Catatan Atas Kegiatan Observasi Pangan Liar di Lahan Terlantar

Semangat ngasak untuk mengenal pangan liar rupanya tidak terhalang oleh teriknya matahari siang itu. Berada di lahan bekas kebun Kakao di belakang Gedung Jogja Expo Center, sebuah kelompok kecil terdiri dari enam belas orang menghalau semak, dahan ranting yang menjalar untuk meraba, membaui, dan mencicipi maman ungu, sintrong, timun liar, serta tumbuhan lain yang tumbuh liar.

Adalah Bakudapan, sebuah kelompok studi makanan yang menginisiasi acara “Please Eat Wildly; Observasi Pangan Liar di Lahan Terlantar” pada hari Kamis, 11 Mei 2017 lalu. Bersama dengan Pak Baning dan Luinambi Vesiano sebagai pematik diskusi, acara ini bertujuan untuk membicarakan gagasan mengenai “liar” yang memiliki banyak definisi serta tidak terbatas pada konteks tumbuhan saja. Lahan terlantar bekas kebun kakao di belakang Gedung Jogja Expo Center menjadi pilihan untuk menjajal kemungkinan pemanfaatan tanaman liar yang tumbuh berdampingan dengan pembangunan kota.

Ngasak

Acara dimulai dengan ngasak, sebuah istilah Jawa yang artinya adalah memungut dan mengumpulkan. Istilah tersebut sangat lekat dengan petani, dimana pasca panen padi biasanya ada bulir-bulir padi yang tertinggal saat panen, kemudian dikumpulkan oleh sanak saudara atau tetangga, sebagai bentuk simbolik relasi sosial diantara mereka. Kami menggunakan istilah ngasak karena kami tertarik dengan praktek memungut dan mengumpulkan sesuatu atas kepemilikan lahan orang lain atau atas lahan yang dianggap tak bertuan. Menurut kami, bentuk ngasak perlu untuk terus di uji coba, terutama disaat kepemilikan properti pribadi dan ruang publik menjadi salah satu isu yang terus dikontestasikan.

Saat kami survey sebelumnya di lahan belakang Gedung Jogja Expo Center yang berupa tanah lapang disertai tumbuhan semak rimbun di beberapa tempat, beberapa warga mengatakan bahwa lahan tersebut dimiliki oeh manajemen Jogja Expo Center. Meskipun begitu kami melihat beberapa warga memanfaatkan lahan tersebut untuk menggembala kambing mereka dengan bebas. Selebihnya lahan-lahan tersebut dipenuhi sampah, pecahan kaca, dan hal-hal yang dianggap tak bernilai lainnya. Asumsi kami, karena tidak dianggap bernilai secara ekonomis, maka kami dan orang-rang yang memanfaatkan lahan tersebut dapat dengan mudah mengambil apa yang ada disana. Entah bagaimana jika lahan itu kemudian dibangun dipagari dan dijadikan kompleks pertokoan, misalnya.

Dipandu oleh Pak Baning dan Ves, kelompok kecil yang terdiri dari enam belas orang memasuki rimbun pepohonan yang menyerupai hutan kecil dan mulai me-ngasak. Kelompok kecil itu sesekali berhenti, ketika menemukan sebuah tumbuhan liar yang dapat dijadikan bahan pangan. Beberapa tahap untuk observasi tanaman liar dilakukan, yakni melihat, meraba, mencium dan merasakan. Bagi kami, mempelajari tumbuhan melalui pengalaman langsung yang melibatkan indera tentu berbeda dengan membaca buku atau melalui gambar. Saat kami mecicipi langsung tumbuhan-tumbuhan itu, tak jarang muncul dari mulut peserta komentar-komentar tidak percaya bahwa dandelion, putri malu, dapat diolah menjadi bahan pangan. Pak Baning tak henti menjelaskan beberapa tanaman yang mereka temui seperti : daun lamtoro muda, patikan kebo, maman ungu, randu dst.

Meskipun terlihat mudah seakan-akan semua tanaman liar dapat dimakan, namun Ves mengatakan bahwa diperlukan pengetahuan sebelum mencoba pangan liar. Tidak semua tumbuhan liar bisa dikonsumsi secara langsung. Ada yang membutuhkan proses sebelumnya. Seperti jelatang yang harus direbus lebih dahulu sebelum diolah, agar tidak menimbulkan gatal-gatal. Pengetahuan tentang pangan liar dapat membantu untuk memilah tumbuhan yang bisa dikonsumsi dan yang tidak.

