7 Days of Fast Food

 

Mendengar kata fast food, barangkali kita akan memiliki pemikiran masing-masing yang muncul secara personal. Salah satunya kami yakin bahwa yang muncul adalah asosiasi antara fast food dengan junk food. Kenapa junk food? Apa itu junk food? Berbahayakah junk food? Mengenai hal itu, barangkali kita sudah sering mengetahui, mendengar, melihat, membaca bahkan memahami dari berbagai sumber yang ada baik itu berupa literasi, visual hingga dalam layar kaca digital melalui teknologi internet.

Junk food selalu diasosiasikan sebagai sebuah bentuk yang dapat mengganggu kesehatan, menyebabkan malnutrisi, dan diakrabkan atau menjadi sinonim dari segala macam fast food yang ada di Indonesia. Nah, berkaitan dengan asumsi ini dan sesuai dengan tema “Fast and Foodrious” yang sedang dilakukan kelompok studi makanan Bakudapan, kami berdua sengaja melakukan keisengan dengan mencoba melanggar etika dari asumsi-asumsi sebuah junk food (baca: fast food) melalui program “7 Days of Fast Food”.

“7 Days of Fast Food” adalah sebuah program yang dilakukan dimana selama 7 hari, saya bersama seorang kawan saya Andri Febri Prasetyo dalam keseharian hanya memakan berbagai varian dari fast food yang ada di Yogyakarta. Apapun mulai dari ayam goreng, donat, pizza, hamburger, kebab dan juga dari label apapun mulai dari taraf internasional hingga lokal.

“Apakah iya, nantinya kesehatan kami berdua terganggu apabila fast food itu merupakan junk food?” Pertanyaan inilah yang kami tantang sekaligus coba kami jawab di akhir dari rangkaian selama 7 hari yang kami berdua lalui. Kami disini menampilkan catatan lapangan dari proses selama 7 hari yang kami lalui, dan akhirnya pada tanggal 16 Juni 2015 kami memutar film pendek dari rekaman kami selama di lapangan kemudian mendiskusikannya. Durasi video yang amat pendek serta keterbatasan alat-alat perekam membuat kami sedikit kesulitan dan harus sedikit memutar otak dalam menyajikan serakan data visual dalam wujud rekaman video.

“Apa sih sebetulnya fast food itu?” Sebuah pertanyaan cerdas nan tangkas terlontar dari salah seorang peserta diskusi di permulaan. Obrolan pun dimulai dalam rangka menanggapi pertanyaan tadi dari berbagai sudut pandang yang ada dalam tiap-tiap individu yang hadir sore itu. Adapun peserta diskusi sore itu juga berasal dari latar belakang yang berbeda-beda bahkan dari negara yang berbeda juga. Jawaban ataupun tanggapan yang muncul pun juga beragam. Pada dasarnya, konsep tentang fast food disini telah menjadi sangat personal dan juga bergantung pada tradisi dimana fast food itu berada. Seperti contoh yang muncul dalam diskusi; McDonalds di Indonesia menyajikan berbagai varian menu makanan dengan hamburger dan paket nasi ayam sebagai senjata utamanya, namun tidak dengan McDonalds yang ada di Jepang, yang sama sekali tidak menyediakan menu nasi dan ayam, namun hanya hamburger dengan berbagai variannya. Contoh ini membuat satu asumsi (yang akhirnya disepakati) muncul bahwa pengemasan dan pemaknaan dari sebuah fast food akan sangat bergantung pada tempatnya berada dan juga budaya serta kehidupan yang ada di sekitarnya.

Junk food. Bagaimana dengan pelabelan yang satu ini? Obrolan pun mengarah ke permasalahan kesehatan dan kelayakan sebuah fast food. Berbagai pemikiran dari masing-masing peserta diskusi pun bermunculan, dan hampir sebagian besar cenderung tidak memiliki masalah dalam mengkonsumsi fast food; terlepas dari kapan dan bagaimana situasinya. Kali ini ada satu pernyataan menarik dalam menengahi hal ini. “Kita sebagai orang (yang hidup) di Indonesia, menjadi tidak bermasalah dengan fast food karena kita pada dasarnya sehari-hari memang dekat dengan jenis makanan yang digoreng.” Ada benarnya pernyataan ini, mengingat bagaimana sebagian besar menu harian makanan Indonesia memang banyak yang disajikan dengan cara digoreng. Tempe, tahu, ikan, ayam, hingga sayuran yang digoreng pun pasti akan sering kita temukan dalam keseharian kita. Hal inilah yang membuat kita menjadi “sedikit susah” dalam menjauhi fast food walaupun dihadapkan pada pelabelannya dengan istilah junk food.

Hal lain yang menarik menjadi pembahasan dalam diskusi ini adalah satu fenomena menarik yang kami temui selama 7 hari di lapangan. Restoran fast food di Yogyakarta pada akhirnya bertransformasi menjadi tempat nongkrong selain menjadi restoran sebagai fungsi utamanya. Berbagai fasilitas dan gimmick yang disediakan ternyata mampu mengembangkan fungsi restoran fast food menjadi satu ruang publik baru. Jam buka non-stop (24 jam), paket dengan menu spesial, tempat yang nyaman, hingga fasilitas free wi-Fi pun juga disediakan di restoran fast food. Tak seperti restoran ayam atau donat yang biasa kita tonton dalam film Hollywood, dimana hanya menjadi satu perhentian sementara dengan adegan polisi yang menggoda pelayannya ataupun adegan perencanaan pembunuhan. Pemaknaan baru akan ruang sebuah restoran fast food ternyata juga telah muncul di dalam masyarakat saat ini. Tak lagi hanya menjadi sekedar tempat makan, namun juga telah lazim digunakan sebagai tempat nongkrong.

