Percakapan pertama dimulai setelah kami menerangkan tentang niat kami dalam makan siang tersebut, serta sedikit menjelaskan tentang kami sebagai kelompok studi pangan dan ketertarikan kami. Karena kami menjelaskan soal makanan sisa sarapan yang akan kami sajikan, kemudian salah satu partisipan benama Cella mengeluarkan beberapa buah jeruk dari dalam tasnya dan menceritakan bahwa jeruk-jeruk tersebut juga merupakan sisa-sisa yang ditemukan dalam kulkasnya. Entah kebetulan atau memang disengaja Cella membawa jeruk tersebut ke acara ini, tetapi hal tersebut cukup berhasil memantik pembicaraan pertama kami tentang tentang sisa lewat teknologi kulkas.

“Kulkas jadi penemuan yang membuat orang banyak membuang makanan, karena membuat kita belanja banyak bahan makanan dan menyimpannya. Padahal niatnya untuk memperpanjang durasi ketahanannya…”

Ungkapan Cella yang kemudian disambung peserta lain yang juga merasa kulkas membuat orang lebih konsumtif karena seakan memiliki pembenaran untuk belanja lebih banyak. Padahal kenyataannya setiap minggu hampir dari kita akhirnya membuang makanan tersebut.

Setelah pembicaraan tentang kulkas, Nisa dan Gloria kemudian datang membawa masakan pertama. Masakan pertama muncul berupa pangsit goreng yang didalamnya berisi nasi goreng sisa tadi pagi. Lalu dihias dengan tumis sayuran dan serpihan bihun goreng yang tampil seperti kremesan memenuhi piring peserta. Kemudian percakapan dilanjutkan kembali soal barang-barang sisa yang kemudian kita pakai lagi. Tyas dari Bakudapan memantik lewat ceritanya tentang baju yang ia pakai berasal dari toko impor atau yang biasa disebut dengan awul-awul. Kemudian disambung dengan peserta Vera yang juga bercerita tentang jam tangannya,

“Jam yang saya pakai punya Bapak tapi rusak strapnya, padahal masih bisa dipakai karena water resistant, lalu aku minta tolong teman untuk membuatkan custom strap nya. Alasan aku tetap memakai jam ini karena ngeman, dan memori karena punya Bapak.”

Kemudian kami tertarik dengan istilah ngeman serta soal memori dalam melihat barang sisa. Kata ngeman yang berasa dari bahasa Jawa eman-eman memiliki arti ‘sayang jika’ atau ‘sebaiknya tidak’, misalnya sayang kalau dibuang atau sebaiknya benda tersebut tidak terbuang. Biasanya benda yang di-eman adalah sesuatu yang memang tidak diprioritaskan untuk tetap dimiliki, atau secara nilai guna serta nilai ekonomis tidak lagi pada keadaan terbaiknya. Alasan benda tersebut di-eman juga seringnya karena ada nilai memori didalamnya, seperti kata Mechtilda, salah satu peserta yang bilang :

“Kalau ke pasar klithikan bawaannya sedih karena rasanya di sana isinya barang curian semua, sisa-sisa kenangan orang yang dipaksa berpisah dari pemiliknya”.

Pembicaraan kami kemudian bergerak pada pasar klithikan, atau pasar barang bekas tempat dikumpulkannya barang-barang yang masuk ke dalam kategori sisa. Mulai dari sisa onderdil motor tua, sisa baju yang sudah tidak trendy lagi, kaset-kaset dan piringan hitam musik yang rusak, pajangan-pajangan dan dekorasi rumah jaman dulu, hingga mesin-mesin yang tampak menyedihkan dengan teknologi yang ketinggalan jaman.

