Berkunjung ke Kebun Bumi Langit

Perjalanan pagi itu dimulai pukul 08.00 berangkat dari daerah Minggiran, Yogyakarta menuju ke pinggiran, daerah Imogiri. Kami memulai perjalanan dengan menggunakan dua motor dengan masing-masing motor diisi oleh dua penumpang. Perjalanan berhasil kami tempuh selama kurang lebih empat puluh menit. Pemandangan sepanjang perjalanan sangat nyaman untuk dinikmati di pagi hari. Dengan udara yang sejuk, cukup berbeda ketika sedang berada di kota Yogyakarta. Pagi itu saya setuju kalau perjalanan ini seperti perjalanan dari kota ke desa dengan alasan suasana yang jauh berbeda di lokasi ketika berangkat dan lokasi saat tiba nanti. Kami membelokkan setir ketika melihat penunjuk arah di kiri jalan (kalau dari arah utara Yogyakarta) “Bumi Langit”. Jarak dari papan nama hingga ke lokasi utama yang dituju tidak terlalu jauh hanya kurang lebih 5 meter. Jalanannya bebatuan lengkap dengan rindangnya pepohonan. Bangunan pertama yang menyapa kami berbentuk pendapa[i]. Pendapa ini digunakan sebagai tempat menerima tamu dan berkumpul selayaknya fungsi pendapa pada umumnya.

Sebagai penggiat gerakan berkebun dengan metode permakultur, ada banyak aktivitas yang dilakukan oleh Bumi Langit. Diantaranya rumah makan yang menyediakan produk-produk alami olahannya dan tur kebun yang bisa dinikmati oleh siapa saja. Selain itu ada juga program live–in atau residensi dari penggiat permakultur dari dalam maupun luar negeri. Kami memutuskan untuk mengikuti tur dengan biaya Rp.15,000,-/orang untuk tur kebun selama kurang lebih 2 jam dengan tour guide bernama Mas Salas. Tema dari tur ini adalah untuk mengenalkan pertanian terpadu permakultur yang menjadi cara hidup oleh pelakunya, yaitu Bapak Iskandar sekeluarga beserta komunitasnya. Tur ini juga menjelaskan bagaimana sistem permakultur yang berbentuk radial diciptakan sesuai dengan kebutuhan penghuninya. Misal dalam lingkaran pertama terdapat rumah tinggal dan tanaman obat-obatan. Di lingkar kedua terdapat tumbuhan dan tanaman sayuran untuk konsumsi sehari-hari. Dilingkar ke tiga tempat kandang ungas, kelinci, kambing serta kolam aquaponik dijalankan. Berikunya di lingkar ke empat berupa tumbuhan buah-buahan seperti rambutan, nangka dan sebagainya. Sedang lingkar terluar berupa tumbuhan keras, misal pohon jati, bambu dan lainnya. Jika tur kebun ini dirasa tidak cukup untuk mendapatkan pengetahuan tentang permakultur, Bumi Langit juga menyediakan kursus untuk mempelajari permakultur. Pemilihan paket kursus juga beragam dari satu hari hingga tujuh hari.

Letak geografis dari Bumi Langit yang berdiri di atas 5 hektar tanah tandus bebatuan gunung kapur menjadi terlihat seolah-olah ajaib. Terlihat ajaib ketika daerah di sekitarnya mengeluh sulit untuk mendapatkan irigasi pertanian dan tidak seluruh spesies tanaman yang ditanam akan tumbuh subur, sedangkan Bumi Langit memiliki semuanya. Selain tanaman, juga ada hewan-hewan ternak yang dipelihara. Segala makhluk hidup yang hidup bersama di atas tanah 5 hektar ini memiliki hubungan simbiosis mutualisme. Seperti memelihara beberapa ekor sapi dan kambing yang memproduksi pupuk dari kotoran sapi. Tidak hanya kotoran sapi yang diolah di Bumi Langit, melainkan kotoran manusia dan segala limbah yang dihasilkan oleh manusia juga akan diolah untuk menghasilkan energi gas. Mereka memiliki prinsip, bagaimana sebisa mungkin ekosistem yang tercipta tidak ada yang sia-sia sedikitpun.

Pada rumah makannya, Mas Salas menyebutkan produknya sengaja tidak menggunakan kata organik, tetapi alami dan lokal. Aktivitas para petani kebun yang sedang bercocok tanam mampu menambahkan nilai ke-lokal-annya. Tentunya semua pekerja yang bekerja di Bumi Langit adalah pekerja yang sebelumnya diberi pengenalan tentang apa itu permakultur. Tidak hanya mengandalkan kekayaan kebun saja, untuk memenuhi kebutuhan pangan di dalam lahan seluas kurang lebih 5 hektar ini mereka perlu bantuan dari pihak lain. Mereka memasok beberapa bahan pangan seperti tepung, gandum dari petani lokal lainnya. Mereka mencoba untuk tidak mendekat kepada pasar yang sistemnya sudah paten dan tidak bisa dikendalikan. Bumi Langit memposisikan dirinya sebagai salah satu pihak yang mendukung akan keberlangsungan hidup para petani kecil di sekitar rumah mereka.