 

Yang liar dan yang tidak

Di antara semak-semak yang tumbuh menjulang, nampak beberapa pohon pepaya tumbuh menggerombol. Melihat pepaya yang tumbuh liar dengan sendirinya, muncul pertanyaan apakah pepaya tersebut termasuk pangan liar. Diskusi kemudian mengarah kepada kategorisasi pangan liar. Menurut Pak Baning, sebuah tumbuhan disebut sebagai pangan liar ketika tanaman itu tidak masuk ke dalam wilayah domestikasi. Sehingga meskipun pepaya tersebut tumbuh liar, namun dalam konteks kebudayaan pangan kita pepaya bukanlah tumbuhan yang dianggap liar. Pepaya termasuk tumbuhan yang dibudidaya dan membutuhkan campur tangan manusia. Tentunya klasifikasi tentang yang liar dan yang tidak bukanlah sesuatu yang saklek, tapi lebih bersifat cair. Ketika tumbuhan moringga/kelor—yang kini telah menjadi trend sebagai salah satu obat herbal—dibudidaya maka bisa pula ia tidak lagi menjadi pangan liar.

Meskipun terdengar seperti mengikuti trend pangan organik, pangan liar bukanlah sesuatu hal yang baru. Masyarakat telah mengenal pangan liar sebagai bagian dari strategi ketahanan pangan, terutama saat menghadapi paceklik. Pak Baning bercerita bahwa masyarakat kita sebenarnya menghadapi siklus tahunan paceklik. Seperti di Kulon Progo 3 tahun sekali, di Gunung Kidul 2 tahun sekali, dan di Sleman 10 tahun sekali. Dulu, pangan liar menjadi tumpuan di masa masa sulit ketika padi, jagung atau tanaman lain sulit untuk tumbuh. Kebutuhan pangan mereka seperti karbohidrat, serat dan protein dapat terpenuhi lewat konsumsi pangan liar.

“Semakin sebuah daerah terpinggirkan dari akses sumber daya yang memadai maka pengetahuan mereka tentang pangan liar biasanya lebih beragam” ujar Pak Baning. Sebagai contoh lanjutan, Pak Baning menjelaskan bahwa Kulon progo dan Gunung Kidul lebih kaya akan jenis umbi-umbian serta cara pengolahannya dari pada Sleman. Hal tersebut dikarenakan karena masyarakat di Kulon Progo dan Gunung Kidul harus bersiap-siap ketika menghadapai paceklik. Mereka harus mencari alternatif pangan yang tersedia sepanjang tahun. Sehingga mereka memanfaatkan pangan liar semaksimal mungkin. Disisi lain, Sleman memiliki akses sumber daya alam seperti air yang melimpah, tanah yang subur, sehingga mereka telah tercukupi kebutuhan pangannya, bahkan lebih berlimpah.

Ketika kemudian pangan berlimpah dan menjadi surplus, muncul istilah ‘snack’ yang menurut Pak Baning merupakan sebuah strategi pangan untuk mengolah sisa. Di daerah Sleman, snack yang paling banyak dikenal ialah yang berbahan ketan, dan lebih jarang umbi-umbian. Sedangkan di Kulon Progo dan Gunung Kidul lebih familiar dengan olahan snack dari umbi-umbian seperti geplak, gethuk, tiwul, dan gatot. “Artinya, apa yang hadir di meja makan itu selalu terhubung dengan apa yang mereka tanam, atau apa yang tersedia” ujar Pak Baning. Mirisnya, kini masyarakat tidak lagi merasakan paceklik, karena pasar selalu menyediakan segala kebutuhuan. Sehingga secara tidak langsung apa yang kita konsumsi hari ini tergantung pada bahan pangan yang disediakan oleh pasar. Dapat dibayangkan, dari ratusan jenis bahan pangan yang hadir di meja makan, dalam setiap tahunnya dapat menipis menjadi beberapa jenis saja.