Barang-barang tersebut berkumpul dan membawa sejarah mereka sendiri-sendiri. Mungkin dulunya ia adalah mesin ding-dong paling mutakhir yang untuk memainkannya saja anak-anak harus antri lama, atau celana jeans dengan potongan paling hits pada 10 tahun lalu. Tetapi sekarang mereka seongok barang sisa masa lalu yang nilainya turun drastis dan tidak lagi diinginkan orang-orang kebanyakan. Memang tidak pernah ada nilai yang inheren atau tetap dalam setiap benda-benda, seperti yang penah kami bahas saat sesi membaca buku Arjun Appadurai “The Social Life of Things”. Salah satu peserta, Renan, kemudian menambahkan

Jika kita bicara soal sisa atau leftover, selalu berasosiasi dengan sesuatu yang lemah. Seolah dalam kamus benda-benda ataupun manusia, ada kategori yang tercipta antara yang lemah dan yang kuat, yang unggul dan yang cacat”

 Kami lalu membicarakan siapa otoritas atau subyek yang kemudian memberi, melabeli, menambahkan nilai-nilai tersebut dan atas tujuan apa. Sejauh ini kecurigaan kami adalah rezim kapitalis yang berorientasi pada nilai ekonomi-lah yang memiliki peranan paling banyak dalam hal ini, walaupun dalam percakapan singkat ini, kami menyederhanakan banyak hal atas nilai-nilai dalam benda-benda serta manusia tersebut.

Seperti halnya dalam kasus benda sisa masa lalu, tidak menutup kemungkinan untuk nilai barang ini “bangkit” lagi. Kami kemudian membicarakan potensi barang sisa ini yang oleh “pasar” kemudian di beri embel-embel vintage serta dibubuhkan nilai memori padanya. Bagaimana anak-anak muda kemudian memburu piringan hitam lawas, atau celana model baggy yang in kembali, atau pajangan-pajangan dekorasi dengan gambar ala tahun 70-an kebelakang yang banyak dipasang di kafe-kafe. Mekanisme pasar-lah yang kemudian membangkitkan kembali nilai ekonomi dibalik benda-benda ini dengan imbuhan nilai kultural di dalamnya. Malahan kemudian pasar menciptakan benda-benda baru dengan orientasi pada bentuk lama ini, untuk kita, sebagai konsumen berlomba-lomba lagi memilikinya dan sering kita sebut tren. Hal ini juga terjadi pada makanan dengan munculnya tren paleo-diet, atau gaya hidup makan sesuai dengan apa yang dimakan nenek moyang jaman dahulu dimana pilihan bahan makan dan cara mengolahnya tidak sebanyak dan sekompleks sekarang. Karena alasan kesehatan untuk menghindari makanan yang diproses terlalu banyak seperti yang umum terjadi di jaman sekarang, orang ingin kembali lagi mengkonsumsi sealami mungkin bahan pangan mereka. Tentu saat menjadi trend, hal ini terjadi karena dipicu berbagai media, buku, figur pelakunya serta propaganda lainnya.

Menyambung soal makanan, kami lalu membicarakan makanan yang sedang kami santap, yang hampir semuanya menggunakan metode deep fried untuk “menyelamatkan” rasa dari makanan sisa ini. Mungkin karena kita selalu berfikir, apapun yang digoreng garing itu renyah dan gurih, seperti kata Erby, peserta makan siang itu,

“Menggoreng dengan tepung adalah salah satu cara menyelamatkan rasa makanan sisa.”

Tapi kemudian Wulang, peserta lain menimpali :

“Makanan ‘kan sesuatu yang akan masuk ke dalam tubuh. Jika sudah digoreng dan kemudian digoreng lagi, bagaimana dampaknya terhadap kesehatan tubuh?”

Renan juga menambahkan:

“Iya memang menggoreng adalah metode yang paling umum untuk menyelamatkan makanan, tapi kita harus berfikir ulang dengan metode ini, karena selain kesehatan juga misalnya dengan isu perkebunan sawit yang tidak ekologis…”

Tentu saja kritik-kritik dan saran tersebut kemudian harus kita pikirkan kembali saat memasak makanan sisa yang sudah melalui proses masak. Erby kemudian melanjutakan ceritanya tentang makanan sisa:

“Aku pernah denger soal Sustainable Living Lab di Singapore, dan mereka punya project makanan sisa juga. Mereka biasanya ke Circle K atau restoran-restoran yang punya makanan sisa, lalu mereka mendistribusikannya ke panti jompo atau para homeless. Dan itu sampainya hanya ke ‘orang-orang sisa’ yang hanya mau makanan sisa, karena bagi mereka yang penting makan. Tapi sepertinya agak susah kalau di Indonesia, karena jarang ngasih makanan yang hampir expired secara gratis, biasanya didiskon aja.”