Sedikit cerita tentang keadaan di lapangan selama 7 hari yang saya lewati; di awal memang antusiasme yang muncul ketika memulai ide “aneh nan gila” ini cukup meluap-luap. Penelitian tapi dengan makan. Siapa yang tidak suka, mengingat makanan itu kebutuhan utama manusia. Seiring hari per hari yang dilalui, dan semakin mendekati hari ke-7, bukan jijik, tidak sehat, atau jorok yang saya rasakan. Saya justru dilanda rasa bosan yang luar biasa terhadap menu makanan yang itu-itu saja. Keseharian saya yang terbiasa “seenaknya” dalam menentukan makanan semenjak dari berangkat menjalani hari hingga pulang, dalam “7 Days of Fast Food” terpaksa didekontruksi dengan harus senantiasa taat dengan kata “harus makan fast food hari ini”. Coba bayangkan apabila dalam seminggu dimana polanya adalah warteg – angkringan – masak sendiri – angkringan – sesekali makan enak – angkringan lagi – warteg lagi – kembali warteg (amat sangat acak dan rasa bisa berbeda tergantung lokasi), dipaksakan oleh saya sendiri untuk menjadi KFC – Olive – McDonalds – Mister Burger – Popeye – Kebab Turki – Jco – KFC – Olive – Donat kentang – Brutus Chicken – Ayam Juara – Mister Burger – Mister Burger – Olive lagi – KFC lagi – dst. Seberapapun mencoba untuk acak dan berpindah-pindah tempat, ternyata kejenuhan itu tetap muncul. Asumsi yang kemudian muncul dalam benak saya adalah “apakah citra junk food ini menjadi muncul karena rasa bosan akibat mengkonsumsi rasa yang sama secara terus menerus, sehingga fast food tidak cocok untuk menjadi menu sehari-hari?” Benar atau salahnya saya juga belum tahu pasti, dan anda yang membaca juga boleh setuju boleh tidak. Masih perlu langkah lebih jauh untuk membuktikannya.

Masalah kesehatan juga tidak pernah muncul selama 7 hari yang saya lalui kemarin. Hari-hari awal sempat khawatir karena siklus buang air besar yang biasanya lancar sehari sekali, tiba-tiba sempat macet selama sehari. Terjadi di hari kedua dalam 7 hari yang ada, namun di hari ketiga sudah kembali lancar. Saya hanya berpikir satu hal, yaitu bahwa memang ini karena tidak terbiasa dan terjadi tiba-tiba. Tetap membutuhkan satu masa adaptasi. Hal lain juga yang menurut saya ajaib dan mematahkan asumsi junk food adalah bahwa dalam masa 7 hari dengan menu dan porsi fast food yang amburadul itu, berat badan saya hanya bertambah satu kilogram saja; dari 68 kilogram menjadi 69 kilogram. Hal ini coba saya korelasikan dengan aktivitas saya sehari-hari yang memang sangat aktif bergerak (mobile). Saya memang tidak rajin berolahraga, namun saya dalam sehari bisa bergerak dalam rerata 1 kilometer apabila ditarik dalam sebuah garis lurus. Hal ini membuat saya berani membuat pernyataan bahwa “makan fast food tidak apa-apa asalkan diimbangi dengan gerak tubuh yang cukup aktif.”

Di akhir diskusi, kami mencoba merangkum berbagai pemikiran yang ada. Sementara bisa diasumsikan bahwa pemaknaan sebuah fast food memang akan sangat bergantung pada tempat dimana fast food itu berada, dengan budaya yang mengelilinginya. Pelokalan rasa juga akan sangat lazim terjadi dalam rangka media promosi serta menjaring konsumen lebih banyak. Lokasi dan kondisi restoran fast food juga akan menentukan bagaimana keberlangsungan hidup restoran tersebut serta tingkat kepopulerannya. KFC di Amerika bisa saja berbeda dengan Jepang atau Indonesia; baik menu ataupun modifikasi tempat dan penyajiannya. Berlaku juga untuk McDonalds, Dunkin Donuts, ataupun brand yang lainnya. Masyarakat juga masih merasa dekat dengan fast food akibat memiliki bentuk makanan keseharian yang sama yaitu digoreng. Momen-momen spesial juga menjadi pendukung minat masyarakat untuk senantiasa mendatangi fast food. Tak luput juga pencitraan kelas sosial serta perasaan menjadi “bukan orang lokal” juga turut mendukung minat masyarakat dalam mengkonsumsi fast food. Tulisan dan penelitian (atau mungkin pengamatan) singkat ini memang masih sangat jauh dari kata benar. Kata sementara juga saya sebutkan di awal paragraf ini dalam rangka membangun pertanyaan-pertanyaan komprehensif yang memang memungkinkan untuk pengembangan tulisan ini. Apa yang saya tulis bisa saja memunculkan pertanyaan lebih lanjut akibat kecenderungan subyektivitas saya, ataupun bagian-bagian lain yang belum tersingkap dengan jelas. Atau barangkali saja ini berlebihan? Hal ini selanjutnya yang mungkin bisa kita saksikan dalam perkembangannya, dan selalu memberikan peluang-peluang untuk suatu praktik produksi-reproduksi pengetahuan bersama baru tentang fast food dan seluk beluk yang melingkupinya.

Bagaimana menurut anda dengan hasil yang ada? Menarik atau tidak? Setuju atau tidak? Silahkan, dan jujurlah dengan kata hati dan pemikiran anda. Sangat terbuka untuk senantiasa dikomentari. Yah selebihnya, selamat menikmati saja. Because it’s fast, it’s food and it’s serious!!! Cheers 😉

(Bagus Anggoro)

 

*illustrasi gambar: “The Fastfood Supper” oleh Jacob Thompson