Mistifikasi : Tantangan Pangan Liar

Membicarakan pangan liar tidak bisa lepas dari sejarah pangan dunia. Diskusi kemudian membahas kemunculan pertanian industri pada tahun 1970, yang digadang-gadang dapat menyelesaikan persoalan kelaparan lebih dari satu milyar orang. Munculah kemudian revolusi hijau yang disebut dapat menjadi solusi. Namun hingga hampir 5 dekade kemudian pada tahun 2010 presentase kelaparan tidak mengalami penurunan. Artinya pertanian industrial telah gagal menjadi solusi. Pertanian organik kemudian muncul seakan-akan menjadi penyelamat bagi lingkungan dan permasalahan pangan.

Persoalan kemudian, ketika pertanian organik menjadi komoditas—dengan embel-embel organiknya seakan-akan mengamini harga bahan pangan menjadi mahal—akses menjadi terbatas. Ekslusifitas terbentuk. Tidak semua orang kemudian bisa mengakses makanan organik. Pangan organik kemudian seakan-akan hanya menjadi konsumsi kelas menengah keatas. Sehingga jelas, ketika pangan organik menjadi trend dan komoditas, maka dia menjadi bisnis semata dan kehilangan tujuannya sebagai penyelamat persoalan pangan.

Sebagai counter culture, atau katakanlah sebagai alternatif, muncul (kembali) gagasan mengenai pangan liar. Menurut Pak Baning, gagasan awalnya adalah keterbukaan akses terhadap pangan, sehingga dapat diakses oleh siapa saja dengan harga yang lebih murah. “Karena pada dasarnya pangan liar memenuhi 3 aspek dalam ketahanan/ keamanan pangan yakni ketersediaan, keterbukaan akses dan memiliki nutrisi yang memadai” ujar pak Baning. Sehingga setiap lapisan masyarakat dan komunitas dapat mengakses pangan liar tanpa terbentur pada ekslusifitas kelas-kelas tertentu.

Pangan liar tentunya tidak terlepas dari tantangan tersendiri. Pak Baning memaparkan salah satu tantangan dari pangan liar ialah mistifikasi. Ketidakcermatan dalam mengkampanyekan pangan liar dapat berujung kepada mistifikasi. Misalnya saja dengan yang terjadi pada tanaman moringa/ kelor saat ini. Kelor dikampanyekan dapat menjadi obat herbal yang sangat ampuh dalam menyembuhkan penyakit. Orang kemudian berbondong-bondong, termasuk produsen dan konsumen, meng-trendkan kelor sebagai obat herbal yang dibalut dengan narasi mistifikasi. Namun apakah kemudian konsumen benar-benar merasakan kasiatnya atau itu adalah sugesti dari narasi. Jika demikian, tanaman-tananaman lain dapat pula termajinalkan karena tidak memiliki mitologi yang menjual meskipun memiliki kasiat yang sama. “Cara yang baik menurut saya, bagaimana melihat pangan liar sebagai bahan pangan pada umumnya, yang bisa diakses dengan saiapa saja dengan mudah dan menjadi keseharian. Kegagalan teman-teman LSM dan negara ini menurut saya terlalu menghasilkan banyak ritus, tapi gagal menjadi habitus” ujar Pak Baning.

Diskusi siang itu ditutup dengan makan siang bersama diatas daun pisang. Berlaukkan tanaman-tanaman hasil me-ngasak bersama yang diolah dengan bumbu plecing, dan fuyunghai. Ditemani dengan nasi jagung manis, tak lupa pula dengan roti jala kelor sebagai pencuci mulut. Tentunya, sebagai sebuah wacana yang muncul kembali dari pegetahuan masyarakat, pangan liar memiliki banyak celah yang belum ditelisik. Meskipun demikian kecermatan diperlukan sehingga para pelaku tidak terjebak pada eksotisasi dan mistifikasi yang dapat menjebak dalam komodifikasi dan trend pangan yang selalu timbul tenggelam tiada henti. Semoga ritus pangan liar ini dapat menjadi habitus bersama.

Catatan: :
Tulisan ini dibuat berdasarkan diskusi bersama “ Please Eat Wildly : Observasi Pangan Liar di lahan Terlantar”. Sampai jumpa di diskusi Please Eat Wildly selanjutnya.

Monika Swastyastu, 2017.