Kami lalu tertarik dengan istilah “orang-orang sisa” dan bagaimana antara sisa yang satu dengan yang lain kemudian berhubungan dan membentuk jalurnya. Makanan sisa untuk para orang-orang sisa. Orang-orang sisa bisa dikategorikan sebagai pengangguran yang mungkin dianggap tidak memliki kemampuan produktif dalam menciptakan barang dan jasa dari kacamata ekonomi, homeless, gelandangan, serta orang jompo yang sudah tidak punya sanak saudara serta tidak mampu menghidupi dirinya sendiri karena terlalu renta. Dalam kehidupan sosial, kategori orang-orang sisa berada dalam hierarki terbawah. Mungkin lebih bawah daripada sekedar kaum miskin. Kemudian Tyas menggaris bawahi :

“Yang menarik meskipun dia sudah menjadi sisa, didalam sisa masih ada struktur dan kelas, contohnya baju di awul-awul. Meskipun diantara sisa, kita masih memilih sisa yang paling bagus, yang biasanya diletakkan di gantungan dengan hanger yang dijual lebih mahal, bukannya yang ditumpuk-tumpuk dalam satu keranjang itu. Ternyata bisa ada hierarki juga pada sisa. Mungkin kita juga menganggap pengangguran usia produktif masih lebih baik dan punya harapan daripada pengangguran jompo. Orang jompo masih lebih baik daripada gelandangan, dan seterusnya”

Setelah kurang lebih kami berbincang selama 1 jam, sebagian besar partisipan termasuk saya sendiri terlihat masih menyisakan makanan dalam piring kami masing-masing. Hanya ada 1 peserta yang tampak telah menghabiskan makanannya. Karena kami ingin beranjak pada menu kedua, yaitu pencuci mulut yang dibuat dari nasi putih sisa, kemudian kami beri gula dan dibentuk bola-bola dengan keju dan coklat didalamnya, saya segera melontarkan pertanyaan apakah semua sudah selesai dengan makanannya.

Beberapa dari kami, termasuk saya kemudian mengaku tidak mampu menghabiskan seluruh makanan di piring kami. Ada banyak alasan: sudah kenyang, tidak berselera, maupun terlalu banyak minyak. Karena kami sendiri baru saja membicarakan persoalan sisa-sisa, terganggu dan tidak etis rasanya kalau kami kemudian tetap menyisakan makanan ini, walaupun saya sebagai host mengajukan usulan untuk membuang sisa makanan dalam piring kami. Banyak keraguan tampak dalam wajah partisipan. Saya semakin tertantang untuk menguji diri kami akan persoalan sisa ini, walaupun mungkin dalam kehidupan sehari-hari kami tidak akan merasa se-terganggu ini saat menyisakan makanan. Tapi sungguh dilematis dalam forum makan siang yang berbicara sisa tapi juga mereperoduksi kembali apa yang dianggap sisa. Saya kemudian menawarkan kesepakatan sekali lagi, apakah kita semua setuju untuk membuang dan segera melupakan makanan sisa ini dan melanjutkan acara bahkan melanjutkan hidup kita masing-masing? Hanya ada satu orang yang setuju, yaitu Wulang. Saya memberi alasan mengapa kita membuangnya, adalah supaya kita membebaskannya dari kategori sisa makanan dan membiarkannya untuk melanjutkan jalur hidupnya yang baru. Tapi kemudian seseorang bilang dia akan masuk menjadi kategori sampah yang malahan lebih buruk dari sisa. Saya lalu menawarkan siapa yang punya usulan atau solusi lebih baik.

Mechtilda memberi solusi untuk membuatnya menjadi kompos dan pupuk tanaman, tapi kemudian Cella ragu, karena terlalu banyak kandungan minyak dalam makanan ini, tidak baik untuk tumbuhan dan tanah. Erby kemudian berkata ingin membungkusnya dan memakannya kembali jika ia lapar. Vera menambahkan ingin membungkusnya dan memberikan pada ayam-ayam di rumahnya. Kemudian ada satu pernyataan Renan yang menarik :

“Kita ini makhluk yang sangat antroposentris, semua selalu tentang kita dan bukannya makhluk lain. Kalau kita memberi makan sisa pada binatang peliharaan kita sama saja kita menganggapnya lebih rendah. Jika mereka bisa bicara, mungkin mereka juga menolak untuk diberi makanan sisa”