Letaknya yang jauh dari mana-mana (selain tetangga atau para warga lokal yang tinggal di daerah tersebut) menjadikan Bumi Langit sebagai tempat yang membutuhkan usaha lebih untuk mencapainya. Dan sebaliknya, Bumi Langit juga perlu usaha lebih untuk mendekat ke manusia yang tinggal di kota. Namun, letak yang jauh dan cara hidup yang mereka pilih menjadi daya tarik dan eksotisme tersendiri bagi sebagian orang, terutama orang kota. Walaupun jika kita googling tentang sejarah permakultur, hal ini sudah ada sejak tahun 1929[ii] dan juga sudah banyak buku yang menulis tentang apa itu dan bagaiman permakultur dijalankan. Selain itu, menurut beberapa sumber, sesungguhnya praktik permakultur ini sudah ada dan eksis dalam rumah tangga dan dapur masyarakat Jawa yang mengintegrasi lahan pekarangan dan ternak. Tentu saja tidak dengan label permakultur atau pertanian organik. Lalu sebenarnya apa yang sedang terjadi? Mengapa kemudian kemunculan pertanian permakultur terasa tiba-tiba sedang banyak dipraktekan dan dipromosikan? Apakah bumi dan manusia benar-benar dalam keadaan darurat? Pertanyaan ini juga menjadi pertanyaan bagi diri saya. Apakah saya selama ini tidak menganggap bahwa kehidupan membutuhkan perubahan cara hidup? Atau apakah memang diri saya yang sedang tidak membutuhkan perubahan? Lalu siapa yang akan memberi titik tumpu tentang indikator butuh dan tidak butuh?

Saya juga tertarik dengan kata “Halalan Thoyyiban” yang menjadi tagline utama dari produk makanan di Bumi Langit. Menurutnya, mengetahui secara jelas dari mana hasil panen sayuran ataupun hewan yang kita makan berasal merupakan inti dari makanan ‘Halalan Thoyyiban’? Ucapan mas Salas yang masih menempel pada ingatan saya tentang istilah itu adalah “bagaimana menjadi halal itu mudah tetapi menjadi thoyyiban itu yang susah, karena kita tidak tahu darimana makanan kita berasal”. Terdengar cukup mengerikan jika kita membayangkannya secara berlebihan. Siapa yang tidak takut ketika susu yang kita konsumsi dari pasar sebenarnya adalah sesuatu yang kita tidak benar-benar tahu apakah itu susu (yang kita yakini sehat) ataukah hanya campuran bahan kimia rasa susu yang terus menerus kita konsumsi. Fenomena mencari tahu darimana makananmu berasal memang sedang menjadi topik beberapa aktivisme pangan saat ini. Tapi slogan tersebut tentu saja tidak mudah untuk diterapkan. Apakah artinya benar-benar mengetahui? Ada banyak kemungkinan bias disini. Bisa saja kita mengetahui dengan cara melihat langsung padi yang dipanen dari tetangga kita sendiri. Bagaimana jika kita mengetahui sayur organik hanya dari labelnya yang menjelaskan dengan detail, padahal tak pernah bertemu bahkan melihat petaninya? Sejatinya saat saya makan menu beras pecah di Bumi Langit pun saya tidak melihat langsung padi tersebut dipanen dan dimasak.

Sebenarnya dalam konteks ucapan Mas Salas, saya merasa definisi konsep sehat dan baik yang ditekankan adalah dari segi keyakinan dan spiritual. Spiritual yang dimaksud adalah dengan beralaskan nilai agama, dalam konteks ini adalah Islam. Dengan berlandaskan tata cara Islam dan menjadikannya sebagai nilai lebih dibanding produk-produk industri yang ada dipasaran, merupakan salah satu strategi Bumi Langit yang saya rasakan. Disini saya tidak sedang berusaha mengklaim salah satu pihak menjadi yang paling benar atau salah. Toh juga kalau memang kita mengonsumsi atas dasar sehat, setiap orang memiliki definisi apa itu sehat, menurut keyakinan diri sendiri.

Kesimpulan pertanyaan yang bisa saya ambil dari obrolan seputar halalan thoyyiban ini menurut saya adalah bagaimana saya bisa menemukan keyakinan atas apa yang saya makan. Bahwa makanan yang saya konsumsi adalah makanan yang memberi manfaat untuk tubuh dan jiwa saya. Karena jika saya dituntut untuk mengetahui dari mana makanan yang saya makan berasal, ditengah banyaknya hal lain yang harus saya pikirkan, cukup menyulitkan. Untuk menemukan makna dari halalan thoyyiban sambil menjalani kenyataan hidup dengan status sosial dan ekonomi saya sekarang ini, serta tuntutan untuk terus bekerja dan menghasilkan uang demi memenuhi kebutuhan sehari-hari, tentu saja cukup menyita waktu. Atau mungkin bisa saja obrolan dengan mas Salas saya jadikan refleksi berfikir tentang bagaimana saya memahami makna ‘yakin’ tentang apa yang selama ini saya yakini benar. Semoga suatu saat saya bisa menemukan kehidupan ideal tentang hidup dan makan secara baik, benar, sehat serta halallan thayyiban.

 

 

[i] Bentuk bangunan ini adalah arsitektur jawa kuno, biasanya bangunan ini berada di bagian awal rumah untuk menerima tamu atau berkumpul. Digunakan sebagai tempat berkumpul karena bentuk bangunannya yang tanpa sekat sehingga luas dan tanpa pintu dan jendela sehingga sejuk.

[ii] Pada tahun 1929, Joseph Russell Smith mengambil istilah yang ia sebut sebagai pertanian permanen dalam bukunya Tree Crops: A Permanent Agriculture yang berisi hasil penelitiannya mengenai pohon buah dan kacang sebagai tanaman pertanian untuk bahan pangan manusia dan pakan ternak. Sumber : https://id.wikipedia.org/wiki/Permakultur

 

(Gatari)