Hasil dari pembicaraan ini, kemudian saya menanyakan lagi, siapa yang setuju untuk dibungkus dan dibawa pulang untuk dimakan sendiri, bukannya diberi pada hewan peliharaan dan sebagainya. Hampir semua setuju, kecuali seorang peserta bernama Dio. Dio tetap bersikar menghabiskannya karena jika dibungkus (yang kebetulan kami menyediakan plastik untuk membungkus) akan menyisakan kembali sampah plastik yang sulit diurai. Dio meminta waktu tambahan untuk menghabiskan makanannya. Saya kemudian kembali bertanya pada peserta, siapa yang ingin diberi waktu tambahan untuk menghabiskan makanannya. Ternyata hanya Dio. Kemudian Tyas mengusulkan kembali pada ide membungkus, tetapi tidak dengan plastik melainkan dengan kertas dan tisu. Hampir semua setuju dengan ide itu.

Renan kemudian menambahkan usul, sebelum dibungkus dengan kertas dan tisu, sebaiknya kita masing-masing berfoto dengan sisa makanan kita, sebagai pengingat akan sisa yang kita hasilkan siang ini. Lalu kami masing-masing berfoto di depan instalasi karya Living Leftover dengan membawa piring kami.

Setelah membungkus makanan kami, kami kemudian menemukan nuilan-nukilan yang tertulis di dasar piring kami masing-masing . Kami membahasnya sembari makan hidangan pencuci mulut nasi sisa yang dibuat manis. Salah satu yang nukilan yang tertera pada piring Cella bertuliskan

“We’re still eating the leftovers of World War II.”

Cella kemudian mengintepretasikannya lewat Monsanto, perusahaan benih dengan paten dan GMO. Menurut Cella, sejarahnya dulu Monsanto adalah perusahaan bahan kimia, termasuk untuk mensuplai senjata perang seperti bom. Kemudian dengan berbagai percobaannya, saat ini Monsanto lebih dikenal dengan pemasok bibit dan benih pangan, mulai dari beras, jagung, hingga kapas.

Saya lalu juga menambahkan intepretasi atas nukilan tersebut. Menurut saya perang dunia ke 2 juga kemudian yang membentuk konstelasi politik dan ekonomi negara-negara super power dan negara dunia ketiga. Hal ini juga berimplikasi pada apa yang kita makan, contohnya hasil-hasil bumi terbaik negara-negara dunia ketiga ini, mulai dari sayur, buah, ikan hingga tambang diproduksi untuk memenuhi kebutuhan negara-negara kaya tersebut, sementara kita, produsennya hanya mendapat sisanya. Kemudian Renan menyambung dengan :

“There’s an asymmetrical power in develop country. Di negaraku juga memproduksi pisang, tapi diekspor yang bagus-bagus aja jadi yang tersisa untuk kita tinggal yang jelek-jelek.”

Kemudian Dio mendapat nukilan :

“Leftovers in their less visible form are called memories. Stored in the refrigerator of the mind and the cupboard of the heart.”

 Menurutnya tidak semua sisa itu tidak bernilai, misalnya kenangan atau sisa kebudayaan yang lebih berharga. Terma sisa itu juga masih abu-abu menurutnya. Tyas kemudian menyambung :

“Menurutku, sejarah juga bagian dari sisa. Kalau diromantisir itu seperti mengingat memori akan hal-hal yang kadang terlupakan. Tapi juga kemudian sejarah dikuasai oleh orang-orang tertentu, dan kita jadi objek sejarah. Jadi kita diatur untuk mengingat memori mana yang patut diingat dan mana yang harus dilupakan. We never have our own history, we are the rest.”

Kira-kira begitulah percakapan-percakapan dan intepretasi yang terjadi saat kita membicarakan sisa. Selengkapnya akan kami unggah versi audionya lewat akun soundcloud kami. Setelah kurang lebih 30 menit berlalu dengan cara kami mengintepretasi nukilan-nukilan tersebut, acara makan siang ini akhirnya selesai. Sebagian besar peserta pulang dengan membawa sisa makan siang, yang jika ini sebuah perjalanan, entah mereka akan menuju kemana.

Elia Nurvista, 2017